Jumat, 23 April 2010
PARITISPASI POLITIK PEREMUPAN ATAU PRAKTEK POLITIK PEREMPUAN (Analisis Kritis Fenomena Pencalonan Perempuan Dalam Pemilukada)
Oleh: Taufiq Saifuddin
Geliat politik tanah air kembali menjadi perbincangan hangat yang tidak luput dari wacana ditingkat daerah. Mulai dari kampus-kampus hingga sudut warung-warung kopi perbincangan ini seolah menjadi sebuah obrolan guna membangun sebuah iteraksi.
Partisipasi politik tidak melulu harus dilekatkan dengan keterlibatan secara personifikasi kaum perempuan dalam sturuktur politik baik dalam sakala nasional maupun lokal. Namun yang lebih subtantif yang harus dilihat adalah sejauh mana elektabilitas dari legitimasi konstutisional mampu mengakomodir hak-hak kaum perempuan.
Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang banyak diperdebatkan sepanjang tahun 2002. Inti diskusi itu terfokus pada masalah kuota 30 persen yang bakal diterapkan dalam UU pemilu atau UU partai politik. Para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan di parpol, kalangan akademisi dan LSM nyaris semuanya setuju akan perlunya meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia.
Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini sebagai topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia (baik di tingkat nasional maupun lokal) masih sangat rendah, yakni sekitar 9.2 persen kursi di DPR pusat, 5.2 persen kursi di DPRD, dan di DPD partai-partai politik bahkan lebih rendah lagi (lihat Tabel 1, 2, dan 3 di bawah).
Alasan kedua berkaitan dengan alotnya proses transisi demokrasi di Indonesia. Transisi tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Banyak LSM perempuan yang bergerak di bidang politik sekarang mulai berusaha meningkatkan kesadaran politik kaum perempuan. Oleh karenanya, kini lembaga-lembaga politik di Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu jender itu sebagai unsur yang penting di dalam proses demokratisasi.
Beberapa alasan tersebut seolah menjadi sebuah bentuk afirmasi terhadap keterlibatan perempuan dalam konstelasi politik tanah air. Namun yang harus dipikirkan lebih jauh adalah tidak hanya sekedar memberikan porsi struktural dengan jatah sekian persen kepada kaum perempuan. Namun lebih dari itu, keterwakilan perempuan juga harus seimbang dengan produk kebijakan terhadap pemenuhan hak-hak kaum perempuan dalam memberikan ekspresi terhadap demokrasi.
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah “baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di Madinah.
Sayangnya sekarang partisipasi politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan ini tak hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial. Sejarah politik Islam sejak Nabi SAW wafat dan masa khulafa al-rasyidun sampai awal abad 20 tak banyak menampilkan tokoh perempuan untuk peran-peran publik.
Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: (bukan) Jumlah Semata
Untuk membicarakan upaya memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia kita harus menempatkannya di dalam konteks transisi yang tengah dialami bangsa Indonesia menuju ke sistem politik yang lebih demokratis. Inti demokrasi adalah upaya menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga, tak terkecuali kelompok marjinal dan kaum minoritas. Meskipun secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan, mereka tak lebih dari mayoritas bisu (baca: kelompok besar yang termarjinalisasi secara politis, sosial, kultural dan ekonomis) yang hampir selalu absen pada proses-proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, representasi perempuan di DPR mengalami penurunan dari 12% pada tahun 1992 menjadi 9.2% pada tahun 1999 (Seda, 2002). Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengesahan dan penerapan berbagai produk hukum (UU dan peraturan) dan penetapan prioritas program-progam pembangunan di tingkat nasional dan lokal yang sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan politik, keadilan sosial, maupun kepentingan kaum perempuan.
Fenomena diatas adalah bagian dari praktek demokrasi yang masih pada fase demokrasi prosedural semata. Diakui atau tidak tahapan demokrasi kita masih berada pada tahap on going prosces sehingga wajar jika dimata internasional kita dikelompokkan dalam negara-negara dunia ketiga atau sering kita sebut sebagai negara berkembang. Sekali lagi aspek partisipasi tidak harus dimaknai hanya sebatas keterlibatan persentase kaum perempuan dalam struktur politik, namun yang lebih memiliki subtansi adalah pemenuhan hak-hak perempuan dalam pelaksanaan undang-undang.
Memperkuat partisipasi politik, dan ‘bukan semata jumlah’ berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik.
Prof. Farida Nurland, Kepala Pusat Penelitian Jender dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, telah mengidentifikasikan berbagai masalah dan kendala dalam partispasi politik perempuan sebagai berikut: pertama, budaya Indonesia bersifat feodalistik dan patrialkal; kedua, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman dan penafsiran yang konservatif tentang ajaran-ajaran agama; ketiga, hegemoni negara masih sangat dominan, hal ini tercermin pada lembaga-lembaga negara yang melestarikan budaya partriarkis di segala tingkatan.
Jelas terlihat bahwa di tingkat nasional dan propinsi, kultur patriarki dan sistem politik yang ada berdampak sangat negatif terhadap kaum perempuan yang berusaha melaksanakan hak mereka untuk berpartisipasi secara politis. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, perempuan tidak didorong untuk berperan aktif dalam kehidupan publik; keterampilan dan bakat mereka lebih diakui di dalam lingkungan rumah tangga yang sangat pribadi sifatnya. Dikotomi ini masih dipelihara, bahkan dalam Era Reformasi sekarang ini. Oleh karenanya, perempuan Indonesia menghadapi kendala besar pada dua tingkat. Di luar perjuangan mereka melawan kultur partriarkis itu, mereka juga harus mengatasi praktek-praktek yang bersifat diskriminatif dan ‘buta jender’ dalam proses pemilu, di lembaga-lembaga legislatif maupun di tubuh parpol.
Pencalonan Artis antara Partisipasi atau Sensasi
Berbagai upaya dan strategi dilakukan oleh partai politik guna mendapatkan simpati dan dukungan publik. Hal ini terlihat dari maraknya partai politik yang menjadikan popularitas artis sebagai sebuah jembatan guna memperoleh suara. Indikasi utama dari degradasi politik ini adalah partai tidak melihat trade rekor dari sang artis, sejauh mana kapabilitas dan pemahamannya akan proses pembangunan daerah dimana ia dicalonkan. Kita semua sepakat bahwa tidak ada yang salah dari pencalonan artis dalam konteks kontestasi politik, namun melihat sejauh mana sang artis mampu memberikan kontribusi positif adalah sesuatu yang lebih menarik untuk diperhatikan.
Sebagai publik figur tentunya artis memiliki sekian banyak popularitas dalam mendapatkan simpati masyarakat. Yang harus dianalisis kemudian popularitas itu diperolah melalui pergulatan sang artis dalama wahana entertainment. Berbada kemudian popularitas anggota DPR yang diperoleh melalui proses pergulatannya melalui perdebatan sengit di parlemen. Dua tipikal popularitas ini kemudian harus dilihat dalam dimensi partisipasi artis dalam pemilukada.
Secara sosiologis ada dua tipikal pemilih yang ada di Indonesia yaitu pemilh rasional dan pemilih emosional. Pemilih rasional adalah individu masyarakat yang melihat sejauh mana tawaran parpol dalam kehidupan demokrasi, sedangkan pemilih emosional adalah mereka yang memilih parpol berdasarkan kedekatan kekerabatan, pengaruh agitasi politik dan kesamaan ideologi atas ormas tertentu yang dimilikinya.
Dibutuhkan sebuah rekonstruksi pemahaman yang lebih komprehensif guna menciptakan sebuah proses pemilukada yang lebih demokratis. Berangkat dari dua tipikal pemilih diatas, maka proses pemilukada tidak hanya bisa dilihat dari sejauh mana rekruitmen artis dalam pemilukada mampu mendulang suara guna memperoleh kemenangan. Rekonstruksi pemahaman adalah proses transformasi yang harus dilakukan oleh kaum intelektual kepada masyarakat, sehingga mampu mendapatkan informasi sebagai wadah pendidikan politik.
Proses politik haruslah dimaknai sebagai upaya penciptaan demokratisasi yang bersifat dinamis. Absoluditas dari proses demokrasi meniscayakan adanya penciptaan kesejahteraan sehingga dalam konteks ini partai politik sebagai representasi keterwakilan rakyat harus melihat dimensi diatas guna memberikan sebuah rekayasa demokrasi kepada masyarakat tidak hanya sebatas sensasi.
Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD 1945. Terlepas masih adanya diskriminasi atas perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah dicapai. Adanya responsi dan akseptabilitas terhadap partisipasi politik perempuan diharapkan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat demi menarik dukungan kaum perempuan dalam perebutan kekuasaan yang bernama pemilu. Wallahu a’lam.
Geliat politik tanah air kembali menjadi perbincangan hangat yang tidak luput dari wacana ditingkat daerah. Mulai dari kampus-kampus hingga sudut warung-warung kopi perbincangan ini seolah menjadi sebuah obrolan guna membangun sebuah iteraksi.
Partisipasi politik tidak melulu harus dilekatkan dengan keterlibatan secara personifikasi kaum perempuan dalam sturuktur politik baik dalam sakala nasional maupun lokal. Namun yang lebih subtantif yang harus dilihat adalah sejauh mana elektabilitas dari legitimasi konstutisional mampu mengakomodir hak-hak kaum perempuan.
Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang banyak diperdebatkan sepanjang tahun 2002. Inti diskusi itu terfokus pada masalah kuota 30 persen yang bakal diterapkan dalam UU pemilu atau UU partai politik. Para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan di parpol, kalangan akademisi dan LSM nyaris semuanya setuju akan perlunya meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia.
Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini sebagai topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia (baik di tingkat nasional maupun lokal) masih sangat rendah, yakni sekitar 9.2 persen kursi di DPR pusat, 5.2 persen kursi di DPRD, dan di DPD partai-partai politik bahkan lebih rendah lagi (lihat Tabel 1, 2, dan 3 di bawah).
Alasan kedua berkaitan dengan alotnya proses transisi demokrasi di Indonesia. Transisi tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Banyak LSM perempuan yang bergerak di bidang politik sekarang mulai berusaha meningkatkan kesadaran politik kaum perempuan. Oleh karenanya, kini lembaga-lembaga politik di Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu jender itu sebagai unsur yang penting di dalam proses demokratisasi.
Beberapa alasan tersebut seolah menjadi sebuah bentuk afirmasi terhadap keterlibatan perempuan dalam konstelasi politik tanah air. Namun yang harus dipikirkan lebih jauh adalah tidak hanya sekedar memberikan porsi struktural dengan jatah sekian persen kepada kaum perempuan. Namun lebih dari itu, keterwakilan perempuan juga harus seimbang dengan produk kebijakan terhadap pemenuhan hak-hak kaum perempuan dalam memberikan ekspresi terhadap demokrasi.
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah “baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di Madinah.
Sayangnya sekarang partisipasi politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan ini tak hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial. Sejarah politik Islam sejak Nabi SAW wafat dan masa khulafa al-rasyidun sampai awal abad 20 tak banyak menampilkan tokoh perempuan untuk peran-peran publik.
Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: (bukan) Jumlah Semata
Untuk membicarakan upaya memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia kita harus menempatkannya di dalam konteks transisi yang tengah dialami bangsa Indonesia menuju ke sistem politik yang lebih demokratis. Inti demokrasi adalah upaya menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga, tak terkecuali kelompok marjinal dan kaum minoritas. Meskipun secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan, mereka tak lebih dari mayoritas bisu (baca: kelompok besar yang termarjinalisasi secara politis, sosial, kultural dan ekonomis) yang hampir selalu absen pada proses-proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, representasi perempuan di DPR mengalami penurunan dari 12% pada tahun 1992 menjadi 9.2% pada tahun 1999 (Seda, 2002). Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengesahan dan penerapan berbagai produk hukum (UU dan peraturan) dan penetapan prioritas program-progam pembangunan di tingkat nasional dan lokal yang sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan politik, keadilan sosial, maupun kepentingan kaum perempuan.
Fenomena diatas adalah bagian dari praktek demokrasi yang masih pada fase demokrasi prosedural semata. Diakui atau tidak tahapan demokrasi kita masih berada pada tahap on going prosces sehingga wajar jika dimata internasional kita dikelompokkan dalam negara-negara dunia ketiga atau sering kita sebut sebagai negara berkembang. Sekali lagi aspek partisipasi tidak harus dimaknai hanya sebatas keterlibatan persentase kaum perempuan dalam struktur politik, namun yang lebih memiliki subtansi adalah pemenuhan hak-hak perempuan dalam pelaksanaan undang-undang.
Memperkuat partisipasi politik, dan ‘bukan semata jumlah’ berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik.
Prof. Farida Nurland, Kepala Pusat Penelitian Jender dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, telah mengidentifikasikan berbagai masalah dan kendala dalam partispasi politik perempuan sebagai berikut: pertama, budaya Indonesia bersifat feodalistik dan patrialkal; kedua, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman dan penafsiran yang konservatif tentang ajaran-ajaran agama; ketiga, hegemoni negara masih sangat dominan, hal ini tercermin pada lembaga-lembaga negara yang melestarikan budaya partriarkis di segala tingkatan.
Jelas terlihat bahwa di tingkat nasional dan propinsi, kultur patriarki dan sistem politik yang ada berdampak sangat negatif terhadap kaum perempuan yang berusaha melaksanakan hak mereka untuk berpartisipasi secara politis. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, perempuan tidak didorong untuk berperan aktif dalam kehidupan publik; keterampilan dan bakat mereka lebih diakui di dalam lingkungan rumah tangga yang sangat pribadi sifatnya. Dikotomi ini masih dipelihara, bahkan dalam Era Reformasi sekarang ini. Oleh karenanya, perempuan Indonesia menghadapi kendala besar pada dua tingkat. Di luar perjuangan mereka melawan kultur partriarkis itu, mereka juga harus mengatasi praktek-praktek yang bersifat diskriminatif dan ‘buta jender’ dalam proses pemilu, di lembaga-lembaga legislatif maupun di tubuh parpol.
Pencalonan Artis antara Partisipasi atau Sensasi
Berbagai upaya dan strategi dilakukan oleh partai politik guna mendapatkan simpati dan dukungan publik. Hal ini terlihat dari maraknya partai politik yang menjadikan popularitas artis sebagai sebuah jembatan guna memperoleh suara. Indikasi utama dari degradasi politik ini adalah partai tidak melihat trade rekor dari sang artis, sejauh mana kapabilitas dan pemahamannya akan proses pembangunan daerah dimana ia dicalonkan. Kita semua sepakat bahwa tidak ada yang salah dari pencalonan artis dalam konteks kontestasi politik, namun melihat sejauh mana sang artis mampu memberikan kontribusi positif adalah sesuatu yang lebih menarik untuk diperhatikan.
Sebagai publik figur tentunya artis memiliki sekian banyak popularitas dalam mendapatkan simpati masyarakat. Yang harus dianalisis kemudian popularitas itu diperolah melalui pergulatan sang artis dalama wahana entertainment. Berbada kemudian popularitas anggota DPR yang diperoleh melalui proses pergulatannya melalui perdebatan sengit di parlemen. Dua tipikal popularitas ini kemudian harus dilihat dalam dimensi partisipasi artis dalam pemilukada.
Secara sosiologis ada dua tipikal pemilih yang ada di Indonesia yaitu pemilh rasional dan pemilih emosional. Pemilih rasional adalah individu masyarakat yang melihat sejauh mana tawaran parpol dalam kehidupan demokrasi, sedangkan pemilih emosional adalah mereka yang memilih parpol berdasarkan kedekatan kekerabatan, pengaruh agitasi politik dan kesamaan ideologi atas ormas tertentu yang dimilikinya.
Dibutuhkan sebuah rekonstruksi pemahaman yang lebih komprehensif guna menciptakan sebuah proses pemilukada yang lebih demokratis. Berangkat dari dua tipikal pemilih diatas, maka proses pemilukada tidak hanya bisa dilihat dari sejauh mana rekruitmen artis dalam pemilukada mampu mendulang suara guna memperoleh kemenangan. Rekonstruksi pemahaman adalah proses transformasi yang harus dilakukan oleh kaum intelektual kepada masyarakat, sehingga mampu mendapatkan informasi sebagai wadah pendidikan politik.
Proses politik haruslah dimaknai sebagai upaya penciptaan demokratisasi yang bersifat dinamis. Absoluditas dari proses demokrasi meniscayakan adanya penciptaan kesejahteraan sehingga dalam konteks ini partai politik sebagai representasi keterwakilan rakyat harus melihat dimensi diatas guna memberikan sebuah rekayasa demokrasi kepada masyarakat tidak hanya sebatas sensasi.
Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD 1945. Terlepas masih adanya diskriminasi atas perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah dicapai. Adanya responsi dan akseptabilitas terhadap partisipasi politik perempuan diharapkan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat demi menarik dukungan kaum perempuan dalam perebutan kekuasaan yang bernama pemilu. Wallahu a’lam.
Rabu, 03 Februari 2010
Antara achievement effectivity (UN) dan prediction effectivity (SNMPTN)
Ujian Nasional (UN) pada dasarnya merupakan proses evaluasi keseluruhan dari proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah lanjutan pertama dan menegah. Sehingga kriteria utama dalam penilaian kualitas UN adalah achievement effectivity, yaitu sejauh mana alat ukur evaluasi ini dapat mengukur secara tepat kemampuan riil atau prestasi siswa. Dengan kata lain proses penilaian akan melihat pada aspek kualitatif siswa, yang prestasinya baik maka akan mendapatkan nilai UN yang baik pula.
Berbeda dengan UN, kriteria utama kualitas SNMPTN adalah prediction effectivity, yaitu sejauh mana alat ukur evaluasi ini dapat mengukur secara tepat kemampuan potensial atau "potensi dalam" seorang kandidat mahasiswa baru. Dengan kata lain, kandidat yang potensinya besar mendapat skor SNMPTN yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
Namun yang harus dilihat dalam persoalan ini adalah konteks dari pelaksanaan dua momentum besar diatas. Jika peran sekolah untuk meningkatkan standar mutu siswa secara nasional, yang direpresentasikan oleh guru, maka proses penilaian UN juga harus melibatkan aktor-aktor pengajar yang selama 3 tahun melakukan penilaian di tiap semester kepada siswa-siswinya baik ditingkat pertama dan menegah. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses kelulusan seorang siswa kemudian ditentukan pula oleh pendidik yang selama proses pembelajaran terlibat aktif yakni guru itu sendiri.
Sekolah pada dasarnya harus diberikan “porsi” yang lebih besar guna melakukan proses evaluasi akhir bagi siswanya dan diarahkan untuk mampu menjadi penentu dalam proses kelulusan siswa itu sendiri. Namun yang harus diperhatikan juga adalah kredibilitas dan obyektifitas sekolah dalam melakukan penilaian, sehingga proses UN betul-betul jauh dari interfensi yang kontra produktif dengan prestasi siswa. Relasinya kemudian pada tingkat SNMPTN adalah sekolah dapat memberikan rekomendasi terhadap siswa-siswa yang berprestasi untuk diajukan kepada perguruan tinggi negeri maupun suasta.
DEPDIKNAS sebagai sebuah institusi negara yang memiliki legitimasi di bidang pendidikan, seharusnya mampu melihat aktifitas pembelajran di sekolah pertama dan menegah sebagai sebuah proses yang menyeluruh. Hal ini akan berakibat pada format kebijakan yang nantinya akan dikeluarkan. Jika proses belajar mengajar dilakukan dan dilaksanakan sepenuhnya oleh sekolah, maka proses penentuan dan penilaian soal-soal dalam UN juga harus melibatkan sekolah. Sehingga proses UN di masing-masing daerah memiliki format soal dan mekanisme penilaian yang berbeda, sesuai dengan model pendidikan yang dilaksanakan di masing-masing daerah.
Secara sederhana DEPDIKNAS dalam kapasitasnya sebagai institusi yang bertanggung jawab di ranah pendidikan harus mampu melihat proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di masing-masing daerah. Dari sini kemudian format pelaksanaan UN mampu merepresentasikan model pendidikan yang ada di masing-masing daerah yang ada di Indonesia.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Berbeda dengan UN, kriteria utama kualitas SNMPTN adalah prediction effectivity, yaitu sejauh mana alat ukur evaluasi ini dapat mengukur secara tepat kemampuan potensial atau "potensi dalam" seorang kandidat mahasiswa baru. Dengan kata lain, kandidat yang potensinya besar mendapat skor SNMPTN yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
Namun yang harus dilihat dalam persoalan ini adalah konteks dari pelaksanaan dua momentum besar diatas. Jika peran sekolah untuk meningkatkan standar mutu siswa secara nasional, yang direpresentasikan oleh guru, maka proses penilaian UN juga harus melibatkan aktor-aktor pengajar yang selama 3 tahun melakukan penilaian di tiap semester kepada siswa-siswinya baik ditingkat pertama dan menegah. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses kelulusan seorang siswa kemudian ditentukan pula oleh pendidik yang selama proses pembelajaran terlibat aktif yakni guru itu sendiri.
Sekolah pada dasarnya harus diberikan “porsi” yang lebih besar guna melakukan proses evaluasi akhir bagi siswanya dan diarahkan untuk mampu menjadi penentu dalam proses kelulusan siswa itu sendiri. Namun yang harus diperhatikan juga adalah kredibilitas dan obyektifitas sekolah dalam melakukan penilaian, sehingga proses UN betul-betul jauh dari interfensi yang kontra produktif dengan prestasi siswa. Relasinya kemudian pada tingkat SNMPTN adalah sekolah dapat memberikan rekomendasi terhadap siswa-siswa yang berprestasi untuk diajukan kepada perguruan tinggi negeri maupun suasta.
DEPDIKNAS sebagai sebuah institusi negara yang memiliki legitimasi di bidang pendidikan, seharusnya mampu melihat aktifitas pembelajran di sekolah pertama dan menegah sebagai sebuah proses yang menyeluruh. Hal ini akan berakibat pada format kebijakan yang nantinya akan dikeluarkan. Jika proses belajar mengajar dilakukan dan dilaksanakan sepenuhnya oleh sekolah, maka proses penentuan dan penilaian soal-soal dalam UN juga harus melibatkan sekolah. Sehingga proses UN di masing-masing daerah memiliki format soal dan mekanisme penilaian yang berbeda, sesuai dengan model pendidikan yang dilaksanakan di masing-masing daerah.
Secara sederhana DEPDIKNAS dalam kapasitasnya sebagai institusi yang bertanggung jawab di ranah pendidikan harus mampu melihat proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di masing-masing daerah. Dari sini kemudian format pelaksanaan UN mampu merepresentasikan model pendidikan yang ada di masing-masing daerah yang ada di Indonesia.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
AC-FTA: Antara Hegemoni dan Kemandirian Ekonomi
Tahun 2010 diprediksi menjadi tahun keemasan bagi perekonomian Cina, hal ini bisa dilihat dari hegemoni produk barang dan jasa yang ada di pasar domesti. Hampir semua produk barang dan jasa semuanya di impor dari cina. Sejauh mana UMKM mampu bersaing? Era pasar bebas apakan menguntungkan bagi kemjuan ekonomi Indonesia? Bagaimana seharusnya pemerintah dalam hal ini?
Asean China Free Trade Area (AC-FTA) telah menjadi sebuah produk kebijakan baru yang diberlakukan di 2010. Artinya, saat ini produk Cina telah menjadi komoditas yang membeanjiri pasar dalam negeri. Hal ini kemudian ditopang oleh back up penuh dari pemerintah melalui suku bunga keredit rendah. Konsekuensinya adalah produk domestik akan kewalahan dalam melakukan persaingan. Salah satu pelaku usaha yang memiliki eksistensi penting namun “terlupakan” dalam hal ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Melalui format AC-FTA, telah disepakati penurunan dan penghapusan tarif bea masuk secara bertahap. Melalui Early Harvest Programme (EHP) yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain.
Artinya, lalu-lintas barang antar negara Asean dan China akan mengalir bebas, tanpa adanya proteksi tarif apa pun. Lebih jauh, Cina yang selama ini dikenal dengan produknya yang murah-meriah, bisa-bisa semakin menggusur produk lokal di masing-masing daerah. Bahkan saat krisis keuangan global melanda akhir 2008 lalu, Cinalah sebagai mesin utama ekonomi dunia, dengan pertumbuhan ekonomi regionalnya diperkirakan mencapai 9,1% di 2010.
Padahal jika kita mengenal lebih jauh dan dalam, peran UMKM bukanlah sekedar pendukung dalam kontribusi ekonomi nasional. UMKM dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis.
Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu: Pertama, jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada tahun 2005 tercatat jumlah UMKM adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit usaha Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap 77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22% dari total PDB.
Hal inilah yang seharusnya mampu “dilirik” oleh Pemerintah untuk memposisikan kekuatan ekonomi menengah pada posisi dan porsi yang lebih ideal. Dari aspek diatas sangat memungkinkan akselerasi ekonomi secara berkelanjutan akan terlaksana. Fokus pemerintah pra krisis ekonomi orde baru yang lebih melibatkan konglomerasi usaha terbukti telah menyeret perekonomian kita pada jurang yang lebih dalam. Sehingga dukungan kebijakan juga harus diberikan kepada pelaku UMKM yang lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Perlu kiranya Pemerintah dalam hal ini melakukan penyeimbangan antara hegemoni pruduk dari Cina dan produk domestik. Peran UMKM harus diarahkan juga pada kemudahan baik dari segi pajak dan akses untuk mendistribusikan prduknya ke pasar nasiolal. Dengan begitu persaingan antara AC-FTA dan UMKM akan lebih sehat dan mampu menciptakan kemandirian ekonomi.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Asean China Free Trade Area (AC-FTA) telah menjadi sebuah produk kebijakan baru yang diberlakukan di 2010. Artinya, saat ini produk Cina telah menjadi komoditas yang membeanjiri pasar dalam negeri. Hal ini kemudian ditopang oleh back up penuh dari pemerintah melalui suku bunga keredit rendah. Konsekuensinya adalah produk domestik akan kewalahan dalam melakukan persaingan. Salah satu pelaku usaha yang memiliki eksistensi penting namun “terlupakan” dalam hal ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Melalui format AC-FTA, telah disepakati penurunan dan penghapusan tarif bea masuk secara bertahap. Melalui Early Harvest Programme (EHP) yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain.
Artinya, lalu-lintas barang antar negara Asean dan China akan mengalir bebas, tanpa adanya proteksi tarif apa pun. Lebih jauh, Cina yang selama ini dikenal dengan produknya yang murah-meriah, bisa-bisa semakin menggusur produk lokal di masing-masing daerah. Bahkan saat krisis keuangan global melanda akhir 2008 lalu, Cinalah sebagai mesin utama ekonomi dunia, dengan pertumbuhan ekonomi regionalnya diperkirakan mencapai 9,1% di 2010.
Padahal jika kita mengenal lebih jauh dan dalam, peran UMKM bukanlah sekedar pendukung dalam kontribusi ekonomi nasional. UMKM dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis.
Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu: Pertama, jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada tahun 2005 tercatat jumlah UMKM adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit usaha Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap 77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22% dari total PDB.
Hal inilah yang seharusnya mampu “dilirik” oleh Pemerintah untuk memposisikan kekuatan ekonomi menengah pada posisi dan porsi yang lebih ideal. Dari aspek diatas sangat memungkinkan akselerasi ekonomi secara berkelanjutan akan terlaksana. Fokus pemerintah pra krisis ekonomi orde baru yang lebih melibatkan konglomerasi usaha terbukti telah menyeret perekonomian kita pada jurang yang lebih dalam. Sehingga dukungan kebijakan juga harus diberikan kepada pelaku UMKM yang lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Perlu kiranya Pemerintah dalam hal ini melakukan penyeimbangan antara hegemoni pruduk dari Cina dan produk domestik. Peran UMKM harus diarahkan juga pada kemudahan baik dari segi pajak dan akses untuk mendistribusikan prduknya ke pasar nasiolal. Dengan begitu persaingan antara AC-FTA dan UMKM akan lebih sehat dan mampu menciptakan kemandirian ekonomi.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Pertumbuhan Ekonomi Harus Didukung Korporasi
Upaya akselerasi laju pertumbuhan ekonomi dan investasi yang tinggi serta sustainable tidak akan optimal tanpa adanya dukungan dari masyarakat luas, khususnya sektor korporasi Indonesia.
Infestasi merupakan faktor penting dalam mengakselerasi pertumbuhan di 2010, selain menjaga momentum pertumbuhan konsumsi rumah tangga, saat ini sektor tradable, khususnya manufaktur dan agrikultur masih menghadapi permasalahan keterbatasan infrastruktur sehingga tidak bisa berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Padahal sektor ini menyerap banyak tenaga kerja.
Rendahnya kontribusi sektor tradable tersebut, jelas menyebabkan penurunan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2009. Pada periode itu, rata-rata pertumbuhan sebesar 5% atau turun jika dibandingkan periode 1990-1996, yang rata-rata pertumbuhannya sebesar 7%. “Ini PR bagi pemerintah bagaimana menyeimbangkan tradable dan non tradable". Butuh waktu lama untuk memperbaiki kondisi tersebut, terlebih pada saat ini terjadi gejala deindustrialisasi akibat peralihan struktur investasi, dari sektor tradable ke sektor non tradable.
Dari dimensi ekonomis, besar-kecilnya kontribusi sektor korporasi dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional akan banyak ditentukan oleh daya entrepreneurship dan kemampuan inovatif pelaku bisnis untuk mentransformasi tantangan menjadi peluang. Namun dari sisi responsibilitas sebagai anggota masyarakat, korporasi dituntut pula untuk menunjukkan kepedulian untuk berbuat yang terbaik tidak hanya untuk pemegang saham dan perusahaan, tetapi juga kepada stakeholders lainnya yang mewakili kepentingan bangsa.
Dimensi ini adalah penopang dari akselesari ekonomi yang diinginkan, sehingga infestasi di sektor apapun harus ditopang sepenuhnya oleh korporasi sebagai bagian integral dari masyarakat. Optimalisasi dari dukungan korporasi akan meningkatkan investasi yang tinggi dan sustainable dalam melakukan akselerasi ekonomi kepada masyarakat luas.
Format akselerasi ekonomi harus didasari oleh prinsip-prinsip mulia dari tata kelola yang baik, mulai dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness. Penerapan secara konsisten kelima prinsip ideal itu tidak hanya penting untuk perusahaan dan stakeholdernya, namun lebih jauh lagi diperlukan untuk membangun image atau persepsi posisif bangsa ini di mata pelaku bisnis global dan di mata negara-negara lain di dunia.
Dalam rangka meningkatkan penerapan good governance, pemerintah diharapkan serius dalam melaksanakan Program Reformasi Birokrasi yang bertujuan untuk mendorong kapasitas atau kemampuan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta meningkatkan pelayanan masyarakat secara lebih maksimal.
Beberapa faktor resiko yang dihadapi tahun 2010 adalah meningkatnya harga komoditas global yang berpotensi memicu laju inflasi ke double digit. Resiko lainnya, yaitu masih rentannya sektor keuangan, risiko pembiayaan dan fiskal seiring membesarnya utang jatuh tempo di 2010, yang mencapai Rp64,2 triliun.(*)
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Infestasi merupakan faktor penting dalam mengakselerasi pertumbuhan di 2010, selain menjaga momentum pertumbuhan konsumsi rumah tangga, saat ini sektor tradable, khususnya manufaktur dan agrikultur masih menghadapi permasalahan keterbatasan infrastruktur sehingga tidak bisa berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Padahal sektor ini menyerap banyak tenaga kerja.
Rendahnya kontribusi sektor tradable tersebut, jelas menyebabkan penurunan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2009. Pada periode itu, rata-rata pertumbuhan sebesar 5% atau turun jika dibandingkan periode 1990-1996, yang rata-rata pertumbuhannya sebesar 7%. “Ini PR bagi pemerintah bagaimana menyeimbangkan tradable dan non tradable". Butuh waktu lama untuk memperbaiki kondisi tersebut, terlebih pada saat ini terjadi gejala deindustrialisasi akibat peralihan struktur investasi, dari sektor tradable ke sektor non tradable.
Dari dimensi ekonomis, besar-kecilnya kontribusi sektor korporasi dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional akan banyak ditentukan oleh daya entrepreneurship dan kemampuan inovatif pelaku bisnis untuk mentransformasi tantangan menjadi peluang. Namun dari sisi responsibilitas sebagai anggota masyarakat, korporasi dituntut pula untuk menunjukkan kepedulian untuk berbuat yang terbaik tidak hanya untuk pemegang saham dan perusahaan, tetapi juga kepada stakeholders lainnya yang mewakili kepentingan bangsa.
Dimensi ini adalah penopang dari akselesari ekonomi yang diinginkan, sehingga infestasi di sektor apapun harus ditopang sepenuhnya oleh korporasi sebagai bagian integral dari masyarakat. Optimalisasi dari dukungan korporasi akan meningkatkan investasi yang tinggi dan sustainable dalam melakukan akselerasi ekonomi kepada masyarakat luas.
Format akselerasi ekonomi harus didasari oleh prinsip-prinsip mulia dari tata kelola yang baik, mulai dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness. Penerapan secara konsisten kelima prinsip ideal itu tidak hanya penting untuk perusahaan dan stakeholdernya, namun lebih jauh lagi diperlukan untuk membangun image atau persepsi posisif bangsa ini di mata pelaku bisnis global dan di mata negara-negara lain di dunia.
Dalam rangka meningkatkan penerapan good governance, pemerintah diharapkan serius dalam melaksanakan Program Reformasi Birokrasi yang bertujuan untuk mendorong kapasitas atau kemampuan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta meningkatkan pelayanan masyarakat secara lebih maksimal.
Beberapa faktor resiko yang dihadapi tahun 2010 adalah meningkatnya harga komoditas global yang berpotensi memicu laju inflasi ke double digit. Resiko lainnya, yaitu masih rentannya sektor keuangan, risiko pembiayaan dan fiskal seiring membesarnya utang jatuh tempo di 2010, yang mencapai Rp64,2 triliun.(*)
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menanti Reformasi “Jilid II”
Skandal Bank Century telah menjadi perbincangan yang cukup hangat dalam beberapa pekan terakhir. Media massa baik cetak maupun elektronik menjadikan isu ini sebagai informasi yang tidak pernah luput dalam pemberitaannya. Begitu juga dengan unjuk rasa yang serentak dalam skala nasional membentuk “parlemen jalanan” guna memberikan aspirasi dan tuntuan terhadap masalah skandal Bank Century yang menelan dana suntikan LPSK Rp. 6,7 triliun yang hingga saat ini tidak jelas distribusi keuangannya kemana?
Opini publik seolah digiring pada isu besar ini, sehingga episode panjang kasuc century mampu menemukan titik terang. Melihat kondisi ini masyarakat masih memiliki harapan pada struktur konfensional negara yang direpresantasikan oleh badan penyidik nasional (baca: DPR, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK). Jika persoalan ini tidak mampu diselesaikan maka konsolidasi nasional akan timbul melalui “parlemen jalanan”. Inilah yang kami sebut dengan pola terorganisir menuju reformasi jilid dua.
Skandal Century ini telah membuat lebih dari 200 anggota DPR menandatangani usul Hak Angket. DPR menilai, ada fakta tersembunyi di balik pengucuran dana talangan yang tiga kali lipat lebih banyak dari yang disetujui parlemen.
Namun, yang juga harus dikawal lebih jauh oleh masyarakat adalah proses penyelidikan oleh panitia angket DPR, bahwa proses ini akan berlangusng lama. Hasil penyelidikan pun selanjutnya akan melahirkan rekomendasi atas siapa saja yang terlibat dalam talangan dana tersebut, dan selanjutnya diproses lagi oleh pihak yang berwenang, bisa KPK, Kepolisian ataupun Kejaksaan.
Jika proses pengusutan skandal Bank Century tidak mampu merekomendasikan apa-apa dan akan berakhir sama dengan kasus BLBI, maka hal ini akan kembali membuka luka lama masyarakat akan kinerja lembaga negara yang sangat lemah. Momentum ini seharusnya menjadi saat yang tepat untuk bersinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, ketiga institusi ini harus memanfaatkan skandal Bank Century untuk memperbaiki kinerja mereka.
Lemahnya ketegasan Presiden semakin memperkeruh persoalan ini, sikap hati-hati yang selalu ditunjukkan oleh presiden menjadikan proses penyelesaian skandal Bank Century semakin jauh dari titik terang. Hal ini mengindikasikan banyak pihak yang “mencurigai” keterlibatan presiden dalam kasus bailout Bank Century. Langkah konkrit presiden sangat dinanti oleh masyarakat untuk sesegera mungkin “turun gunung” untuk menyelesaikan kasus century, jika tidak maka people power sudah menanti.
Agenda 100 hari pemerintahan SBY-Budiono telah gagal di depan mata, ini terbukti melalui goyahnya koalisi Partai pendukung pemerintah yang disebabkan oleh skandal bank century. Semua elemen masyarakat harus bersama-sama mengawal terus penyelesaian kasus ini. Semoga saja panitia angket DPR mampu membuktikan keseriusan mereka untuk memberi penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat akan energei yang telah terkuras oleh kasus bank century ini.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Opini publik seolah digiring pada isu besar ini, sehingga episode panjang kasuc century mampu menemukan titik terang. Melihat kondisi ini masyarakat masih memiliki harapan pada struktur konfensional negara yang direpresantasikan oleh badan penyidik nasional (baca: DPR, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK). Jika persoalan ini tidak mampu diselesaikan maka konsolidasi nasional akan timbul melalui “parlemen jalanan”. Inilah yang kami sebut dengan pola terorganisir menuju reformasi jilid dua.
Skandal Century ini telah membuat lebih dari 200 anggota DPR menandatangani usul Hak Angket. DPR menilai, ada fakta tersembunyi di balik pengucuran dana talangan yang tiga kali lipat lebih banyak dari yang disetujui parlemen.
Namun, yang juga harus dikawal lebih jauh oleh masyarakat adalah proses penyelidikan oleh panitia angket DPR, bahwa proses ini akan berlangusng lama. Hasil penyelidikan pun selanjutnya akan melahirkan rekomendasi atas siapa saja yang terlibat dalam talangan dana tersebut, dan selanjutnya diproses lagi oleh pihak yang berwenang, bisa KPK, Kepolisian ataupun Kejaksaan.
Jika proses pengusutan skandal Bank Century tidak mampu merekomendasikan apa-apa dan akan berakhir sama dengan kasus BLBI, maka hal ini akan kembali membuka luka lama masyarakat akan kinerja lembaga negara yang sangat lemah. Momentum ini seharusnya menjadi saat yang tepat untuk bersinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, ketiga institusi ini harus memanfaatkan skandal Bank Century untuk memperbaiki kinerja mereka.
Lemahnya ketegasan Presiden semakin memperkeruh persoalan ini, sikap hati-hati yang selalu ditunjukkan oleh presiden menjadikan proses penyelesaian skandal Bank Century semakin jauh dari titik terang. Hal ini mengindikasikan banyak pihak yang “mencurigai” keterlibatan presiden dalam kasus bailout Bank Century. Langkah konkrit presiden sangat dinanti oleh masyarakat untuk sesegera mungkin “turun gunung” untuk menyelesaikan kasus century, jika tidak maka people power sudah menanti.
Agenda 100 hari pemerintahan SBY-Budiono telah gagal di depan mata, ini terbukti melalui goyahnya koalisi Partai pendukung pemerintah yang disebabkan oleh skandal bank century. Semua elemen masyarakat harus bersama-sama mengawal terus penyelesaian kasus ini. Semoga saja panitia angket DPR mampu membuktikan keseriusan mereka untuk memberi penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat akan energei yang telah terkuras oleh kasus bank century ini.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
UN Picu Biaya Ekonomi Tinggi
Meski Ujian Nasional (UN) telah dianulir oleh Mahkamah Agung (MA), pemerintah bersikeras akan tetap melanjutkan. Upaya tetap melaksanakan UN hanya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Jika dilihat dari aspek pembiayaan pelaksanaan UN, dari tahun ke tahun menghabiskan anggaran milliaran rupiah. Aspek pembiayaan ini tidak menjamin kualitas siswa secara komptensi yang lulus dalam pelaksanaan UN.
Sejak 2003, anggaran yang dikucurkan untuk UN sebesar Rp 250 miliar. Kenaikan signifikan terjadi tahun 2007 menjadi Rp 572,9 miliar dan 2008 sebanyak Rp 439 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk anggaran daerah yang dipergunakan untuk pelatihan guru-guru menghadapi UN yang nilainya mencapai Rp 5 miliar.
Aspek diatas membutuhkan evaluasi yang menyeluruh, melihat aspek penilaian UN ternyata belum selektif di lapangan. Ini terbukti dari beberapa siswa yang tidak lulus dalam pelaksanaan UN ternyata adalah siswa yang berprestasi di sekolahnya.
Belum lagi biaya dalam mengikuti pelaksanaan SNMPTN, dari mulai biaya pendaftaran hingga uang SPP dan berbagai sumbangan lainnya. Semakin menambah jumlah pengeluaran yang harus di biayai oleh orang tua siswa.
Bagi siswa, dampak ekonomi sangat terasa. Berbagai biaya tambahan dipergunakan untuk menjamin kelulusan. Seperti untuk les, bimbingan belajar, guru privat atau buku tambahan.
Dengan biaya tinggi itu, menurut sejumlah aktivis tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. UN dianggap menumpulkan esensi pendidikan dan melayani birokrasi semata.
Pemerintah dalam hal ini harus melakukan peninjauan ulang terhadap model UN yang akan dilaksanakan, sehingga mampu meminimalisir anggaran dalam pelaksanaan UN nantinya. Disisi lain pemerintah juga harus melihat efektifitas anggaran dan kualitas siswa yang diluluskan melalui mekanisme UN.
UN harus mampu memacu tingkat belajar siswa sehingga mampu bersaing dalam skala nasional. Sehingga dari sini pemerintah kemudian tidak sia-sia mengeluarkan anggaran yang banyak, karena UN mampu meningkatkan prestasi putra-putri Indonesia.
Selain itu untuk meminimalisir anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang harus dintegrasikan sebenarnya antara UN dan SNMPTN adalah segi pembiayaan. Karena SNMPTN memiliki tes sendiri untuk menjaring mahasiswa barunya. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa antara UN dan SNMPTN pasti memiliki konsep masing-masing.
Secara garis besar dari uraian diatas besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN juga harus berimbang pada tingkat prestasi yang juga meningkat dari siswa itu sendiri.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Jika dilihat dari aspek pembiayaan pelaksanaan UN, dari tahun ke tahun menghabiskan anggaran milliaran rupiah. Aspek pembiayaan ini tidak menjamin kualitas siswa secara komptensi yang lulus dalam pelaksanaan UN.
Sejak 2003, anggaran yang dikucurkan untuk UN sebesar Rp 250 miliar. Kenaikan signifikan terjadi tahun 2007 menjadi Rp 572,9 miliar dan 2008 sebanyak Rp 439 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk anggaran daerah yang dipergunakan untuk pelatihan guru-guru menghadapi UN yang nilainya mencapai Rp 5 miliar.
Aspek diatas membutuhkan evaluasi yang menyeluruh, melihat aspek penilaian UN ternyata belum selektif di lapangan. Ini terbukti dari beberapa siswa yang tidak lulus dalam pelaksanaan UN ternyata adalah siswa yang berprestasi di sekolahnya.
Belum lagi biaya dalam mengikuti pelaksanaan SNMPTN, dari mulai biaya pendaftaran hingga uang SPP dan berbagai sumbangan lainnya. Semakin menambah jumlah pengeluaran yang harus di biayai oleh orang tua siswa.
Bagi siswa, dampak ekonomi sangat terasa. Berbagai biaya tambahan dipergunakan untuk menjamin kelulusan. Seperti untuk les, bimbingan belajar, guru privat atau buku tambahan.
Dengan biaya tinggi itu, menurut sejumlah aktivis tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. UN dianggap menumpulkan esensi pendidikan dan melayani birokrasi semata.
Pemerintah dalam hal ini harus melakukan peninjauan ulang terhadap model UN yang akan dilaksanakan, sehingga mampu meminimalisir anggaran dalam pelaksanaan UN nantinya. Disisi lain pemerintah juga harus melihat efektifitas anggaran dan kualitas siswa yang diluluskan melalui mekanisme UN.
UN harus mampu memacu tingkat belajar siswa sehingga mampu bersaing dalam skala nasional. Sehingga dari sini pemerintah kemudian tidak sia-sia mengeluarkan anggaran yang banyak, karena UN mampu meningkatkan prestasi putra-putri Indonesia.
Selain itu untuk meminimalisir anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang harus dintegrasikan sebenarnya antara UN dan SNMPTN adalah segi pembiayaan. Karena SNMPTN memiliki tes sendiri untuk menjaring mahasiswa barunya. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa antara UN dan SNMPTN pasti memiliki konsep masing-masing.
Secara garis besar dari uraian diatas besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN juga harus berimbang pada tingkat prestasi yang juga meningkat dari siswa itu sendiri.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Partai Politik, Pilkada dan Pemilih Cerdas
Pesta demokrasi (Pilkada) yang akan dilakukan di tiga kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu Sleman, Gunung Kidul dan Bantul. Diperkirakan akan dilaksanakan pada bulan Mei mendatang. Geliat politik mulai bergolak dari kampanya kecil-kecilan yang dilakukan oleh calon kandidat kepala daerah. Mulai dari pendekatan kultural ke ormas-ormas yang ada di DIY hingga dialog dan seminar yang semakin marak diadakan. Begitu juga dengan proses penggalangan dana kampanye sejak dini telah mulai dilakukan para calon kandidat melalui pencarian sponsor.
Dalam sistem demokrasi partai politik (Parpol) mempunyai beberapa fungsi yang penting dan utama, anatara lain fungsi rekrutmen, pendidikan dan pelatihan bagi orang-orang yang layak untuk menduduki posisi-posisi di legislatif maupun eksekutif (seleksi kandidat) atau sebagai pengurus partai, pengumpulan dan artikulasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu, dan integrasi kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam satu program politik.
Dalam lingkup daerah parpol pada dasarnya juga berfungsi sebagai “jembatan” antara masyarakat dan sistem politik yang memberikan kesempatan kepada warga untuk berpartisipasi secara aktif dalam dunia politik. Sementara Komisi Pemilihan Umum Derah (KPUD) berperan sebagai ruang sosialisasi dan informasi dari prores pelaksanaan Pilkada. Dengan demikian partai politik memberikan legitimasi dan dapat memperkuat stabilitas demokrasi dan KPUD memberikan pembelajaran politik guna menciptakan pemilih cerdas.
Secara sosiologis ada dua tipikal pemilih yang ada di Indonesia yaitu pemilh rasional dan pemilih emosional. Pemilih rasional adalah individu masyarakat yang melihat sejauh mana tawaran parpol dalam kehidupan demokrasi, sedangkan pemilih emosional adalah mereka yang memilih parpol berdasarkan kedekatan kekerabatan, pengaruh agitasi politik dan kesamaan ideologi atas ormas tertentu yang dimilikinya.
Tidak adanya proses pendidikan politik berkelanjutan yang dilakukan oleh KPUD mengakibatkan lemahnya partisipasi masyarakat dalam konstelasi politik daerah. Model partisipasi masyarakat hanya dirasakan pada saat-saat kampanya hingga pemilihan berlangsung, selebihnya rakyat hanya dijadikan wacana dalam perdebatan yang dilakuakan di lembaga pemerintahan. Hampir semua kandidat calon bupati dan wakilnya mengatasnamakan aspirasi masyarakat, namun disisi lain masyarakat masih kebingungan mencari sesuap nasi. Sebuah fenomena yang mencengangkan. Sifat normatifitas dalam hal kampanye hanya akan menjadi mimpi yang sulit untuk diaktualisasikan.
Untuk menjamin berjalannya peningkatan partisipasi politik masyarakat, khususnya di wilayah Sleman, Gunung Kidul dan Bantul. Secara optimal diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial-politik serta keselarasan peran parpol itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Dan KPUD sebagai sarana sosialisasi politik serta pusat informasi dan wadah pendidikan politik. Hal ini sangat dibutuhkan guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses Pilkada nantinya. Sehingga antara kandidat yang terpilih nantinya mampu bersinergi dengan masyarakat.
Partisipasi dinilai sebagai media menyampaikan atau ikut sertanya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik (public policy), dalam hal ini KPUD memiliki peranan yang sangat penting untuk membangun komunikasi politik dan persepsi terhadap partai politik, kandidat dan pemilih dalam Pilkada. Model komunikasi inilah yang sesungguhnya harus ditopang oleh pendidikan politik yang berkelanjutan. KPUD sebagai wadah sosialisai terhadap para pemilih harus mampu memberikan informasi terhadap pemilih, sehingga masyarakat dapat dengan obyektif menilai calon pemimpinnya kelak.
Hal yang terpenting dalam proses Pilkada yang akan dilaksanakan nantinya adalah penciptaan iklim politik yang kondusif. Hal ini dapat dilakukan jika terbangun sinergi antara para calon kandidat Bupati dan Wakil Bupati dengan pemilih serta KPUD sebagai insitusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pilkada. KPUD harus mampu mencerminkan sikap yang netral dan tidak terikat secara politik dengan calon kandidat. Kesuksesan pelaksanaan Pilkada di tiga kabupaten tersebut diatas akan mencerminkan proses politik yang sehat, sehingga masyarakat DIY pada umumnya mampu membuktikan bahwa proses demokrasi yang sehat dimulai dari pemilih yang cerdas. Sehingga chaos sosial tidak terjadi disebabkan oleh benturan kepentingan antar pendukung kandidat seperti beberapa contoh pilkada yang telah dilaksanakan sebelumnya pada sekian banyak daerah di tanah air. Semoga.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Dalam sistem demokrasi partai politik (Parpol) mempunyai beberapa fungsi yang penting dan utama, anatara lain fungsi rekrutmen, pendidikan dan pelatihan bagi orang-orang yang layak untuk menduduki posisi-posisi di legislatif maupun eksekutif (seleksi kandidat) atau sebagai pengurus partai, pengumpulan dan artikulasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu, dan integrasi kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam satu program politik.
Dalam lingkup daerah parpol pada dasarnya juga berfungsi sebagai “jembatan” antara masyarakat dan sistem politik yang memberikan kesempatan kepada warga untuk berpartisipasi secara aktif dalam dunia politik. Sementara Komisi Pemilihan Umum Derah (KPUD) berperan sebagai ruang sosialisasi dan informasi dari prores pelaksanaan Pilkada. Dengan demikian partai politik memberikan legitimasi dan dapat memperkuat stabilitas demokrasi dan KPUD memberikan pembelajaran politik guna menciptakan pemilih cerdas.
Secara sosiologis ada dua tipikal pemilih yang ada di Indonesia yaitu pemilh rasional dan pemilih emosional. Pemilih rasional adalah individu masyarakat yang melihat sejauh mana tawaran parpol dalam kehidupan demokrasi, sedangkan pemilih emosional adalah mereka yang memilih parpol berdasarkan kedekatan kekerabatan, pengaruh agitasi politik dan kesamaan ideologi atas ormas tertentu yang dimilikinya.
Tidak adanya proses pendidikan politik berkelanjutan yang dilakukan oleh KPUD mengakibatkan lemahnya partisipasi masyarakat dalam konstelasi politik daerah. Model partisipasi masyarakat hanya dirasakan pada saat-saat kampanya hingga pemilihan berlangsung, selebihnya rakyat hanya dijadikan wacana dalam perdebatan yang dilakuakan di lembaga pemerintahan. Hampir semua kandidat calon bupati dan wakilnya mengatasnamakan aspirasi masyarakat, namun disisi lain masyarakat masih kebingungan mencari sesuap nasi. Sebuah fenomena yang mencengangkan. Sifat normatifitas dalam hal kampanye hanya akan menjadi mimpi yang sulit untuk diaktualisasikan.
Untuk menjamin berjalannya peningkatan partisipasi politik masyarakat, khususnya di wilayah Sleman, Gunung Kidul dan Bantul. Secara optimal diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial-politik serta keselarasan peran parpol itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Dan KPUD sebagai sarana sosialisasi politik serta pusat informasi dan wadah pendidikan politik. Hal ini sangat dibutuhkan guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses Pilkada nantinya. Sehingga antara kandidat yang terpilih nantinya mampu bersinergi dengan masyarakat.
Partisipasi dinilai sebagai media menyampaikan atau ikut sertanya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik (public policy), dalam hal ini KPUD memiliki peranan yang sangat penting untuk membangun komunikasi politik dan persepsi terhadap partai politik, kandidat dan pemilih dalam Pilkada. Model komunikasi inilah yang sesungguhnya harus ditopang oleh pendidikan politik yang berkelanjutan. KPUD sebagai wadah sosialisai terhadap para pemilih harus mampu memberikan informasi terhadap pemilih, sehingga masyarakat dapat dengan obyektif menilai calon pemimpinnya kelak.
Hal yang terpenting dalam proses Pilkada yang akan dilaksanakan nantinya adalah penciptaan iklim politik yang kondusif. Hal ini dapat dilakukan jika terbangun sinergi antara para calon kandidat Bupati dan Wakil Bupati dengan pemilih serta KPUD sebagai insitusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pilkada. KPUD harus mampu mencerminkan sikap yang netral dan tidak terikat secara politik dengan calon kandidat. Kesuksesan pelaksanaan Pilkada di tiga kabupaten tersebut diatas akan mencerminkan proses politik yang sehat, sehingga masyarakat DIY pada umumnya mampu membuktikan bahwa proses demokrasi yang sehat dimulai dari pemilih yang cerdas. Sehingga chaos sosial tidak terjadi disebabkan oleh benturan kepentingan antar pendukung kandidat seperti beberapa contoh pilkada yang telah dilaksanakan sebelumnya pada sekian banyak daerah di tanah air. Semoga.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Ijazah; “Bungkus Kacang” Masa Depan
Engkau Sarjana Muda lelah tak dapat kerja, mengandalkan ijazahmu. Empat tahun lamanya bergelut dengan buku, sia-sia semua. Petikan lagu Iwan Fals diatas seolah mengingatkan kita akan persaingan yang begitu sulit guna memperoleh masa depan yang layak setelah menyelesaikan studi. Melihat fenomena ini, pemerintah berencana memberikan kredit sarjana sebesar Rp5 Juta untuk wirausaha.
Namun yang harus dicermati lebih jauh adalah program tersebut baru sebatas penjelasan lisan Menteri Negara Koperasi dan UKM, jadi belum jelas petunjuk teknis operasionalnya. Para penganggur (baca: sarjana) harus bersabar menanti usaha pemerintah guna mengurangi pengangguran. Dibutuhkan kerja keras untuk merealisasikan rencana program tersebut, belum lagi persoalan birokrasi dengan mekanismenya yang terkadang menjadikan kita kesulitan guna memperoleh akses mendapatkan pinjaman usaha.
Dari tahun ke tahun Perguruan Tinggi (PT) baik negeri maupun suasta, mampu melahirkan ribuan sarjana. Tetapi banyaknya sarjana tak sebanding dengan kuota lapangan kerja yang disediakan. Hal ini telah kita rasakan semenjak orde lama lalu masuk ke orde baru hingga era reformasi seperti sekarang ini. Hal ini mengindikasikan bahwa indeks prestasi yang bagus ternyata tidak mampu menjamin masa depan yang juga bagus. Jadi yang harus dijamin oleh perguruan tinggi secara subtansial adalah persoalan akan kemana para sarjananya kelak?
Berkaca pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75% dari total 222 juta penduduk. Tingkat pengangguran cukup tinggi, yakni pada kisaran 10,8% sampai dengan 11% dari tenaga kerja yang masuk kategori sebagai pengangguran terbuka. Dari data statistik tersebut, kemudian diperparah lagi oleh sebagian besar tamatan PT di Indonesia sejatinya berjiwa pencari kerja. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar sistem pembelajaran di Tanah Air mendidik mahasiswanya untuk cepat lulus dan segera mencari kerja. Lulusan sarjana tidak dicetak menjadi manusia yang mampu menciptakan peluang kerja.
Program agunan kredit yang akan dilaksanakan pemerintah tersebut memiliki beberapa prosedur untuk bisa didapatkan, yaitu pemohon harus mengajukan proposal pengadaan usaha atau pengembangan usaha bagi mereka yang telah memiliki usaha. Setelah itu akan diseleksi lebih lanjut lagi oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir. Program ini belum bisa dikatakan sebagai solusi guna mengurangi pengangguran sarjana, namun hanya sebatas bantuan pinjaman. Sehingga tidak menutup kemungkinan para sarjana akan kesulitan mengembalikan uang kredit ketika usaha ekonomi yang dilakukan kandas ditengah jalan.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari program ini, kita patut memberikan apresiasi terhadap upaya pemerintah guna menanggulangi pengagguran, khususnya para sarjana. Kedepan yang harus dilakukan adalah memberikan akses kemudahan dari proses awal ini, dan juga yang mesti diperhatikan adalah relasi antara konsentrasi studi pada saat kuliah dengan lapangan kerja setelah menempuh studi. Hal ini sangat penting dilakukan guna melihat sejauh mana aspek kualitatif para sarjana yang mumpuni dalam satu bidang tertentu sesuai dengan gelar kesarjanaan yang diperoleh.
Guna menciptakan lulusan sarjana berjiwa wiraswasta, segenap pihak harus dilibatkan. Terutama peran Pendidikan Nasional dalam membentuk kurikulum kewirausahaan dan Bank dalam memberikan fasilitas kredit dan bantuan permodalan. Tapi yang harus digaris bawahi adalah program ini bukan berarti mewirausahakan setiap lulusan sarjana. Kedepan pemerintah harus mampu melihat kompetensi sarjana untuk selanjutnya diarahkan pada lapangan kerja yang sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti, hal ini akan lebih efektif guna menempatkan tenaga-tenaga kompetitif dalam pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih mandiri disegala bidang.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Namun yang harus dicermati lebih jauh adalah program tersebut baru sebatas penjelasan lisan Menteri Negara Koperasi dan UKM, jadi belum jelas petunjuk teknis operasionalnya. Para penganggur (baca: sarjana) harus bersabar menanti usaha pemerintah guna mengurangi pengangguran. Dibutuhkan kerja keras untuk merealisasikan rencana program tersebut, belum lagi persoalan birokrasi dengan mekanismenya yang terkadang menjadikan kita kesulitan guna memperoleh akses mendapatkan pinjaman usaha.
Dari tahun ke tahun Perguruan Tinggi (PT) baik negeri maupun suasta, mampu melahirkan ribuan sarjana. Tetapi banyaknya sarjana tak sebanding dengan kuota lapangan kerja yang disediakan. Hal ini telah kita rasakan semenjak orde lama lalu masuk ke orde baru hingga era reformasi seperti sekarang ini. Hal ini mengindikasikan bahwa indeks prestasi yang bagus ternyata tidak mampu menjamin masa depan yang juga bagus. Jadi yang harus dijamin oleh perguruan tinggi secara subtansial adalah persoalan akan kemana para sarjananya kelak?
Berkaca pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75% dari total 222 juta penduduk. Tingkat pengangguran cukup tinggi, yakni pada kisaran 10,8% sampai dengan 11% dari tenaga kerja yang masuk kategori sebagai pengangguran terbuka. Dari data statistik tersebut, kemudian diperparah lagi oleh sebagian besar tamatan PT di Indonesia sejatinya berjiwa pencari kerja. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar sistem pembelajaran di Tanah Air mendidik mahasiswanya untuk cepat lulus dan segera mencari kerja. Lulusan sarjana tidak dicetak menjadi manusia yang mampu menciptakan peluang kerja.
Program agunan kredit yang akan dilaksanakan pemerintah tersebut memiliki beberapa prosedur untuk bisa didapatkan, yaitu pemohon harus mengajukan proposal pengadaan usaha atau pengembangan usaha bagi mereka yang telah memiliki usaha. Setelah itu akan diseleksi lebih lanjut lagi oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir. Program ini belum bisa dikatakan sebagai solusi guna mengurangi pengangguran sarjana, namun hanya sebatas bantuan pinjaman. Sehingga tidak menutup kemungkinan para sarjana akan kesulitan mengembalikan uang kredit ketika usaha ekonomi yang dilakukan kandas ditengah jalan.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari program ini, kita patut memberikan apresiasi terhadap upaya pemerintah guna menanggulangi pengagguran, khususnya para sarjana. Kedepan yang harus dilakukan adalah memberikan akses kemudahan dari proses awal ini, dan juga yang mesti diperhatikan adalah relasi antara konsentrasi studi pada saat kuliah dengan lapangan kerja setelah menempuh studi. Hal ini sangat penting dilakukan guna melihat sejauh mana aspek kualitatif para sarjana yang mumpuni dalam satu bidang tertentu sesuai dengan gelar kesarjanaan yang diperoleh.
Guna menciptakan lulusan sarjana berjiwa wiraswasta, segenap pihak harus dilibatkan. Terutama peran Pendidikan Nasional dalam membentuk kurikulum kewirausahaan dan Bank dalam memberikan fasilitas kredit dan bantuan permodalan. Tapi yang harus digaris bawahi adalah program ini bukan berarti mewirausahakan setiap lulusan sarjana. Kedepan pemerintah harus mampu melihat kompetensi sarjana untuk selanjutnya diarahkan pada lapangan kerja yang sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti, hal ini akan lebih efektif guna menempatkan tenaga-tenaga kompetitif dalam pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih mandiri disegala bidang.
Oleh: Taufiq Saifuddin
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Sunan Kalijaga.
Minggu, 03 Januari 2010
MEMAHAMI KONFLIK ANTAR IMAN; MENYIKAPI PERBEDAAN SEBAGAI “RAHMAT” DAN BUKAN “KONFLIK” (Analisis Kritis Konflik Agama dan Etnik Di Indonesia)
Oleh: Taufiq Saifuddin
BAB I
PENDAHULUAN
Menempatkan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan pada dasarnya menentukan pijakan hidup seorang manusia pada sebuah keyakinan akan kebutuhan fitrawi manusia itu sendiri atas kepercayaan yang dianutnya. Unsur ajaran dan tata nilai menjadi sebuah bangunan postulat yang termaktub dalam esensi ajaran dari sebuah agama. Ajaran dan tata nilai tersebut memberikan sebuah bangunan tradisi yang menjadikan aktifitas kehidupan memiliki aturan dalam proses interaksi sosial-keagamaan. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa manusia pada dasarnya memerlukan kepercayaan. Kepercayaan yang dianut oleh seseorang pasti memiliki bangunan kebenaran yang membentuk keyakinan masing-masing individu untuk meyakininya. Demikian pula cara kepercayan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi juga berbahaya.
Timbulnya fenomena penting yang terdapat dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah, timbulnya gerakan-gerakan etnik dan agama yang berusaha menuntut otonomi yang lebih besar ataupun kemerdekaan dari negara. Para ahli ilmu sosial pada tahun 1950-an dan 1960-an umumnya menganggap bahwa persoalan identitas etnik dan agama merupakan gejala tradisional, sehingga dengan demikian hanya menyangkut negara-negara dunia ketiga dan sedang berkembang. Analisis ini harus kita letakkan pada dimensi dimana kultur masyarakat timur pada aspek keagamaan lebih menekankan pada pendalaman spritual yang secara eksistensi bisa kita lihat dari ritual religiusitas.
A. Memahami Agama, dan Mengapa Kita Beragama?
Ledakan Revolusi Industri yang terjadi di Barat telah memantik pemikiran dan gagasan tentang pembebasan manusia dari agama. Sebagian kelompok beranggapan bahwa alih-alih mendewakan agama sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan serta memenuhi segala keinginan dan hajat manusia, mereka memilih sains dan industri sebagai solusi dan way out baginya. Bahkan pada tingkat kulminasinya, sebagaimana yang dikukuhkan oleh Karl Marx bahwa agama bagi manusia merupakan candu dan opium yang membuat terlena mereka.
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian, adalagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks suci dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntutan, memang agama mengandung ajaran-ajaran dan tuntutan hidup bagi penganutnya.
Dari pemaparan diatas dapat kita katakan bahwa agama dengan perangkat ajarannya memiliki ikatan bagi penganutnya, sehingga subtansi kebenaran dalam hal ini harus dilihat dari segi universalnya. Karena diakui atau tidak semua agama secara garis besar menganjurkan penganutnya untuk saling menghormati, berlaku adil dalam hal apapun dan pantang akan penindasan. Garis universal inilah yang kami sebut sevagai penyikapan terhadap perbedaan yang dilandasi atas “rahmat” sehingga nuansa konflik mampu diminimalisir dari logika sederhana ini.
Melihat keragaman agama yang ada di Indonesia, jelas kiranya potensi konflik juga akan semakin besar. Sehingga untuk melakukan filtrasi atas fenomena ini diperlukan rekonsiliasi menyeluruh terhadap faham keagamaan terwacanakan yang terejawantah dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat yang semakin maju ini kesadaran akan hak-hak pribadi semakin kuat, sehingga munculnya diferensiasi pandangan, sikap, kehendak, ataupun kepentingan, menjadi tak terelakkan. Konflik merupakan ekspresi pertentangan yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan. Karena itu dalam kadar yang ringan, konflik bisa berupa perbedaan pendapat atau kehendak antara satu orang atau kelompok dengan orang atau kelompok lainnya.
Perbedaan tersebut diatas merupakan ekspresi dari kepercayaan yang dianut oleh individu maupun kelompok tertentu. Sehingga penyikapan perbedaan harus diarahkan pada sesuatu yang bersifat produktif, dari sini kemudian terbangun sebuah narasi besar terhadap perbedaan yang harus disikapi sebagai rahmat dari Tuhan dan tidak dengan konflik atau pertentangan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Persoalan ini merupakan konsekuensi logis dari masyarakat yang multi dimensi, sehingga pemetaan terhadap persoalan keagamaan yang bersifat sakral dan profan harus mampu difahami oleh masing-masing individu dan kelompok.
Pembicaraan tentang hajat manusia terhadap agama atau hajat agama terhadap manusia memang merupakan sebuah persoalan yang penting untuk dibahas. Mengapa agama sedemikian perlu bagi kehidupan manusia? Apa saja yang ditawarkan agama untuk melepaskan manusia dari segala alienasi dan patologi sosial yang semakin menggurita menghantam kehidupan bani Adam? Apakah manusia secara fitri adalah insan beragama? Ataukah manusia karena rasa gentar, dungu, faktor kemiskinan dan kebutuhannya terhadap etika memerlukan agama? Banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan di sini untuk melihat signifikansi persoalan agama pada diri manusia sebagai komplementer dari pertanyaan inti di atas yang diambil sebagai judul tulisan ini.
B. Agama dan Defisiensi Moralitas Terhadap Konflik antar Iman.
Masalah defisiensi moral sering menimbulkan kecemasan sosial karena eksesnya dapat menimbulkan gap generation sebab para generasi muda yang diharapkan sebagai kader-kader penerus menjadi calon-calon pemimpin bangsa (revitalising agent) banyak tergelincir dalam lumpur kehinaan. Persoalan ini disatu sisi menimbulkan pertanyaan, baru sejauh mana kemudian aspek domain faham keagamaan dalam diri sesorang guna tetap menjaga integrasi bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang agama dan etnis.
Defisiensi moral adalah kondisi individu yang hidupnya delingment (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan dan bertingkah laku asosial atau antisosial. Ciri-ciri orang yang mengalami defisiensi moral cenderung psikotis dan mengalami regresi, dengan penyimpangan-penyimpangan relasi kemanusiaan. Dalam arti yang lebih spesifik defisiensi moral sering kali menjadi tameng yang begitu kuat dalam setiap aktifitas pelanggaran nilai dan norma baik dalam masyarakat dan agama.
Pada masa pemerintahan Suharto, dunia Internasional selalu memuji Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, budaya, ras, golongan dan agama yang dapat hidup harmonis. Sejak bangku SD anak-anak telah ditanamkan betapa pentingya toleransi dalam kemajemukan. Namun pada kenyataannya di dalam benak sebagian besar umat beragama masih tersimpan benih-benih terciptanya konflik horizontal. Agama mungkin cuma salah satunya, sebab keragaman di negara ini bukan hanya keragaman agama. Namun, melihat berbagai konflik yang pernah terjadi, konflik yang berlatarbelakang agama merupakan konflik yang paling sulit dicarikan solusinya.
Jika dianalisa lebih jauh hampir sebagian konflik horizontal yang terjadi di negeri ini dilatarbelakangi oleh perbedaan agama. Sehingga persoalan pemahaman terhadap perbedaan iman tersebut harus senantiasa mendapat ruang yang cukup kondusif untuk saling berdialog. Dari sini kemudian perlu adanya pelembagaan moralitas publik untuk sedikit banyak memberi pemahaman atas perbedaan itu sendiri sehingga bentuk penyikapannya pun tidak akan berujung pada konflik yang bersifat horizontal dan berupaya menjadikan entitas bangsa berada pada dimensi disintegrasi.
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Dalam hal ini kemudian partisipasi politik tidak bisa dilepaskan guna memberikan legitimasi terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang diprediksi akan melahirkan konflik antar iman. Fungsi pelembagaan publik disini kemudian diharapkan mampu membuka ruang dialog yang inklusif antar agama dan dari situ akan lahir pola pemahaman terhadap perbedaan antar iman yang memang menjadi sub kultur perbedaan yang ada di Inonesia tentunya.
Rene Girard dalam bukunya La violence et le sacre (Mutiara, 1998) menggali ritus konflik (atau kekerasan) ini dalam masyarakat primitif berdasarkan mitologi Yunani dan Kitab suci Kristen. Ada beberapa ciri yang menandai ritus konflik, yaitu; (1) ritus konflik sering kali irasional. Jika obyek yang dituju tidak dapat diraih, ia akan mencari korban pengganti. Korban pengganti ini dipilih karena alasan mudah diserang dan jarak obyek itu dekat; (2) ritus konflik dilaksanakan untuk menjaga ekuilibrium sosial masyarakat dari kejahatannya; ini mendesak komunitas itu untuk mencari korban di luar dirinya. Antara korban substitutif dan komunitas ikatan sosialnya hilang, sehingga komunitas dapat menjadikannya korban tanpa ada perasaan takut akan adanya tindakan pembalasan. (3) hampir tidak ada diferensiasi antara korban binatang dan manusia, baik yang berjiwa atau yang tidak berjiwa, dan dalam banyak kasus yang satu disubstitusikan untuk yang lain. Semakin kronis krisis yang ada, semakin khusus ritus konflik yang diperlukan. Ritus konflik berfungsi mempolariasi agresivitas komunitas dan mengarahkan pada korban figuratif.
BAB II
MENYIKAPI KONFLIK ANTAR IMAN, DARI KONFRONTASI KE DIALOG
Telah dijelaskan diatas bahwa kebanyakan dari sekian banyak konflik horizontal yang terjadi di Indonesia sebagain besar dilatar belakangi oleh perbedaan pemahaman keagamaan yang simplistik, sehingga melahirkan fanatisme primordial yang berlebihan. Pemahaman yang demikian akan berimbas pada praktek kehidupan dalam interaksi sosial antar agama menjadi sesuatu yang bersifat eksklusif dimana klaim pembenaran memberikan legitimasi untuk melakukan justifikasi dan klaim bahwa tidak ada kebenaran diluar keyakinan yang diyakini oleh seseorang ataupun kelompok. Perihal ini seolah menjadi perisai alasan argumentatif dalam sekian banyak pemicu konflik yang terjadi.
Menurut Mark R Amstutz (1996), di samping konflik memiliki beberapa fungsi yang negatif, ternyata ia juga mempunyai sejumlah fungsi positif. Fungsi-fungsi negatifnya, di antaranya konflik akan bersifat destruktif bila telah bergerak ke arah yang menciptakan ketidak-tertiban dan instabilitas, menyulut persengketaan dan kekacauan, serta menjadi penghambat bagi tercapainya kebijakan dan pengambilan keputusan yang efisien. Sedangkan fungsi-fungsi positifnya, antara lain ialah bahwa konflik dapat menjadi pencegah bagi terjadinya konflik yang lebih serius, sebagai pemacu kreatifitas dan inovasi mayarakat, sarana mempererat kohesi sosial, dan merupakan alat saling kendali (mutual control) antar anggota masyarakat dan antara pemerintah dengan masyarakat yang diperintah.
Dari perspektif diatas kemudian peranan konflik memiliki sebuah acuan dasar yang memungkinkan terjadinya integrasi atas pemahaman terhadap perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu maupun kelompok. Karenanya, mencegah terjadinya konflik justru dinilai melestarikan kepincangan sosial. Karena memiliki fungsi ganda ini (negatif dan juga positif), maka tindakan yang harus dilakukan terhadap konflik biasanya sangat dipengaruhi oleh persepsi kultural masyarakat terhadap realitas sosial yang mereka idealkan. Persepsi kultural yang secara turun temurun diwarisi dari generasi ke generasi, baik tentang gotong royong, keagungan Tuhan, serta keselarasan dan hidup berdampingan. Sehingga penyikapan terhadap konflik cenderung akan dihindari, maka resolusi konflik disatu sisi menjadikan disintegrasi namun disisi lain memiliki upaya pemahaman akan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu dan kelompok yang memiliki kepercayaan dan keyakinan tertentu.
Konflik akan senantiasa menjadi bagian yang melekat terhadap keberlangsungan peradaban. Betapapun modernitas dan demokratisasi atau sosialisme juga entah apa pun ideologi yang dipedomani. Konflik, ternyata given dan laten. Dia ibaratnya virus. Tidak pernah musnah. Yang dapat dilakukan adalah mengelolanya agar jangan sampai meledak sebagi sebuah chaos sosial. Tetapi konflik menjadi menarik dibicarakan saat diterapkan dalam praksis agama. Sebab, tidak lain karena agama justru didesain bahkan diklaim sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, betul tidak seharusnya dijustifikasi langsung kepada agama itu sendiri. Melainkan kepada proses-proses keberagamaan pemeluknya.
Ahimsa (kekuatan cinta) atau “kekuatan nir-kekerasan” merupakan penghormatan kepada semua bentuk kehidupan. Ini adalah sebuah pandangan atau ajaran agama yang telah memiliki sejarah panjang dan bisa diartikan bahwa setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, harus menghindari kejahatan dengan menarik diri dari kehidupan dunia atau bahwa mereka harus berjuang memerangi kejahatan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik di dunia. Bagi Mahatma Ghandi, ahimsa bukan hanya sekedar tingkatan tidak melakukan penyerangan secara negatif, tetapi tingkatan cinta yang positif, berbuat baik bahkan kepada pelaku kejahatan sekalipun.
A. Multikulturalisme, Konflik dan Dialog: Refelksi tentang Hubungan antar Agama di Indonesia.
Sudah sejak lama keanekaan budaya Indonesia dikenal, diakui dan bahkan dikukuhkan. Pada masa kolonial Belanda keanekaan itu dikenali melalui studi-studi orientalime tentang aneka hukum adat yang ada di negeri ini. Kemudian dikukuhkan antara lain dalam pemberlakuannya untuk penyelesaian berbagai persoalan hukum tertentu diluar jangkauan hukum dan tidak terkait langsung dengan kepentingan penguasa kolonial. Keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui dan dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh yang berlaku hingga saat ini.
Kontak kultural dalam masyarakat senantiasa akan menimbulkan toleransi, pengakuan akan keberadaan sebuah kebudayaan yang terpisah, gagasan mengenai pluralisme. Hal ini dapat dipastikan akan membuahkan saling pengaruh, saling memperkaya antar budaya dan keragaman agama, gagasan mengenai multikulturalisme. Peristiwa yang demikian ini jarang sekali diungkapkan, tidak populer terutama akibat tertanamnya secara amat mendalam sebuah paham mengenai keagamaan sebagai sesuatu yang utuh, murni dan otonom. Padahal dengan gagasan multikulturalisme itu akan ditemukan kenyataan bahwa sebenarnya diri seseorang, diri suatu komunitas kebudayaan maupun agama, sebenarnya terbangun dari aneka budaya. Bahwa dalam diri kita hidup orang lain, didalam diri orang lain hidup diri kita, bahwa kita dan orang lain tak pernah terpisahkan, telah menjadi satu kesatuan.
Konflik harus dipertemukan dalam ruang dialog, dengan demikian pemahaman akan perbedaan yang memang menjadi ciri bangsa ini akan semakin konprehensif. Pemahaman yang komprehensif tersebut akan mengantarkan kita pada bentuk toleransi dalam konteks keragaman dan bukan keyakinan. Toleransi keragaman dalam makna tersebut adalah bentuk penghormatan individu ataupun kelompok atas perbedaan keyakinan, maka hubungan antar agama terletak pada hubungan manusia dengan sesamanya. Kerja kemanusiaan yang seperti inilah yang pada dasarnya menjadikan manusia akan saling mengerti terhadap sebuah pranata sosial keagamaan yang ada.
Bisa dipastikan bahwa semangat kebangsaan akan senantiasa dilandasi oleh kesadaran akan keberadaan latar belakang kebudayaan dan keagamaan yang beragam. Pengingkaran terhadap keragaman tersebut secara tidak langsung akan menjadi gesekan yang memicu konflik horizontal dari pemahaman vertikal atas postulat doktrinasi kebenaran agama. Dalam konteks ini konflik kemudian akan terarah pada chaos publik masyarakat Indonesia. Perbedaan iman tersebut juga harus dibarengi oleh peniscayaan akan keragaman agama, sehingga dari situ dapat melahirkan sebuah tesis awal yang mengarah pada sebuah argumentasi bahwa gesekan yang terjadi murni disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan bukan tuntutan atau ajaran dari agama tertentu untuk saling memusuhi.
Hubungan antara agama, Yahudi dan Kristen sejak abad pertama Masehi telah diwarnai oleh pertentangan bahkan penganiayaan. Umat Kristen yang masih kecil dikejar dan dicederai. Alasan utamanya bukan alasan ekonomi, politik atau sosial, melainkan semata karena alasan doktrin keagamaan yang berbeda. Kita mengenal gejala kekerasan semacam ini sebagai herecy hunting atau perburuan bidah. Begitu pula sebaliknya yang terjadi ketika agama Kristen pada abad keempat Masehi ditahbiskan menjadi agama resmi imperium Romawi. Balas dendam dari kalangan Kristen terhadap umat Yahudi pun terjadi dengan sengitnya. Munculnya agama Islam diabad ketujuh Masehi merupakan arena baru bagi persaingan dan konflik antara agama, khususnya antara Kristen dan Islam.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa peperangan diantara umat beragama anak-anak Ibrahim itu saja (belum meyebut “perang yang melibatkan agama yang lain”), kita sudah bisa menyimpulkan bahwa “perang agama” merupakan perang terpanjang diatas pentas sejarah umat manusia di dunia ini. Multikulturalisme dan konflik antar agama di Indonesia sebagai bagian integral dari sejarah sosial agama-agama dunia, tentu tidak akan merupakan pengecualian yang mencolok. Perseteruan antar agama, sebagaimana terlihat dalam sejarah, buku tidak ada tapak-tapaknya di negeri ini.
Pada dasarnya kehadiran berbagai upaya yang dialogis diantara para penganut agama dan negara secara sadar (care and aware) harus senantiasa menemukan cara agar akses beragama dapat dikelola dengan target mengoptimalkan janji agama sebagai petunjuk jalan damai. Bukan sebaliknya: kacau dan teror, disinilah fungsi dialog sebagai never ending procces guna melahirkan rekonsiliasi yang lebih mengutamakan subtansi dibanding simbol.
Di samping itu pula, agama dikenal sebagai lembaga yang paling lengkap (sering digambarkan sebagai waduk maha besar) yang mampu menampung dan menyimpan memori pengalaman manusiawi yang diwariskan turun temurun dalam keadaan yang asli. Kegandrungan kepada keaslian (obsesi kepada ortodoksi, atau obsesi konfesionalisme) merupakan salah satu watak agama. Orang beragama selalu cenderung berkelana ke masa lampau untuk mencari ilham, terkadang berarti bahwa membentuk masyarakat masa depan adalah mengembalikannya ke masa lampau. Orang beragama tidak bisa tidak akan mengacu kepada hal-hal yang telah lewat.
Memori kolektif yang kuat terpelihara dalam setiap agama, disadari atau tidak sering dilatarbelakangi oleh rasa takut, tidak percaya, kejerian, prasangka, dendam, kebencian, dan trauma terhadap pengalaman kekalahan yang pernah mereka alami di masa lampau. Oleh sebab itu, agama-agama harus menjadi pokok kajian kritis. Tidak bisa diandaikan bahwa semuanya baik-baik. Kaum agamawan harus berani mulai melakukan sikap kritis dari dan terhadap agamanya sendiri. Dari sini memang muncul suatu pertanyaan mendasar tentang “identitas” dalam masyarakat pluralistik.
Kesalihan personal dalam beberapa hal hanyalah merupakan bagian kecil dari agama. Namun ia adalah intinya. Karena dalam pengabdian personallah (apakah melalui ibadah-ibadah biasa atau yang lainnya) maka dimensi kosmik dimasuki. Dan ini membuat agama menjadi religius dan karena itu maka seluruh struktur sebuah komunitas religius akhirnya membenarkan dirinya. Karena itu, apa yang kita sebut kesalihan atau pengabdian personal memainkan suatu peranan kunci dalam peradaban sebagai sebuah keseluruhan, paling tidak dimana saja tradisi-tradisi religius merupakan hal yang penting. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan secara umum perubahan-perubahan dalam suasana hati dan gaya-gaya kesalihan saling tergantung secara lekat satu sama lain. Gaya-gaya kesalihan bahkan lebih rumit untuk dikaji ketimbang gaya-gaya seni, tetapi mungkin jauh lebih penting.
Jelas kemudian bahwa peranan agama harus juga mampu membentuk kesalihan individu dalam ruang lingkup kerja-kerja kemanusiaan. Hal sangat penting mengingat fungsi agama yang memiliki misi perdamaian, maka untuk mengakomodir refeleksi tersebut diatas membutuhkan sebuah diskurusus yang tidak parsial. Pemahaman akan keragaman yang menyeluruh akan membantu masyarakat dalam menentukan titik pijak penyikapan akan perbedaan itu sendiri.
Dialog antar agama harus didasari bahkan didahului oleh suatu dialog teologis demi untuk melakukan suatu kajian kritis terhadap diri sendiri. Langkah ini perlu dilakukan guna memisahkan harapan harapan dari ketakutan, agar tidak tercampur baur. Dan sesudah itu baru diikuti oleh dialog aksi. Sebenarnya kedua jenis dialog tersebut idealnya harus dilakukan serentak. Di satu pihak dialog teologis perlu dilakukan karena distorsi dan kesalahpahaman perlu diminimalisir, dan juga apresiasi perlu ditumbuhkan. Teologi harus dibebaskan dari traumatik hubungan manusia antar umat beragama, dan berani melangkah kearah hubungan yang lebih manusiawi. Perbedaan teologis kemudian menjadi sebuah pemahaman akan perbedaan masing-masing individu dan kelompok yang membutuhkan eksistensi.
B. Faktor-Faktor Penyebab Konflik
1. Eksklusifitas dari Pemimpin dan Penganut Agama.
Watak setiap pemeluk agama adalah bersikap eksklusif dalam melihat agama lain. Hal ini terlihat jelas pada agama Yahudi. Bagi mereka tidak ada Nabi setelah Nabi Musa. Segala jenis canon telah selesai tersurat dan tersusun 500 tahun sebelum Masehi sehingga yang datang kemudian tidak dapat diterima oleh mereka.
Inilah awal persengketaan agama, atau embrio permusuhan keagamaan yang lahir kemudian. Isa maupun Muhammad bagi mereka hanyalah sekedar tokoh sejarah, bukan tokoh spiritual. Walaupun demikian, evolusi pikir para pemikir dan tokoh agama mulai merasa perlu untuk meninggalkan sikap-sikap seperti ini.
Suatu dialog harus dimulai untuk mengakhiri pandangan-pandangan eksklusif sebagai pendiri agama Yahudi. Dengan demikian, doktin Katolik “extra eccelesiam nulla salus” (diluar gereja tidak ada keselamatan), bahkan “extra ecclesiam nullus propheta”(diluar gereja tidak ada nabi), ditarik sekaligus untuk membuka dialog-dialog serta sikap yang pluralistik. Dialog bukan ditujukan untuk mempersamakan suatu agama dengan yang lain.
Dalam proses berdialog, tujuannya bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena jika demikian maka dialog semacam itu sebagai sesuatu yang absurd dan lebih pada menghianati tradisi suatu agama. Yang diacari seetulnya untuk mendapatkan titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh agama kita sendiri. Dalam memahami agama lain hendaknya kita bersikap melihat apa adanaya. Pada dasarnya setiap agama mempunyai sisi-sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang sangat dibanggakan penganut suatu agama, serta akan menjadikan mereka tetap bertahan jika mereka mulai mencari dasar rasional keimanan mereka.
Agama merupakan suatu upaya manusia untuk membangun kosmos suci. Dengan kata lain agama adalah proses kosmisasi dalam cara yang suci. Disini berarti terdapat pengakuan adalanya kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan yang dikaitkan dengan manusia, yang diyakini berada dalam obyek tertentu (benda suci, tempat suci, manusia suci). Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi-sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan suatu keagungan atau kesalahan sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandang sekarang sebagai memalukan. Oleh sebab itu, suatu dialog selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal agama lain yang hendang dikomparasikan dengan realitas suatu agama baik yang agung, maupun yang memalukan. Dengan demikian kita terhindar dari penilaian standar ganda dalam melihat agama lain, yaiut karena membaca agama kita dengan sisi-sisi ideal dan mengkomparasikan agama lain dengan sisi real.
Mahatma Ghandi pernah berkata, “Aku adalah penganut kebenaran dari semua agama di dunia ini. Di bumi tidak akan pernah tercipta perdamaian yang abadi manakala kita tidak belajar menghormati – tidak hanya sekedar bertoleransi – keyakinan orang lain, sebagaimana kita menghormati agama yang kita anut. Belajar dengan penuh rasa hormat dan takzim mengenai petuah-petuah dari berbagai sosok guru ummat manusia merupakan langkah konkrit dari sikap penghormatan kepada semua agama.
Ungkapan diatas seolah ingin bertutur bahwa persoalan dialog merupakan kebutuhan primer ummat beragama. Jika kita myakini bahwa Tuhan maha kuasa, maha mengetahui, jangan-jangan Tuhan membahasakan dirinya kepada setiap agama dengan penyampaian yang berbeda dari kemaha esaan-Nya. Sehingga tidak ada ruang kemudian untuk saling menyalahkan.
2. Sikap Tertutup dan Saling Curiga antar Agama.
Agama yang sasarannya adalah menciptakan keserasian hidup antar hamba Tuhan. Tetapi dengan adanya ketertutupan dan saling mencurigai maka sasaran agama tidak mungkin tercapai.
Kita jarang mengangkat isu bahwa agama kita adalah agama satu-satunya yang bersumber dari Ibrahim dan berlanjut sampai sekarang ini melalui Musa, Isa dan Muhammad. Karena sikap saling curiga itu, maka setiap kegiatan suatu agama dianggap sebagai suatu ancaman bagi agama yang lain. Pendirian rumah ibadah yang sebenarnya harus dipandang sebagai suatu sumber kebaikan dan kemaslahatan, menjadi sumber sengketa dan pertentangan. Pendirian rumah ibadat dipandang sebagai suatu ekspansi yang merugikan agama lain.
Sejarah membuktikan bahwa manusia yang memeluk satu agama tidak menjamin menjadi sebagai komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan di antara sesama pemeluk yang satu nomenclature agama pun, di antara satu sekte dengan sekte lain, sampai yang berbeda agama, terbukti selalu dan potensial menciptakan konflik. Ada formula ironi sosiologis yang menyatakan, “di mana ada agama, di situ ada konflik”.
Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan disaat kekacauan; baik yang berkaitan dengan kekisruhan relasi sosial maupun nilai sedang terjadi. Agama datang untuk menyelesaikan masalah. Begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal munculnya dogma bahwa saat kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama Yahudi. Hal yang sama juga terjadi saat Islam turun, klaimnya adalah bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada.
Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain dengan agama lain (antara agama) adalah antara sesama penganutnya (interen agama). Anehnya, justru dengan alasan demi agama yang bersangkutan. Fakta tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten.
3. Agama yang adalah Tujuan Berubah Menjadi Alat, Realitas Menjadi Sekedar Kebijaksanaan.
Rumah ibadat, Masjid dan Gereja semisal beralih menjadi perlambang keangkuhan manusia. Tuhan bukan lagi menjadi tujuan peribadatan karena agama telah dijadikan alat untuk mencapai tujuan, maka agama bukan lagi suatu sarana untuk menghayati iman, tetapi semata-mata untuk mencapai kuantitas pemeluk dan alat pengembang kekuasaan.
Pada masa kementrian revolusi, Menteri Agama Rasjidi mengaskan bawa negara melalui Kementrian Agama tidak akan campur tangan dalam urusan agama. Kementrian Agama memberikan tempat yang sewajarnya kepada setiap yang ada di Indonesia. Penegasan ini dikemukakannya, melihat upaya menjawab usulan kalangan Katolik dan Protestan tentang perlunya pemisahan antara kekuasaan agama dan negara dan bahwa negara seharusnya tidak mencampuri urusan agama. Keterangan itu sekaligus “menenangkan” umat Kristiani, yang khawatir bahwa Kementrian Agama akan memberikan perhatian hanya kepada pengaunt agama Islam.
Penguasa sejak orde lama hingga orde baru, telah menjadikan agama sebagai alat pelurus kebijaksanaan. Budaya ini menurun sampai kepada lembaga-lembaga keagamaan. Sehingga wajar jikalau persoalan keagamaan disatu sisi membutuhkan legitimasi politik yang dimanifestasikan oleh kebijakan terhadap kebebasan akan pendapat keagamaan.
Karena tujuan agama telah terselewengkan, maka penyebaran agama pun terselewengkan dari membangun kualitas iman menjadi alat pengumpul dan pembangun kekuatan. Kita melihat seakan-akan Masjid dan Gereja bukan lagi menjadi tempat kita memuja Tuhan, tetapi tempat pujaan kekuasaan dan nafsu-nafsu. Para pemimpin agama tidak lagi beragama dengan agama Muhammad atau Isa. Agama mereka berlangsung sesuai dengan irama penguasa dan tuntutan nafsu. Akibat penghayatan dan perlakuan agama yang demikian ini, ialah manusia menjadi mudah terprofokasi yang akan berakhir dengan konflik berdarah.
Terjadinya konflik sosial yang berlindung di bawah bendera agama atau mengatas-namakan kepentingan agama, bukan merupakan justifikasi dari doktrin agama, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakjelasan hubungan antara agama dan kebudayaan. Telah banyak sarjana yang mengkaji hubungan antara agama dan kebudayaan. Pada satu sisi, agama selain sebagai sumber moral dan etika serta bersifat absolut juga bersifat a-historis. Pada sisi lain, agama juga bisa bersifat historis dan berubah menjadi sistem kebudayaan, yakni ketika wahyu agama direspon oleh manusia atau mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem kognisi manusia. Interest kognitif manusia itulah yang menyebabkan wahyu agama berubah sifatnya menjadi relatif dan profan.
Soedjatmoko (1984) mengakui bahwa agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat yang efektif, karena agama, lebih dari ideologi sekuler manapun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan sosial-kemasyarakatan). Karenanya, secara sosiologis, tampak ada korelasi positif antara agama dan integarsi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
BAB III
PENDIDIKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK, MENCEGAH AGAMA MENJADI PENYEBAR VIRUS KONFLIK SOSIAL
Pendidikan agama sebagai salah satu sub pendidikan Nasional yang diajarkan dari SD bahkan TK sampai perguruan tinggi tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek normatif maupun historisnya. Pendidikan agama sarat muatan normatif dan historis empsiris. Maka amat menarik untuk mengkaji ulang, mencermati meneliti, “paradigma”, “konsep” dan pemikiran pendidikan agama yang ditawarkan oleh kurikulum, silabus, literartur dan para pengajarnya di lapangan dalam era pluralitas. Lebih-lebih jika demikian dikaitkan dengan pencarian sebagian sumber atau akar-akar konflik dan kerusuhan sosial dalam masyarakat plural.
