Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Rabu, 03 Februari 2010

Antara achievement effectivity (UN) dan prediction effectivity (SNMPTN)

Ujian Nasional (UN) pada dasarnya merupakan proses evaluasi keseluruhan dari proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah lanjutan pertama dan menegah. Sehingga kriteria utama dalam penilaian kualitas UN adalah achievement effectivity, yaitu sejauh mana alat ukur evaluasi ini dapat mengukur secara tepat kemampuan riil atau prestasi siswa. Dengan kata lain proses penilaian akan melihat pada aspek kualitatif siswa, yang prestasinya baik maka akan mendapatkan nilai UN yang baik pula.

Berbeda dengan UN, kriteria utama kualitas SNMPTN adalah prediction effectivity, yaitu sejauh mana alat ukur evaluasi ini dapat mengukur secara tepat kemampuan potensial atau "potensi dalam" seorang kandidat mahasiswa baru. Dengan kata lain, kandidat yang potensinya besar mendapat skor SNMPTN yang tinggi, demikian pula sebaliknya.

Namun yang harus dilihat dalam persoalan ini adalah konteks dari pelaksanaan dua momentum besar diatas. Jika peran sekolah untuk meningkatkan standar mutu siswa secara nasional, yang direpresentasikan oleh guru, maka proses penilaian UN juga harus melibatkan aktor-aktor pengajar yang selama 3 tahun melakukan penilaian di tiap semester kepada siswa-siswinya baik ditingkat pertama dan menegah. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses kelulusan seorang siswa kemudian ditentukan pula oleh pendidik yang selama proses pembelajaran terlibat aktif yakni guru itu sendiri.

Sekolah pada dasarnya harus diberikan “porsi” yang lebih besar guna melakukan proses evaluasi akhir bagi siswanya dan diarahkan untuk mampu menjadi penentu dalam proses kelulusan siswa itu sendiri. Namun yang harus diperhatikan juga adalah kredibilitas dan obyektifitas sekolah dalam melakukan penilaian, sehingga proses UN betul-betul jauh dari interfensi yang kontra produktif dengan prestasi siswa. Relasinya kemudian pada tingkat SNMPTN adalah sekolah dapat memberikan rekomendasi terhadap siswa-siswa yang berprestasi untuk diajukan kepada perguruan tinggi negeri maupun suasta.
DEPDIKNAS sebagai sebuah institusi negara yang memiliki legitimasi di bidang pendidikan, seharusnya mampu melihat aktifitas pembelajran di sekolah pertama dan menegah sebagai sebuah proses yang menyeluruh. Hal ini akan berakibat pada format kebijakan yang nantinya akan dikeluarkan. Jika proses belajar mengajar dilakukan dan dilaksanakan sepenuhnya oleh sekolah, maka proses penentuan dan penilaian soal-soal dalam UN juga harus melibatkan sekolah. Sehingga proses UN di masing-masing daerah memiliki format soal dan mekanisme penilaian yang berbeda, sesuai dengan model pendidikan yang dilaksanakan di masing-masing daerah.

Secara sederhana DEPDIKNAS dalam kapasitasnya sebagai institusi yang bertanggung jawab di ranah pendidikan harus mampu melihat proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di masing-masing daerah. Dari sini kemudian format pelaksanaan UN mampu merepresentasikan model pendidikan yang ada di masing-masing daerah yang ada di Indonesia.

Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.

AC-FTA: Antara Hegemoni dan Kemandirian Ekonomi

Tahun 2010 diprediksi menjadi tahun keemasan bagi perekonomian Cina, hal ini bisa dilihat dari hegemoni produk barang dan jasa yang ada di pasar domesti. Hampir semua produk barang dan jasa semuanya di impor dari cina. Sejauh mana UMKM mampu bersaing? Era pasar bebas apakan menguntungkan bagi kemjuan ekonomi Indonesia? Bagaimana seharusnya pemerintah dalam hal ini?

Asean China Free Trade Area (AC-FTA) telah menjadi sebuah produk kebijakan baru yang diberlakukan di 2010. Artinya, saat ini produk Cina telah menjadi komoditas yang membeanjiri pasar dalam negeri. Hal ini kemudian ditopang oleh back up penuh dari pemerintah melalui suku bunga keredit rendah. Konsekuensinya adalah produk domestik akan kewalahan dalam melakukan persaingan. Salah satu pelaku usaha yang memiliki eksistensi penting namun “terlupakan” dalam hal ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Melalui format AC-FTA, telah disepakati penurunan dan penghapusan tarif bea masuk secara bertahap. Melalui Early Harvest Programme (EHP) yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain.

Artinya, lalu-lintas barang antar negara Asean dan China akan mengalir bebas, tanpa adanya proteksi tarif apa pun. Lebih jauh, Cina yang selama ini dikenal dengan produknya yang murah-meriah, bisa-bisa semakin menggusur produk lokal di masing-masing daerah. Bahkan saat krisis keuangan global melanda akhir 2008 lalu, Cinalah sebagai mesin utama ekonomi dunia, dengan pertumbuhan ekonomi regionalnya diperkirakan mencapai 9,1% di 2010.

Padahal jika kita mengenal lebih jauh dan dalam, peran UMKM bukanlah sekedar pendukung dalam kontribusi ekonomi nasional. UMKM dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis.

Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu: Pertama, jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada tahun 2005 tercatat jumlah UMKM adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit usaha Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap 77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22% dari total PDB.

Hal inilah yang seharusnya mampu “dilirik” oleh Pemerintah untuk memposisikan kekuatan ekonomi menengah pada posisi dan porsi yang lebih ideal. Dari aspek diatas sangat memungkinkan akselerasi ekonomi secara berkelanjutan akan terlaksana. Fokus pemerintah pra krisis ekonomi orde baru yang lebih melibatkan konglomerasi usaha terbukti telah menyeret perekonomian kita pada jurang yang lebih dalam. Sehingga dukungan kebijakan juga harus diberikan kepada pelaku UMKM yang lebih banyak menyerap tenaga kerja.

Perlu kiranya Pemerintah dalam hal ini melakukan penyeimbangan antara hegemoni pruduk dari Cina dan produk domestik. Peran UMKM harus diarahkan juga pada kemudahan baik dari segi pajak dan akses untuk mendistribusikan prduknya ke pasar nasiolal. Dengan begitu persaingan antara AC-FTA dan UMKM akan lebih sehat dan mampu menciptakan kemandirian ekonomi.

Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.

Pertumbuhan Ekonomi Harus Didukung Korporasi

Upaya akselerasi laju pertumbuhan ekonomi dan investasi yang tinggi serta sustainable tidak akan optimal tanpa adanya dukungan dari masyarakat luas, khususnya sektor korporasi Indonesia.

Infestasi merupakan faktor penting dalam mengakselerasi pertumbuhan di 2010, selain menjaga momentum pertumbuhan konsumsi rumah tangga, saat ini sektor tradable, khususnya manufaktur dan agrikultur masih menghadapi permasalahan keterbatasan infrastruktur sehingga tidak bisa berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Padahal sektor ini menyerap banyak tenaga kerja.

Rendahnya kontribusi sektor tradable tersebut, jelas menyebabkan penurunan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2009. Pada periode itu, rata-rata pertumbuhan sebesar 5% atau turun jika dibandingkan periode 1990-1996, yang rata-rata pertumbuhannya sebesar 7%. “Ini PR bagi pemerintah bagaimana menyeimbangkan tradable dan non tradable". Butuh waktu lama untuk memperbaiki kondisi tersebut, terlebih pada saat ini terjadi gejala deindustrialisasi akibat peralihan struktur investasi, dari sektor tradable ke sektor non tradable.

Dari dimensi ekonomis, besar-kecilnya kontribusi sektor korporasi dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional akan banyak ditentukan oleh daya entrepreneurship dan kemampuan inovatif pelaku bisnis untuk mentransformasi tantangan menjadi peluang. Namun dari sisi responsibilitas sebagai anggota masyarakat, korporasi dituntut pula untuk menunjukkan kepedulian untuk berbuat yang terbaik tidak hanya untuk pemegang saham dan perusahaan, tetapi juga kepada stakeholders lainnya yang mewakili kepentingan bangsa.

Dimensi ini adalah penopang dari akselesari ekonomi yang diinginkan, sehingga infestasi di sektor apapun harus ditopang sepenuhnya oleh korporasi sebagai bagian integral dari masyarakat. Optimalisasi dari dukungan korporasi akan meningkatkan investasi yang tinggi dan sustainable dalam melakukan akselerasi ekonomi kepada masyarakat luas.

Format akselerasi ekonomi harus didasari oleh prinsip-prinsip mulia dari tata kelola yang baik, mulai dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness. Penerapan secara konsisten kelima prinsip ideal itu tidak hanya penting untuk perusahaan dan stakeholdernya, namun lebih jauh lagi diperlukan untuk membangun image atau persepsi posisif bangsa ini di mata pelaku bisnis global dan di mata negara-negara lain di dunia.

Dalam rangka meningkatkan penerapan good governance, pemerintah diharapkan serius dalam melaksanakan Program Reformasi Birokrasi yang bertujuan untuk mendorong kapasitas atau kemampuan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta meningkatkan pelayanan masyarakat secara lebih maksimal.

Beberapa faktor resiko yang dihadapi tahun 2010 adalah meningkatnya harga komoditas global yang berpotensi memicu laju inflasi ke double digit. Resiko lainnya, yaitu masih rentannya sektor keuangan, risiko pembiayaan dan fiskal seiring membesarnya utang jatuh tempo di 2010, yang mencapai Rp64,2 triliun.(*)

Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menanti Reformasi “Jilid II”

Skandal Bank Century telah menjadi perbincangan yang cukup hangat dalam beberapa pekan terakhir. Media massa baik cetak maupun elektronik menjadikan isu ini sebagai informasi yang tidak pernah luput dalam pemberitaannya. Begitu juga dengan unjuk rasa yang serentak dalam skala nasional membentuk “parlemen jalanan” guna memberikan aspirasi dan tuntuan terhadap masalah skandal Bank Century yang menelan dana suntikan LPSK Rp. 6,7 triliun yang hingga saat ini tidak jelas distribusi keuangannya kemana?

Opini publik seolah digiring pada isu besar ini, sehingga episode panjang kasuc century mampu menemukan titik terang. Melihat kondisi ini masyarakat masih memiliki harapan pada struktur konfensional negara yang direpresantasikan oleh badan penyidik nasional (baca: DPR, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK). Jika persoalan ini tidak mampu diselesaikan maka konsolidasi nasional akan timbul melalui “parlemen jalanan”. Inilah yang kami sebut dengan pola terorganisir menuju reformasi jilid dua.
Skandal Century ini telah membuat lebih dari 200 anggota DPR menandatangani usul Hak Angket. DPR menilai, ada fakta tersembunyi di balik pengucuran dana talangan yang tiga kali lipat lebih banyak dari yang disetujui parlemen.

Namun, yang juga harus dikawal lebih jauh oleh masyarakat adalah proses penyelidikan oleh panitia angket DPR, bahwa proses ini akan berlangusng lama. Hasil penyelidikan pun selanjutnya akan melahirkan rekomendasi atas siapa saja yang terlibat dalam talangan dana tersebut, dan selanjutnya diproses lagi oleh pihak yang berwenang, bisa KPK, Kepolisian ataupun Kejaksaan.

Jika proses pengusutan skandal Bank Century tidak mampu merekomendasikan apa-apa dan akan berakhir sama dengan kasus BLBI, maka hal ini akan kembali membuka luka lama masyarakat akan kinerja lembaga negara yang sangat lemah. Momentum ini seharusnya menjadi saat yang tepat untuk bersinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, ketiga institusi ini harus memanfaatkan skandal Bank Century untuk memperbaiki kinerja mereka.

Lemahnya ketegasan Presiden semakin memperkeruh persoalan ini, sikap hati-hati yang selalu ditunjukkan oleh presiden menjadikan proses penyelesaian skandal Bank Century semakin jauh dari titik terang. Hal ini mengindikasikan banyak pihak yang “mencurigai” keterlibatan presiden dalam kasus bailout Bank Century. Langkah konkrit presiden sangat dinanti oleh masyarakat untuk sesegera mungkin “turun gunung” untuk menyelesaikan kasus century, jika tidak maka people power sudah menanti.

Agenda 100 hari pemerintahan SBY-Budiono telah gagal di depan mata, ini terbukti melalui goyahnya koalisi Partai pendukung pemerintah yang disebabkan oleh skandal bank century. Semua elemen masyarakat harus bersama-sama mengawal terus penyelesaian kasus ini. Semoga saja panitia angket DPR mampu membuktikan keseriusan mereka untuk memberi penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat akan energei yang telah terkuras oleh kasus bank century ini.

Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.

UN Picu Biaya Ekonomi Tinggi

Meski Ujian Nasional (UN) telah dianulir oleh Mahkamah Agung (MA), pemerintah bersikeras akan tetap melanjutkan. Upaya tetap melaksanakan UN hanya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Jika dilihat dari aspek pembiayaan pelaksanaan UN, dari tahun ke tahun menghabiskan anggaran milliaran rupiah. Aspek pembiayaan ini tidak menjamin kualitas siswa secara komptensi yang lulus dalam pelaksanaan UN.

Sejak 2003, anggaran yang dikucurkan untuk UN sebesar Rp 250 miliar. Kenaikan signifikan terjadi tahun 2007 menjadi Rp 572,9 miliar dan 2008 sebanyak Rp 439 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk anggaran daerah yang dipergunakan untuk pelatihan guru-guru menghadapi UN yang nilainya mencapai Rp 5 miliar.

Aspek diatas membutuhkan evaluasi yang menyeluruh, melihat aspek penilaian UN ternyata belum selektif di lapangan. Ini terbukti dari beberapa siswa yang tidak lulus dalam pelaksanaan UN ternyata adalah siswa yang berprestasi di sekolahnya.

Belum lagi biaya dalam mengikuti pelaksanaan SNMPTN, dari mulai biaya pendaftaran hingga uang SPP dan berbagai sumbangan lainnya. Semakin menambah jumlah pengeluaran yang harus di biayai oleh orang tua siswa.

Bagi siswa, dampak ekonomi sangat terasa. Berbagai biaya tambahan dipergunakan untuk menjamin kelulusan. Seperti untuk les, bimbingan belajar, guru privat atau buku tambahan.

Dengan biaya tinggi itu, menurut sejumlah aktivis tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. UN dianggap menumpulkan esensi pendidikan dan melayani birokrasi semata.

Pemerintah dalam hal ini harus melakukan peninjauan ulang terhadap model UN yang akan dilaksanakan, sehingga mampu meminimalisir anggaran dalam pelaksanaan UN nantinya. Disisi lain pemerintah juga harus melihat efektifitas anggaran dan kualitas siswa yang diluluskan melalui mekanisme UN.
UN harus mampu memacu tingkat belajar siswa sehingga mampu bersaing dalam skala nasional. Sehingga dari sini pemerintah kemudian tidak sia-sia mengeluarkan anggaran yang banyak, karena UN mampu meningkatkan prestasi putra-putri Indonesia.

Selain itu untuk meminimalisir anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang harus dintegrasikan sebenarnya antara UN dan SNMPTN adalah segi pembiayaan. Karena SNMPTN memiliki tes sendiri untuk menjaring mahasiswa barunya. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa antara UN dan SNMPTN pasti memiliki konsep masing-masing.

Secara garis besar dari uraian diatas besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN juga harus berimbang pada tingkat prestasi yang juga meningkat dari siswa itu sendiri.

Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.

Partai Politik, Pilkada dan Pemilih Cerdas

Pesta demokrasi (Pilkada) yang akan dilakukan di tiga kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu Sleman, Gunung Kidul dan Bantul. Diperkirakan akan dilaksanakan pada bulan Mei mendatang. Geliat politik mulai bergolak dari kampanya kecil-kecilan yang dilakukan oleh calon kandidat kepala daerah. Mulai dari pendekatan kultural ke ormas-ormas yang ada di DIY hingga dialog dan seminar yang semakin marak diadakan. Begitu juga dengan proses penggalangan dana kampanye sejak dini telah mulai dilakukan para calon kandidat melalui pencarian sponsor.

Dalam sistem demokrasi partai politik (Parpol) mempunyai beberapa fungsi yang penting dan utama, anatara lain fungsi rekrutmen, pendidikan dan pelatihan bagi orang-orang yang layak untuk menduduki posisi-posisi di legislatif maupun eksekutif (seleksi kandidat) atau sebagai pengurus partai, pengumpulan dan artikulasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu, dan integrasi kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam satu program politik.

Dalam lingkup daerah parpol pada dasarnya juga berfungsi sebagai “jembatan” antara masyarakat dan sistem politik yang memberikan kesempatan kepada warga untuk berpartisipasi secara aktif dalam dunia politik. Sementara Komisi Pemilihan Umum Derah (KPUD) berperan sebagai ruang sosialisasi dan informasi dari prores pelaksanaan Pilkada. Dengan demikian partai politik memberikan legitimasi dan dapat memperkuat stabilitas demokrasi dan KPUD memberikan pembelajaran politik guna menciptakan pemilih cerdas.

Secara sosiologis ada dua tipikal pemilih yang ada di Indonesia yaitu pemilh rasional dan pemilih emosional. Pemilih rasional adalah individu masyarakat yang melihat sejauh mana tawaran parpol dalam kehidupan demokrasi, sedangkan pemilih emosional adalah mereka yang memilih parpol berdasarkan kedekatan kekerabatan, pengaruh agitasi politik dan kesamaan ideologi atas ormas tertentu yang dimilikinya.

Tidak adanya proses pendidikan politik berkelanjutan yang dilakukan oleh KPUD mengakibatkan lemahnya partisipasi masyarakat dalam konstelasi politik daerah. Model partisipasi masyarakat hanya dirasakan pada saat-saat kampanya hingga pemilihan berlangsung, selebihnya rakyat hanya dijadikan wacana dalam perdebatan yang dilakuakan di lembaga pemerintahan. Hampir semua kandidat calon bupati dan wakilnya mengatasnamakan aspirasi masyarakat, namun disisi lain masyarakat masih kebingungan mencari sesuap nasi. Sebuah fenomena yang mencengangkan. Sifat normatifitas dalam hal kampanye hanya akan menjadi mimpi yang sulit untuk diaktualisasikan.

Untuk menjamin berjalannya peningkatan partisipasi politik masyarakat, khususnya di wilayah Sleman, Gunung Kidul dan Bantul. Secara optimal diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial-politik serta keselarasan peran parpol itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Dan KPUD sebagai sarana sosialisasi politik serta pusat informasi dan wadah pendidikan politik. Hal ini sangat dibutuhkan guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses Pilkada nantinya. Sehingga antara kandidat yang terpilih nantinya mampu bersinergi dengan masyarakat.

Partisipasi dinilai sebagai media menyampaikan atau ikut sertanya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik (public policy), dalam hal ini KPUD memiliki peranan yang sangat penting untuk membangun komunikasi politik dan persepsi terhadap partai politik, kandidat dan pemilih dalam Pilkada. Model komunikasi inilah yang sesungguhnya harus ditopang oleh pendidikan politik yang berkelanjutan. KPUD sebagai wadah sosialisai terhadap para pemilih harus mampu memberikan informasi terhadap pemilih, sehingga masyarakat dapat dengan obyektif menilai calon pemimpinnya kelak.

Hal yang terpenting dalam proses Pilkada yang akan dilaksanakan nantinya adalah penciptaan iklim politik yang kondusif. Hal ini dapat dilakukan jika terbangun sinergi antara para calon kandidat Bupati dan Wakil Bupati dengan pemilih serta KPUD sebagai insitusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pilkada. KPUD harus mampu mencerminkan sikap yang netral dan tidak terikat secara politik dengan calon kandidat. Kesuksesan pelaksanaan Pilkada di tiga kabupaten tersebut diatas akan mencerminkan proses politik yang sehat, sehingga masyarakat DIY pada umumnya mampu membuktikan bahwa proses demokrasi yang sehat dimulai dari pemilih yang cerdas. Sehingga chaos sosial tidak terjadi disebabkan oleh benturan kepentingan antar pendukung kandidat seperti beberapa contoh pilkada yang telah dilaksanakan sebelumnya pada sekian banyak daerah di tanah air. Semoga.

Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.

Ijazah; “Bungkus Kacang” Masa Depan

Engkau Sarjana Muda lelah tak dapat kerja, mengandalkan ijazahmu. Empat tahun lamanya bergelut dengan buku, sia-sia semua. Petikan lagu Iwan Fals diatas seolah mengingatkan kita akan persaingan yang begitu sulit guna memperoleh masa depan yang layak setelah menyelesaikan studi. Melihat fenomena ini, pemerintah berencana memberikan kredit sarjana sebesar Rp5 Juta untuk wirausaha.

Namun yang harus dicermati lebih jauh adalah program tersebut baru sebatas penjelasan lisan Menteri Negara Koperasi dan UKM, jadi belum jelas petunjuk teknis operasionalnya. Para penganggur (baca: sarjana) harus bersabar menanti usaha pemerintah guna mengurangi pengangguran. Dibutuhkan kerja keras untuk merealisasikan rencana program tersebut, belum lagi persoalan birokrasi dengan mekanismenya yang terkadang menjadikan kita kesulitan guna memperoleh akses mendapatkan pinjaman usaha.

Dari tahun ke tahun Perguruan Tinggi (PT) baik negeri maupun suasta, mampu melahirkan ribuan sarjana. Tetapi banyaknya sarjana tak sebanding dengan kuota lapangan kerja yang disediakan. Hal ini telah kita rasakan semenjak orde lama lalu masuk ke orde baru hingga era reformasi seperti sekarang ini. Hal ini mengindikasikan bahwa indeks prestasi yang bagus ternyata tidak mampu menjamin masa depan yang juga bagus. Jadi yang harus dijamin oleh perguruan tinggi secara subtansial adalah persoalan akan kemana para sarjananya kelak?

Berkaca pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75% dari total 222 juta penduduk. Tingkat pengangguran cukup tinggi, yakni pada kisaran 10,8% sampai dengan 11% dari tenaga kerja yang masuk kategori sebagai pengangguran terbuka. Dari data statistik tersebut, kemudian diperparah lagi oleh sebagian besar tamatan PT di Indonesia sejatinya berjiwa pencari kerja. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar sistem pembelajaran di Tanah Air mendidik mahasiswanya untuk cepat lulus dan segera mencari kerja. Lulusan sarjana tidak dicetak menjadi manusia yang mampu menciptakan peluang kerja.

Program agunan kredit yang akan dilaksanakan pemerintah tersebut memiliki beberapa prosedur untuk bisa didapatkan, yaitu pemohon harus mengajukan proposal pengadaan usaha atau pengembangan usaha bagi mereka yang telah memiliki usaha. Setelah itu akan diseleksi lebih lanjut lagi oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir. Program ini belum bisa dikatakan sebagai solusi guna mengurangi pengangguran sarjana, namun hanya sebatas bantuan pinjaman. Sehingga tidak menutup kemungkinan para sarjana akan kesulitan mengembalikan uang kredit ketika usaha ekonomi yang dilakukan kandas ditengah jalan.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari program ini, kita patut memberikan apresiasi terhadap upaya pemerintah guna menanggulangi pengagguran, khususnya para sarjana. Kedepan yang harus dilakukan adalah memberikan akses kemudahan dari proses awal ini, dan juga yang mesti diperhatikan adalah relasi antara konsentrasi studi pada saat kuliah dengan lapangan kerja setelah menempuh studi. Hal ini sangat penting dilakukan guna melihat sejauh mana aspek kualitatif para sarjana yang mumpuni dalam satu bidang tertentu sesuai dengan gelar kesarjanaan yang diperoleh.

Guna menciptakan lulusan sarjana berjiwa wiraswasta, segenap pihak harus dilibatkan. Terutama peran Pendidikan Nasional dalam membentuk kurikulum kewirausahaan dan Bank dalam memberikan fasilitas kredit dan bantuan permodalan. Tapi yang harus digaris bawahi adalah program ini bukan berarti mewirausahakan setiap lulusan sarjana. Kedepan pemerintah harus mampu melihat kompetensi sarjana untuk selanjutnya diarahkan pada lapangan kerja yang sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti, hal ini akan lebih efektif guna menempatkan tenaga-tenaga kompetitif dalam pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih mandiri disegala bidang.

Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.