Tahun 2010 diprediksi menjadi tahun keemasan bagi perekonomian Cina, hal ini bisa dilihat dari hegemoni produk barang dan jasa yang ada di pasar domesti. Hampir semua produk barang dan jasa semuanya di impor dari cina. Sejauh mana UMKM mampu bersaing? Era pasar bebas apakan menguntungkan bagi kemjuan ekonomi Indonesia? Bagaimana seharusnya pemerintah dalam hal ini?
Asean China Free Trade Area (AC-FTA) telah menjadi sebuah produk kebijakan baru yang diberlakukan di 2010. Artinya, saat ini produk Cina telah menjadi komoditas yang membeanjiri pasar dalam negeri. Hal ini kemudian ditopang oleh back up penuh dari pemerintah melalui suku bunga keredit rendah. Konsekuensinya adalah produk domestik akan kewalahan dalam melakukan persaingan. Salah satu pelaku usaha yang memiliki eksistensi penting namun “terlupakan” dalam hal ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Melalui format AC-FTA, telah disepakati penurunan dan penghapusan tarif bea masuk secara bertahap. Melalui Early Harvest Programme (EHP) yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain.
Artinya, lalu-lintas barang antar negara Asean dan China akan mengalir bebas, tanpa adanya proteksi tarif apa pun. Lebih jauh, Cina yang selama ini dikenal dengan produknya yang murah-meriah, bisa-bisa semakin menggusur produk lokal di masing-masing daerah. Bahkan saat krisis keuangan global melanda akhir 2008 lalu, Cinalah sebagai mesin utama ekonomi dunia, dengan pertumbuhan ekonomi regionalnya diperkirakan mencapai 9,1% di 2010.
Padahal jika kita mengenal lebih jauh dan dalam, peran UMKM bukanlah sekedar pendukung dalam kontribusi ekonomi nasional. UMKM dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis.
Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu: Pertama, jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada tahun 2005 tercatat jumlah UMKM adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit usaha Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap 77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22% dari total PDB.
Hal inilah yang seharusnya mampu “dilirik” oleh Pemerintah untuk memposisikan kekuatan ekonomi menengah pada posisi dan porsi yang lebih ideal. Dari aspek diatas sangat memungkinkan akselerasi ekonomi secara berkelanjutan akan terlaksana. Fokus pemerintah pra krisis ekonomi orde baru yang lebih melibatkan konglomerasi usaha terbukti telah menyeret perekonomian kita pada jurang yang lebih dalam. Sehingga dukungan kebijakan juga harus diberikan kepada pelaku UMKM yang lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Perlu kiranya Pemerintah dalam hal ini melakukan penyeimbangan antara hegemoni pruduk dari Cina dan produk domestik. Peran UMKM harus diarahkan juga pada kemudahan baik dari segi pajak dan akses untuk mendistribusikan prduknya ke pasar nasiolal. Dengan begitu persaingan antara AC-FTA dan UMKM akan lebih sehat dan mampu menciptakan kemandirian ekonomi.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Rabu, 03 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar