Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Sabtu, 31 Oktober 2009

PERAN PENDIDIKAN GUNA MENOPANG KEARIFAN LOKAL; MENUJU KEMANDIRIAN INDONESIA DALAM PERSAINGAN GLOBAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia memiliki latar kebudayaan yang multi dimensi, begitu pula dengan aspek bahasa, agama, ras dan warna kulit sehingga aspek pluralitas menjadi karakter dari bangsa ini. Dimensi keragaman diatas adalah perwujudan dari integritas bangsa itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari aspek pluralitas dan multi dimensi masyarakat Indonesia, untuk itu transformasi kearifan lokal melalui wadah pendidikan menjadi sebuah alternatif untuk kembali membangun kemandirian bangsa di era global sekarang ini.
Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya “lain”. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif.
Peran pendidikan yang secara esensi mengandung upaya “memanusiakan manusia” merupakan sebuah perwujudan pembentukan karakter masyarakat yang lebih mandiri dengan berangkat dari kearifan lokal masing-masing daerah. Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dikatakan adalah model pendidikan yang memiliki relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) dengan bertumpu pada pemberdayaan ketempilan dan potensi lokal di masing-masing daerah.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional.
Pendidikan dalam arti luas tidak hanya terjebak pada terminologi pendidikan formal, yang memiliki acuan perjenjangan yang jelas. Namun lebih dari itu pendidikan baik formal maupun non-formal harus mampu melakukan transformasi local wisdom dalam aktifitas pendidikan itu sendiri. Kerangka sederhana ini memungkinkan adanya hubungan relasional antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan pendidikan orang dapat berbudaya, dan melalui budaya persaingan di era global menjadi lebih berarti.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya akan menjadi obyek kajian dalam perumusan makalah ini, yang mencakup:
1. Bagaimana mengintegrasikan pendidikan dan kebudayaan? Peran pendidikan dalam transformasi budaya untuk membangun kemandirian bangsa dalam persaingan global.
2. Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di era global?
3. Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan.

C. Tujuan Penulisan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa kearifan lokal yang ada di Indonesia akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha mengintegrasikan antara pendidikan dan kebudayaan, sehingga dari situ diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat guna melestarikan dan mengembangkan local wisdom masing-masing untuk bersaing di era globalisasi.
Berangkat dari kerangka diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pola integrasi antara pendidikan dan kebudayaan, dan peran pendidikan dalam melakukan transformasi budaya untuk membangun kemandirian bangsa dalam persaingan global.
2. Memaknai intisari kearifan lokal sebagai khasanah kekayaan bangsa, sehingga kekuatan itu harus terus digali untuk membentuk kebudayaan yang mampu bersaing.
3. Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional melalui aspek pendidikan.

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memberikan pemahaman dan menempatkan secara proporsional aspek pendidikan dalam memajukan kearifan lokal bangsa Indonesia.
2. Diharapkan dapat menambah khazanah dan memberi kontribusi positif bagi pengembangan studi pendidikan dan kebudayaan.
3. Memberikan gambaran akan kekayaan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan untuk bersaing di dunia Internasional.
4. Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk membangun peradaban masyarakat Indonesia.
5. Memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan kebudayaan.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Aspek kebudayaan memiliki peranan penting dalam pembangunan jati diri bangsa, ini bisa kita lihat melalui sejauh mana kemudian aspek kearifan lokal mampu menjadi sebuah daya tarik. Daya tarik tersebut tidak harus dimaknai sebagai ruang tontonan belaka bagi wisatawan asing, namun lebih dari itu kearifan lokal harus mampu membentuk karakter genrasi bangsa sehingga kebudayaan kemudian menjadi trend generasi muda. Dinamika ini adalah bagian dari upaya melakukan counter hegemoni atas dominasi budaya yang merasuk ke Indonesia.
Fungsi utama pendidikan di tiap tingkat adalah untuk menyediakan pelatihan cara-cara berpikir mendasar yang terwakili dalam sejarah, ilmu pengetahuan alam, matematika, kesusasteraan, bahasa, kesenian, dan lain-lain yang selama ini berkembang dalam pencarian pengetahuan yang dapat digunakan oleh manusia, perjalanan menggapai pemahaman budaya, dan upaya berkelanjutan untuk meraih kekuatan intelektual. Seperti agen-agen sosial lain yang memusatkan perhatian ke tujuan yang sama, sekolah musti bekerja dalam konteks kegiatan khasnya sendiri. Dengan kata lain, kenyataan bahwa sekolah adalah sebuah agen pelatihan intelektual menentukan dan berkaitan dengan sumbangan khasnya kepada umat manusia.
Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture" (1929) menulis kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka posisi pendidikan dengan kebudayaan berada dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal relationship); atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya (causal asymetrical relationship).
Dalam hubungannya dengan kearifan lokal, pendidikan menjadi sebuah wadah transformatif untuk memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai kekuatan kebudayaan untuk menjadikan Indonesia mampu bersaing di era globalisasi. Sehingga pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan penting untuk menopang kearifan lokal dalam persaingan bangsa Indonesia di era global.
H.A.R. Tilaar mengemukakan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan dan kebudayaan. Bahkan kaitan keduanya adalah kaitan ontologis dan epistomologis. Dalam rangka lahirnya etno-nasionalisme, keterkaitan antara pendidikan dan kebudayaan akan semakin menonjol. Di dalam praksis pendidikan untuk pengembangan sikap toleransi dalam masyarakat demokratis terdapat berbagai model pendidikan untuk kesadaran dan pengembangan kohesi sosial, yaitu pendidikan multi-kultural, pendidikan trans-kultural, dan pendidikan inter-kultural.
Pendidikan inter-kulutural ditekankan kepada eksistensi budaya-budaya atau sub-budaya yang ada. Dalam rangka pengembangan kohesi sosial maka yang diperlukan ialah kegiatan interaksi budaya. Bentuk yang lain ialah trans-kultural yang mencari bentuk-bentuk universalitas dari budaya-budaya yang ada. Model trans-kultural ini barangkali yang telah kita gunakan di dalam praksis pendidikan selama Orde Baru.
Bagi masyarakat Indonesia dalam rangka otonomi daerah, model yang tepat adalah pendidikan multi-kultural. Dimana masyarakat masing-masing mengembangkan kearifan lokal yang ada dan fungsi pemerintah adalah memberikan legitimasi terhadap produk kebudayaan yang ada.
BAB III
METODE PENULISAN
Proses penulisan makalah ini berangkat dari minat untuk melakukan riset secara sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang selanjutnya membentuk gagasan, konsep maupun teori. Proses ini dilakukan melalui penelusuran dan menelaah referensi-referensi yang ada kaitannya dengan tema yang penulis angkat. Sebagai layaknya studi kualitatif yang sederhana proses bimbingan dan dialog secara intensif juga kami lakukan dalam perumusan naskah ini kepada dosen pembimbing yang bersangkutan.
Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan dengan tema yang diangkat. Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan.
Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis. Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat dan terarah.
Untuk memperoleh analisis yang komprehensif, berikut akan diurai komposisi penyusunan makalah ini yakni terdiri atas lima bab yang terdiri dari:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, rumusan maslah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Bab Kedua, mengurai tentang telaah pustaka. Bab Ketiga, mengurai tentang metode penulisan. Bab Keempat, menjelaskan tentang pembahasan dari tema yang sedang diangkat. Sedangkan Bab Kelima, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB IV
PERAN PENDIDIKAN GUNA MENOPANG KEARIFAN LOKAL; MENUJU KEMANDIRIAN INDONESIA DALAM PERSAINGAN GLOBAL

A. Pendidikan Adalah Kebudayaan
Terdapat ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia, secara signifikan perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan
lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang
dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi
pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap suku bangsa juga memiliki
hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara suku bangsa
yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk
memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-
masing suku bangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang
bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
Hal ini merupakan fungsi dari keragaman yang ada di Indonesia, sehingga aspek kebudayaan harus menemukan eksistensinya pada cara pandang (world view) masyarakat Indonesia. Fungsi pendidikan kemudian, bagaimana menjadikan kekuatan kebudayaan itu melalui kerafian lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami dinamisasi yang produktif. Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah transformasi kearifan lokal dalam kanca Internasional, hal ini memungkinkan jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor intelektualnya. Sehingga menjadi tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses pendidikan dan kebudayaan.
Setiap situasi pendidikan memuat empat unsur pokok: guru, agen utama yang bertujuan, yang mengarahkan, yang memikul tanggung jawab atas proses pendidikan; murid, yang menjadi obyek upaya pendidikan, dalam arti perilakunya akan diubah, sikap-sikapnya akan dipupuk dan dimodifikasi; bahan pengajaran, atau bidang studi, atau pengetahuan, yang akan ditanamkan pada murid; tujuan, sasaran, cita-cita, hasil akhir yang diharapkan dari proses pendidikan, yang menjadi sumber penentu arah pendidikan.
Renungan dan eksplorasi diatas dapat dianalisis bahwa kekuatan pendidikan dalam prakteknya harus memiliki target dan sasaran yang jelas. Untuk itu aspek kebudayaan dalam praktek pendidikan dapat ditempatkan dan diposisikan pada instrumen yang terarah pada penguatan kebudayaan. Sehingga inkorporasi kearifan lokal menjadi perbincangan yang hangat dalam praktek pendidikan, dari situ kemudian kekuatan budaya menjadi daya saing di era global.
Kebudayaan lazimnya dipahami sebagai ekspresi dari kepribadian yang terdiri dari unsur-unsur cipta, rasa dan karsa atau singkatnya akal-budi. Jika diasumsikan bahwa kalbu itu sudah tercakup dalam akal, pemberian Tuhan yang tertinggi kepada makhluk manusia, maka kebudayaan adalah hasil proses bekerjanya akal. Dalam pemahaman ini, kebudayaan bukanlah statis melainkan dinamis, yaitu terus berubah seiring perkembangan zaman. Logika sederhana ini dapat digiring pada pemberdayaan kearifan lokal yang secara integral menyatu dengan semangat zaman.
Di era sekarang ini kebudayaan secara tidak sadar diperlakukan sebagai “kata benda”, dalam artian bahwa kebudayaan diartikulasikan sebagai warisan budaya berupa tradisi dan obyek wisata. Kebudayaan dipariwisatakan. Kebudayaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang dinamis untuk mendorong perubahan bangsa dalam persaingan dunia Internasional. Akibatnya kemudian, pendidikan tidak diagendakan untuk merubah mentalitas bangsa.
Potret kelam diatas merupakan tantangan yang harus sesegera mungkin diatasi, sehingga dimensi kearifan lokal tidak terkesan menjadi barang tontonan yang dinikmati dalam konotasi pariwisata. Namun lebih dari itu semangat filosofis dari kearifan lokal harus mampu membentuk karakter generasi bangsa dimasing-masing daerah. Untuk itu guna memajukan kemadirian bangsa Indonesia harus dimulai dengan pengutan kebudayaan melalui tranformasi pendidikan.
Kebudayaan merepresentasikan pengalaman hidup, hasil karya manusia dan bentuk kehidupan yang ditempa dalam hubungan sosial yang tidak adil dan dialektis, yakni kelompok-kelompok yang berbeda dengan sendirinya terbentuk selama kurun waktu tertentu. Kebudayaan merupakan wujud dari kegiatan produksi, baik itu produksi budaya dan dinamisasi pendidikan yang prosesnya sangat berhubungan dengan pembentukan struktur sosialnya, menyangkut gender, ras dan suku bangsa sebuah negara. Kebudayaan juga merupakan kegiatan produksi yang membantu pemuka masyarakat (pendidik) untuk memajukan masyarakat melalui penggunaan bahasa dan sumber-sumber lainnya.
Telah jelas kemudian hubungan relasional antara pendidikan dan kebudayaan dalam kemandirian menuju kemajuan bangsa Indonesia. Secara eksplisit telah dikemuakan oleh Paulo Freire diatas bahwa produksi budaya kemudian membentuk tatanan sosial masyarakat, sehingga bila dianalisis lebih jauh peran pendidikan dalam dimensi itu sebagai mediator penyelenggaraan praktek pendidikan yang lebih humanis dan terarah pada pembentukan masyarakat yang berbudaya. Hal ini dimungkinkan melihat corak pendidikan yang secara mendasar bersifat fleksibel dan terbuka untuk disiplin ilmu apapun. Sehingga transformasi sosial terjadi melalui hunbungan dialektis antara guru sebagai agen kebudayaan dan murid sebagai pelanjut dan pelestari dari local wisdom yang ada.
Di era sekarang ini, kita kemudian diperkenalkan dengan pendidikan multikulturalisme. Multikulturalisme memberikan peluang bagi kebangkitan etnik dan kebudayaan lokal. Semangat etnisitas dan lokalitas itu tiada kuasa ditolak dalam masyarakat multikultural. Yang terpenting dilakukan adalah bagaimana meningkatkan pemahaman yang benar tentang etnisitas dan menemukan cara yang tepat untuk mengelola keberagaman dan kebangkitan etnik. Pemahaman yang tidak hanya melahirkan primordialisme yang terarah pada disintegrasi bangsa, tetapi semangat pemersatu yang menjadikan Indonesia menjadi lebih dinamis dalam membangun peradabannya.
Pemahaman etnisitas diatas merupakan sebuah upaya untuk melakukan pola integrasi kebudayaan, integrasi dalam ruang lingkup yang luas dan tidak parsial yaitu menjadikan kebudayaan lokal menjadi spirit dalam persaingan global. Pendidikan multikulturalisme pada dasarnya tumbuh dalam semangat globalisasi, yang ditopang oleh kekuatan informasi yang begitu dahsyat sehingga aspek teritorial sudah tidak menjadi kendala untuk mengkampanyekan kearifan lokal itu sendiri. Dari situ kemudian aspek pragmatisme pendidikan dapat terkikis melalui kekuatan kebudayaan yang didorong oleh pemahaman etnisitas dimasing-masing daerah.
Kita harus menyadari bahwa pendidikan tidaklah identik dengan mencari kerja. Asumsi sekolah sama dengan mencari kerja adalah akibat dari budaya pragmatisme. Mencari kerja bukanlah inti orang belajar dan sekolah. Mencari kerja adalah bagian, bukan tujuan utama orang bersekolah. Belajar dan bersekolah adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagimana realitas eksistensial dikonstruksi, memahami bagaimana seharusnya hidup di dan bersama dunia, dan bagaimana menjadi subyek ditengah-tengah perubahan sosial-budaya. Inilah inti pendidikan.
Ketika pemahaman setiap komunitas itu dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan murni maka citra yang terbangun pada akhirnya adalah sebuah pluralitas budaya yang terpisah satu sama lain. Cara itu pada gilirannya membentuk sebuah pengakuan dan pengukuhan terhadap keterpisahan antar budaya. Disinilah kemudian perlunya kontak kultural. Kontak kultural tidak hanya menumbuhkan toleransi, pengakuan akan keberadaan sebuah kebudayaan yang terpisah, melainkan dapat dipastikan akan membuahkan saling pengaruh, saling memperkaya antar budaya, dan gagasan multikulturalisme.
Jika kita berpendapat bahwpa pendidikan adalah kebudayaan, dan dalam pengembangan kebudayaan membutuhkan media pendidikan, maka keduanya menjadi dua pendulum yang secara sinergis tidak dapat dipisahkan baik secara politik maupun kultur masyarakat. Tugas kita kemudian bagaimana menjadikan nilai kebudayaan itu menjadi pola konsep dan prakter dalam aktifitas pendidikan. Bagaimana mencetak generasi bangsa melalui semangat pendidikan yang menjunjung tingga kearifan lokal bangsanya sendiri.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara aspek kebudayaan dan pendidikan diakui dalam keragaman masyarakat Indonesia yang multi dimensi. Hal ini meniscayakan adanya perbedaan dari masing-masing kelompok, maka fungsi pendidikan adalah menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang semestinya disikapi sebagai rahmat dan bukan konflik. Peniscayaan tersebut memungkinkan adanya kerja sama sosial dalam praktek kebudayaan masing-masing daerah. Modal ini adalah intisari dari proses persaingan di era global.
Falsafah pendidikan yaitu aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan falsafah itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Ungkapan ini kemudian meniscayakan adanya aktifitas pikiran, dan aktifitas pikiran secara sederhana dibentuk oleh lingkungan budaya yang terjadi diluar kita. Maka secara esensial aspek pendidikan memiliki peranan dalam menceritakan kronologis sejarah bagaimana kebudayaan itu dibentuk dan bagaimana hari ini kebudayaan itu dikembangkan oleh generasi yang menjadi tonggak peradaban masyarakat Indonesia.

B. Kearifan Lokal; Menuai Intisari Masyarakat Madani Indonesia.
Membincang mengenai kearifan lokal, maka kita akan masuk pada sebuah mainstream yang sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Aspek ini merupakan varian utama guna membentuk apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan masyarakat madani. Masyarakat madani adalah manifestasi sebuah corak kemasyarakatan dalam sebuah negara, dalam hal ini masyarakat madani memiliki ciri tertentu, yang secara spesifik terbagi dalam beberapa bagian yaitu, masyarakat kritis dan obyektif, terbuka dan dinamis, berbudaya dalam aktifitas sosialnya.
Aspek pertama kemudian memuat masyarakat yang kritis terhadap realitas eksternal di sekelilingnya, selalu berupaya memposisikan perbedaan sebagai rahmat dan bukan konflik. Ciri kedua kemudian mengandung muatan dalam arti terbuka atas segala bentuk local wisdom yang ada serta mampu memberikan reformulasi budaya seiring perkembangan zamannya. Sedangkan ciri yang ketiga adalah masyarakat dimana aktifitas sosialnya ditopang oleh mentalitas kebudayaan yang membentuk filosofi pandangan hidupnya.
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma (paradigm shift) dari pendidikan nasional untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan nasional harus diarahkan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
Telah disebutkan diatas bahwa paradigma pendidikan nasional harus mengalami paradigm shift, secara eksploratif bisa kita analisis bahwa interpretasi awal yang dilakukan adalah menjadikan nuansa kearifan lokal sebagai corak pembentukan paradigma pendidikan. Pendidikan dalam hal ini berperan sebagai ruang penopang dari peradaban masyarakat madani. Sebuah paradigma yang meniscayakan adanya nilai-nilai kearifan lokal dalam teori dan prakteknya. Pendikan pada dasarnya memiliki keterkaitan nilai dengan kebudayaan, maka dari itu penopang penciptaan masyarakat madani adalah upaya pengembangan kearifan lokal dalam ruang lingkup pendidikan.
Keragaman masyarakat Indonesia, mengharuskan struktur sosial kita untuk terbiasa dengan perbedaan. Disinilah letak kekayaan sumber daya yang ada di Indonesia. Persoalannya kemudian adalah aspek pragmatisme dalam pola hubungan kemasyarakat juga ditopang oleh kecendrungan kepada materi yang berlebihan oleh struktur pemerintahan. Sehingga kekayaan dari kearifan lokal itu secara tidak sadar menjadi “barang dagangan” kepada para wisatawan. Sehingga pemaknaan terhadap kearifan lokal secara serentak disikapi oleh masyarakat sebagai simbol etnisitas yang dimanifestasikan lewat pakaian adat, bahasa daerah dan situs kebuayaan. Jadi secara sederhana orang yang berbudaya adalah orang yang memiliki pakaian dan mampu berbahasa daerah. Inilah yang kami sebut sebagai kelemahan kita dalam menyikapi kebudayaan, sehingga perubahan paradigma mennjadi penting dalam tata nilai pendidikan dan kebudayaan.
Masyarakat madani Indonesia seperti yang kami jelaskan diatas adalah masyarakat yang secara adat istiadan beragam namun memiliki semangat persatuan dalam konstelasi persaingan global. Pengintegrasian atau akultirasi kebudayaan suku bangsa yang ada di Indonesia bukan berarti menyatukan adat istiadat itu dalam satu dominasi kebudayaan. Namun bagaimana menjadikan keragaman local wisdom sebagai tali pemersatu dari suku bangsa yang ada di Indonesia. Dengan begitu masyarakat madani adalah masyarakat yang mampu terbuka dan menghargai keragaman budaya bangsanya seindiri.
Masyarakat tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena hanya manusia saja yang hidup bermasyarakat yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain dan saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak. Sebaliknya manusia pun tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Seorang manusia yang tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat, tidak dapat menunaikan bakat-bakat manusianya yaitu mencapai kebudayaan. Dengan kata lain dimana orang hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan.
Hubungan yang erat diatas merupakan sebuah indikasi bahwa dalam diri manusia, ada kecendrungan untuk melakukan pola interaksi dengan sesama manusia dan juga lingkungannya. Intraksi yang bersifat dialektis tersebut yang membentuk sebuah kebudayaan. Tinggal kemudian bagaimana fungsi manusia Indonesia mampu mengarahkan kebudayaannya pada ruang-ruang yang produktif untuk membentuk sebuah tatanan peradaban bangsa yang lebih mandiri dan mampu bersaing.
Dalam perspektif pendidikan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem ‘ideologi dominan’ yang tengah berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif kearah transformasi sosial budaya menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan stuktur ketidak adilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial budaya yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin bisa netral, obyektif maupun detachmen dari kondisi masyarakat.
Berangkat dari perspektif pendidikan kritis diatas, maka upaya untuk menuai intisari masyarakat madani di Indonesia kemudian harus diposisikan pada pemberdayaan wadah pendidikan yang terarah pada sebuah keberpihakan terhadap pengembangan kebudayaan yang dimanifestasikan melalui kearifan lokal masing-masing suku bangsa Indonesia. Sebab pendidikan tidak bisa dilepaskan dari manusia dan manusia memiliki keterkaitan dengan kebudayaan yang secara deterministik membentuk dirinya.
Azyumardi azra, seorang pemikir Indonesia dewasa ini, menegaskan bahwa perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik disamping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong kehidupan.
Fungsi praktek pengajaran secara mendasar seharusnya diletakkan pada bagaimana sebenarnya peserta didik mampu memahami kultur kebudayaan dan local wisdom yang ada disekitarnya. Sehingga pengetahuan tentang kekayaan akan kearifan lokal tersebut yang nantinya akan membentuk karakter intelektual peserta didik yang tidak lain adalah genarasi pelanjut perjuangan bangsa. Corak pendidikan yang seperti inilah yang diharapkan mampu membentuk kesadaran generasi bangsa untuk kembali menjadikan kebudayaan sepagai pilar utama dari masyarakat madani.
Kebudayaan masyarakat kota yang berbasis agraris dapat ditunjuk secara khusus sebagai suatu jenis yang berbeda, baik dengan jenis kebudayaan pra-melek huruf yang mendahuluinya dan dengan budaya teknikalistik modern yang telah mengikutinya. Berbeda dengan masyarakat sebelum munculnya kota, bahkan dengan masyarakat pertanian sebelum munculnya kota-kota, masyarakat mengenal suatu tingkat kompleksitas sosial dan kultural yang tinggi; suatu kompleksitas yang diwakili bukan saja oleh kehadiran kota-kota, tetapi juga oleh tulisan, dan oleh semua.Ini menyiratkan spesialisasi yang berskala luas dari kelompok yang berbeda dari perkembangan tradisi kultural yang kumulatif.
Jika ingin sedikit melakukan sedikit refleksi dan melontarkan pertanyaan, sebenarnya bentuk kebudayaan Indonesia itu seperti apa? Pertanyaan diatas merupakan sebuah instrumentasi bagaimana sebenarnya produk kearifan lokal itu dibentuk oleh sejarah masyarakat Indonesia yang agararis dan maritim. Dengan demikian kita bisa menganalisa bahwa dari masing-masing bentuk kearifan lokal suku bangsa yang ada di Indonesia merupakan representasi dari model masyarakat agraris dan maritim. Dan ini secara integral mengikat masyarakat dari Sabang sampai Merauke.
Dari kerangka diatas dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa masyarakat madani Indonesia adalah masyarakat yang menjadikan dua kekuatan agararis dan maritim itu dalam membentuk peradabannya. Sebab pola akulturasi budaya dari benang merah diatas secara proposisi historis menghubungkan segenap masyarakat Indonesia dimulai dari model kerajaan hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Kekuatan agraris dan maritim tidak hanya harus dimaknai sebagai basis ekomomi bangsa, namun lebih dari itu semangat agraria adalah nuansa yang secara uneversal dimiliki oleh seluruh elemen suku bangsa Indonesia. Begitu juga dengan kekuatan maritim merupakan aspek penghubung maysarakat Indonesia dari masa ke masa, kekuatan maritimlah yang telah mempertemukan suku bangsa Jawa dengan Bugis, suku bangsa Kalimantan dan Sumatera, begitu seterusnya. Disinilah integrasi kebangsaan dimulai dan diperkuat oleh kekuatan kearifan lokal masing-masing menuju persaingan Indonesia di era global.
Kearifan lokal merupakan ciri dari bangsa Indonesia itu sendiri sehinggu corak masyarakat madani Indonesia dapat dilihat melalui keragaman budaya masing-masing suku bangsa. Dinamika kebudayaan tersebut merupakan semangat pluralistik masyarakat Indonesia, yang jika diarahkan oleh pola pendidikan akan membentuk sebuah persatuan bangsa yang mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Persaingan itu akan lebih bermkana jika diotpang oleh karakteristik masyarakat yang berbudaya dan menghargai perbedaan. Disinilah letak peran pendidikan.
C. Bisakah Indonesia Bersaing di Dunia Internasional?
Setelah bangsa Indonesia melakukan refitalisasi kebudayaan yang direpresentasikan oleh kearifan lokal melalui wadah pendidikan. Maka pertanyaan selanjutnya yang mesti dijawab adalah, bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multi dimensi sehingga aspek pluralistik menjadi karakter yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Sehingga kita sudah tidak heran lagi di era milenium ini bayak pergaulan lintas etnis yang begitu intim kita temukan. Persoalannya kemudian adalah arus globalisasi dengan corak budaya populernya secara sadar atau tidak telah mengikis dimensi kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Pertanyaan utama yang masih tersisa: apakah mind Asia mampu mengembangkan paduan nilai yang tepat, yang akan memelihara kekuatan tradisional niali-nilai Asia (semisal kasih sayang pada keluarga sebagai sebuah isntitusi, rasa hormat kepentingan sosial, sifat berhemat, konservatisme dalam adat istiadat sosial, rasa horhat pada pemimpin) seperti halnya penyerapan terhadap nilai-nilai Barat (penekanan pada prestasi individu, kebebasan politik dan ekonomi, rasa hormat pada hukum dan institusi-institusi nasional). Itulah tantangan yang kompleks yang dihadapi bangsa Asia.
Indonesia merupakan negara kesatuan yang secara geografis merupakan bagian dari Asia, corak masyarakat Asia di mata Internasional adalah masyarakat dengan latar belakang budaya yang memiliki kesamaan secara garis besar seperti dikemukakan diatas. Aspek kebudayaan itu sering diistilahkan sebagai kebudayaan Timur. Hal ini merupakan ciri dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pola tenggag rasa dan gotong royong. Sehingga dalam konstelasi Internasional, Indonesia seringkali menjadikan kekuatan keragaman budaya sebagai ruang dimana karakteristik tersebut dijadikan “senjata” untuk bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain.
Menuju persaingan dalam konstelasi Indternasional adalah sebuah upaya yang cukup signifikan untuk membangun kemandirian bagsa. Namun hal ini secara intern juga harus memiliki persiapan akan tantangan yang akan dihadapi kedepannya. Jika kemudian kebudayaan menjadi sebuah acuan dalam melakukan sebuah upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam pola pembangunan jati diri bangsa. Maka secara eksplisit juga harus dirumuskan beberapa antisipasi terhadap beberapa persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme. Pluralisme tidak benar sekadar pengakuan (pasif) akan kenyataan kemajemukan atau pluralitas. Lebih dari itu, kesadaran kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif kepada kenyataan kemajemukan itu sendiri secara aktif. Seseorang akan dapat menyesuaikan diri kepada cara hidup demokratis jika ia mampu mendisiplin dirinya kearah jenis persaruan dan kesatuan yang diperoleh melalui penggunaan kreatif dinamika dari segi-segi positif kemajemukan.
Berekenaan dengan itu, tantangan yang nyata bagi bangsa Indonesia agaknya ialah bahwa kita berada dalam sebuah dimensi dimana penyikapan terhadap aspek kebudayaan yang telah dipariwisatakan tidak hanya secara politik namun juga pada aspek pengembangan kebudayaan itu sendiri mengalami stagnasi. Tantangan yang nyata ini adalah buah dari kehidupan modern yang secara sepihak tidak mampu diimbangi oleh penguatan kembali aspek kearifan lokal suku bangsa Indonesia. Secara sederhana generasi sudah merasa asing dengan intisari dari kebudayaan lokal yang berada disekelilingnya. Untuk itu menjadikan kebudayaan dalam semangat pemersatu dan pembentuk kemandirian bangsa melalui pendidikan merupakan sebuah alternatif pemikiran dan model oprasionalisasi dari pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang lebih mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian bab-bab sebelumnya tentang Peran Pendidikan Guna Menopang Kearifan Lokal; Menuju Kemandirian Indonesia dalam Persaingan Global, secara keseluruhan bertolak dari rumusan masalah yang diangkat, sehingga secara global dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan secara mendasar menjadi ruang dimana penguatan kearifan lokal itu dapat dikembangkan. Sehingga menjadi sebuah tindakan keliru memisahkan antara proses pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan dalam kerangka ini, harus diarahkan pada sebuah keberpihakan yang jelas terhadap kebudayaan yang melahirkan kearifan lokal itu sendiri, dengan begitu semangat pendidikan disisi lain menjadi sebuah penopang kearifan lokal dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Sehingga kearifan lokallah yang membentuk jati diri dan kemandirian bangsa Indonesia sebagai pilar kemajuan.
2. Keragaman masyarakat Indonesia, mengharuskan struktur sosial kita untuk terbiasa dengan perbedaan. Disinilah letak kekayaan sumber daya yang ada di Indonesia. Kekayaan sumber daya tersebut yang secara sinergis akan membentuk masyarakat Indonesia yang madani. Masyarakat Indonesia yang kritis dan obyektif, terbuka dan dinamis serta berbudaya dalam aktifitas sosialnya. Ketika kekuatan ini telah menjadi sebuah basic need dari masyarakat Indonesia maka kebudayaan kemudian berada pada sebuah acuan dasar untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih maju dan mandiri. Keragaman yang multi dimensi tersebut harus selalu disikapi sebagai rahmat bukan dengan konflik. Dengan begitu perbedaan sudah tidak lagi menjadi maslah yang dapat melahirkan disintegrasi bangsa, namun perbedaan menjadi sebuah stimulus guna membangun persatuan dan kebersamaan bangsa Indonesia itu sendiri.
3. Dengan demikian aspek kebudayaan yang dikembangkan dan dilestarikan melalui wadah pendidikan, adalah upaya mempersiapkan bangsa Indonesia dalam persaingan global diera moderen seperti sekarang ini. Persaingan tersebut mengharuskan bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah kekuatan yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakatnya. Untuk itu pengembangan kearifan lokal dimasing-masing suku bangsa, harus secara serius diberikan porsi khusus untuk kembali menjadikan aspek kearifan lokal tersebut sebagai modal dalam persaingan bangsa-bangsa di dunia.

B. Saran
1. Mengingat aspek kebudayaan yang ada di Indonesia begitu beragam, maka perlu kiranya Perguruan Tinggi sebagai reresentasi dari dunia pendidikan yang ada dimasing-masing daerah untk lebih serius dalam melakukan eksperimen ilmiah mengenai kekanyaan etnisitas daerah masing-masing. Dari situ kemudian perhatian secara serius dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali menjadi kearifan lokal sebagai pilar kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan yang beragam tersebut mampu diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan latar belakang budaya.
2. Bagi para peminat dan pengkaji ilmu-ilmu budaya dan bahasa, agar terus menjadikan keragaman budaya yang ada di Indonesia sebagai obyek studi yang tidak sekedar berorientasi pada pemahaman yang bersifat komprehensif, namun lebih dari itu transformasi kepada mesyarakat adalah sebuah hal yang cukup signifikan dilakukan oleh pemerhati budaya dan bahasa. Sehingga secara politik jika hal ini dilakukan mampu menyatukan kembali departemen pendidikan dan kebudyaan, dengan begitu pengembangan secara serius mendapatkan dukungan serius pula dari pemerintah. Wallahu a’lam.


DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo dkk. (2009). Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. (2007). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hafidz, Muslim. Kumba Sukmono Andi (ed). (2009). Membatja Oelang Indonesia. Jakarta: PB HMI Priode 2006-2008.
Hodgson, G. S. Marshall. (2002). The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Jilid Pertama: Masa Klasik Islam). Jakarta: Paramadina.
Mahbubani, Kishore. (2005). Bisakah Orang Asia Berpikir?. Jakarta: Teraju Mizan.
Nuryatno, M. Agus. (2008). Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book.
Omar, Mohammad. (1976). Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Prasetya, Tri, Joko dkk. (1998). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Raharjo, Toto (ed). Pendidikan Populer: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: INSIST Press.
Shobron, Sudarno. Jinan, Mutohharun (ed). (1999). Islam, Masyarakat Madani, dan Demokrasi. Surakarta: UMS Press.
Sumartana, Th dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: DIAN/Interfidei.
Tilaar, H. A. R. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.