Sejauh mana secara historis, praktik pendidikan agama, sejak dari awal penyusunan kurikulum, silabi guru mapupun dosen, metode mengajar, pilihan buku wajib dan literatur yang digunakan, sumber dana penyelenggaraan sekolah, model penataran-penataran guru-guru agama, akses guru-guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut agama-agama di tanah air, dan begitu seterusnya perlu dicermati satu persatu.
Norma dan aturan agama yang diklaim sebagai yang bersumber dari “ilahi”, yang “suci”, yang “samawi”, yang “sakral”, yang “ultimate”, menjadikan agama mempunyai ciri yang spesifik dan unik, sekaligus membedakannya dari jenis-jenis pengalaman budaya dan sosial kemanusiaan yang lain. Dimungkinkannya truth claim (klaim kebenaran) yang biasa terjadi pada penganut agama-agama, sebagian bersumber dari apa yang disebut sebagai yang suci ini. Namun ketika yang disebut suci itu tadi diungkapkan dalam budaya tertentu (Arab, Cina, Indonesia), serta merta campur tangan budaya dan sosial tidak dapat dihindarkan sama sekali
A. Wajah Pendidikan Agama di Era Pluralisme
Kontestasi pendidikan formal yang semakin menunjukkan wajah kompetitif di era pluralistik seperti sekarang ini, seolah menjadi pemandangan yang kian hari semakin jelas dilema antara kebutuhan akan prospeknya dan penentuan titik pijak keragaman. Dari sini kemudian istilah agama warga negara muncul, sebagaimana istilah ini biasa digunakan merujuk secara khusus kepada agama pemersatu semacam itu. Agama warga negara memiliki rangkaian perlambangan sakralnya sendiri atau bendera kenegaraannya. Ia punya ”ibadah sendiri” seperti sumpah kesetiaan warga negara (the pledge of allegiance). Ia punya “kuil sendiri” seperti taman makam pahlawan. Punya keyakinan-keyakinan tersendiri seperti sejarah perjuangan bangsanya. Punya tokoh-tokoh sakralnya sendiri, seperti pahlawan-pahlawan perjuangan kemerdekaan. Dan punya peristiwa-peristiwa bersejarah yang dirayakan seperti hari pahlawan dan hari kemerdekaan.
Proses dialog antar umat beragama yang selama ini dimotori dan diprakarsai oleh pemerintah adalah kurang diikutsertakannya guru agama dalam proses dialog antar ummat beragama. Barangkali mereka dianggap tidak terlalu penting, tidak punya daya jual, terlalu rendah atau tidak kelasnya untuk diajak duduk bersama-sama untuk berdialog mendiskusikan persoalan pluralitas agama, dianggap tidak punya terlalu banyak umat, dianggap tidak mempunya peran strategis dalam mensosialisasikan ide-ide baru. Pandangan simplistik yang seperti ini, pada dasarnya menutup ruang dialog yang ingin dibangun untuk menjadikan pendidikan agama sebagai ruang diskusi dan berdialog.
Dialog antar ummat beragama secara terbatas hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi keagamaan, fungsionaris yang berwenang dalam lembaga-lembaga keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap terpandang. Sejak dari tokoh-tokoh elit, agama dari kalangan ulama, bhikku, pendeta, pastor sampai tokoh-tokoh pemuda, wanita, intelektual, mahasiswa dan begitu seterusnya. Namun, jarang sekali forum-forum dialog ini melibatkan guru-guru agama. Guru-guru agama sebagai ujung tombak pendidikan agama, dari TK hingga perguruan tinggi, nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar ummat beragama selama hampir 30 tahun terakhir.
Pada titik ini, keberagamaan menunjukkan identitasnya yang serba benar. Kebenaran agama yang dimaksdu bukan kebenaran yang bersifat membebaskan manusia dari belenggu, melainkan kebenaran yang sudah dikonstruksi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Konsekuensinya, kebenaran agama menjadi semakin sempit, yaitu kebenaran yang dipersepsikan sebagian orang, sekte, aliran dan mazhab. Dan realitas seperti ini, hampir menjadi karakter utama agama-agama samawi yang senantiasa berasumsi dengan premis-premiskebenaran yang bersifat absolut.
Pelembagaan pendidikan agama harus mampu memberikan akses yang seluas-luasnya kepada seluruh elemen masyarakat yang sebagian besar dimanifestasikan oleh organisasi dan perkumpulan. Dengan begitu peran pendidikan agama akan semakin memberi arti guna memberikan pemahaman yang cukup beragam akan latar belakang keberagamaan yang ada di Indonesia. Proses pencarian akan kebenaran akan berjalan secara terus menerus melalui pewacanaan yang masif akan pentinggnya efek pluralistik dalam pola interaksi sosial keagamaan. Pelibatan terhadap seluruh elemen masyarakat akan merepresentasikan keragaman yang mesti dihargai dalam kontelasi tradisi agama yang menunjukkan semangat pluralitas dalam sekian banyak aktifitasnya.
B. Mencari Suatu Model Pendidikan Agama yang Relevan dalam Masyarakat Majemuk.
Untuk mencapai model tersebut bahasan akan dimulai dengan mengkaji komponen kurikulum yang mencakup unsur metode mengajar, materi pelajaran, prasarana dan media mengajar bahkan landasan falsafah serta tujuan pembelajaran. Yang terakhir ini sebenarnya menjadi landasan dari seluruh proses belajar-mengajar, dari mana guru menentukan materi dan metode mengajar. Pertanyaan yang paling mendasar adalah: apakah dasar dan tujuan pendidikan, khususnya pendidikan agama? Tujuan pendidikan bermakna kultural, seperti kata Ki Hajar, dikembangkan oleh pewarisnya sehingga warisan itu berguna bagi kehidupannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan agama, harus memampukan seseorang bukan hanya mengenal agamanya tetapi mampu pula bertumbuh dalam imannya dan memberlakukan ajaran agama dalam kehidupan sehari-harinya, demi kehidupan yang sejahtera lahir dan batin bagi semua.
Pada dasarnya pendidikan juga harus mampu terarah pada penguatan sumber daya manusia yang kompetitif dan kualitatif. Sehingga bentuk penyikapan atas kemajemukan akan senantiasa terarah pada sebuah diskursus yang semakin membuat kita memahami akan peredaan itu sebagai rahmat Tuhan yang diberikan kepada hambaNya. Pendidikan pada level ini adalah pendidikan yang bersifat inklusif dan anti diskriminasi, sehingga aspek spritual etik dalam aktifitas pendidikan pun memberikan sebuah spirit baru guna menunjang semangan keberagamaannya.
Sasaran akhir dari pendidikan (agama) haruslah seorang pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan bersama yang lebih baik daripada masa lalu. Fungsi inilah yang secara mendasar harus dilandasi dalam proses transfer of knowledge yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya.
Kebahagiaan merupakan merupakan kondisi seorang makhluk rasional di dunia ini, yang didalam segenap eksistensinya segala hal berjalan menurut harapan dan kehendaknya. Jadi dia terletak pada harmoni sifat dasar penentu kehendak esensialnya. Dengan demikian, sebab tertinggi sifat dasar, selama manusia harus diasumsikan sebagai kebaikan tertinggi, adalah makhluk yang menjadi sebab (dan konsekuensinya adalah sang pencipta) sifat dasar melalui pemahaman dan kehendak, yaitu Tuhan. Konsekuensinya, dalil tentang kemungkinan adanya kebaikan turunan tertinggi (dunia terbaik) pada saat yang sama menjadi dalil bagi realitas kebaikan asli tertinggi, yaitu eksistensi Tuhan.
Tempat belajar demokrasi yang pertama seharusnya adalah kelas pelajaran agama, yang mengajarkan untuk menerima dan mengasihi sesama manusia sebagai bukti menghargai karya Tuhan yang maha tinggi. Dalam kelas, melalui pelajaran agama jugalah orang belajar mengenai hak dan tanggung jawab manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk karena saling tergantungnya manusia. Juga disitulah individu belajar tentang kuasa untuk melayani dan bukan mengeksploitasi atau memanipulasi untuk kepentingan sendiri , belajar untuk menghargai orang lain dan perbedaan masing-masing sebagai anugrah khusus dari Tuhan kepada setiap orang, untuk menghargai dan merawat bumi serta seluruh kekayaannya agar dinikmati secara merata oleh setiap orang dan zaman.
Untuk mencapai maksud itu maka metode yang digunakan oleh guru juga harus mampu membangun kepribadian yang demokratis, menumbuhkan jati diri yang berkualitas serta integritas tinggi. Harus diakui bahwa pendidikan di Indonesia penuh dnegan muatan politik para penguasa dengan tujuan agar sesuai maksud penguasan bukan demi pengembangan generasi muda itu sendiri. Guru diharapkan tidak mengajar tentang agama dengan gaya yang cenderung mengintrokdinasi tetapi guru dapat memberi pelajaran tentang iman dalam semangat religiusitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
BAB IV
KESUMPULAN DAN PENUTUP
Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa gejala konflik dan kerusuhan pada hakikatnya merupakan gejala sosial dan sejarah, yang secara universal baik pada masa lampau maupun yang terjadi pada masa kini. Konflik dan kerusuhan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk reaksi sosial terhadap proses-proses perubahan yang dihadapi oleh masyarakat pada jamannya, pada dasarnya menjadi sumber timbulnya ketidakpuasan, keresahan, dan frustrasi sosial yang mendorong lahirnya aksi protes, konflik dan kerusuhan sosial, yang banyak membawa korban dan kerugian materi yang tidak sedikit. Konflik, baik yang bersifat individual maupun yang massal, selalu muncul karena sebuah atau beberapa sebab yang timbul karena perjalanan dan perubahan peradaban manusia.
Konflik dan kerusuhan merupakan indikasi terjadinya krisis adaptasi -- baik individual maupun masyarakat-- dan atau ketidakmampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan yang dihadapi pada masa kini, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik maupun kultural masyarakat. Konflik dalam dimensi sosial budaya adalah hal yang alamiah, lumrah dan cenderung mengikuti hukum kausalitas, sebagaimana sebuah siklus yang tak pernah berakhir sepanjang sejarah manusia, sehingga untuk muncul kembali di masa yang akan datang sangat mungkin sekali terjadi bila hal-hal yang menyebabkan masalah (hukum sebab-akibat) dan pemicu kerusuhan tidak disingkirkan dari kehidupan sosial.
Dengan menjawab asumsi-asumsi dan hipotesa atas keberagamaan manusia maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat tidak beragama dalam kehidupannya. Agama yang akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan maknawi dan duniawi berkat aturan dan rule of game yang tegas dijelaskan dalam setiap ajaran agama. Melalui agama pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyangkut persoalan-persoalan eksistensial dapat terjawab dengan tuntas dan komprehensif dimana orang-orang yang kontra dengan keberadaan agama dan mencoba memberangus rasa keberagamaan itu dengan menyajikan industri dan sains. Namun manusia karena dalam dirinya mengandung dua dimensi, ragawi dan maknawi, kebutuhan dan dahaga maknawinya tidak akan dapat pernah dapat terpenuhi selain dengan perantara sesuatu yang trasendental. Oleh karena itu, jelaslah alasan ihwal mengapa kita beragama?
Demikian serangkaian uraian yang kami bingkai dalam tulisan sederhana ini, semoga menjadi sebuah sumbangsih diskursus dalam ranah intelektual. Dan tak lupa pula kami ucapkan puja dan uji syukur kehadirat Allah SWT, semoga limpahan rahmatnya senantiasa memberikan kita spirit untuk melakukan proses belajar secara terus menerus guna menambah khasanah keilmuan. Amin. Begitu juga kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah menjadi rifal berfikir dan berdiskusi dalam penyelesaian naskah ini. Semoga kerja-kerja intelektual yang kita lakukan mampu berguna untuk generasi selanjutanya.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. (2002). Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dear, John, (ed.). (2007). Intisari Ajaran Mahatma Ghandi: Spritualitas, Sosio-Politik dan Cinta Universal. Bandung: Penerbit Nusamedia.
F. O’Neill, William. (2001). Ideology-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hodgson, G. S. Marshall. (2002). The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Buku Kedua: Peradaban Khalifah Agung). Jakarta: Penerbit PARAMADINA.
Jusfroni, K. A. M. (2007). Mengritik Agama Sendiri, “Membela” yang Lain. Jakarta: Jusuf Roni Center dan Cipta Lahai Roi.
Kant, Immanuel. (2005). Kritik atas Akal Budi Praktis. Judul asli “Critique of Practical Reason”. The Liberal Arts Press, New York 1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholis. (2005). Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Penerbit PARAMADINA.
Mehta, Ved. (2007). Ajaran-Ajaran Mahatma Ghandi. Kesaksian dari Para Pengikut dan Musuh-Musuhnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. (2008). Islam, Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jilid I). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Ridha, Abu. A. Najiyulloh (Penyunting). (2002). Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya. Jakarta: Al-I’tishom.
Romas, Syarief, Chumaidi. (2003). Kekerasan di Kerajaan Surgawi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Th. Sumartana, dkk. (2005). Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei.
BAB I
PENDAHULUAN
Menempatkan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan pada dasarnya menentukan pijakan hidup seorang manusia pada sebuah keyakinan akan kebutuhan fitrawi manusia itu sendiri atas kepercayaan yang dianutnya. Unsur ajaran dan tata nilai menjadi sebuah bangunan postulat yang termaktub dalam esensi ajaran dari sebuah agama. Ajaran dan tata nilai tersebut memberikan sebuah bangunan tradisi yang menjadikan aktifitas kehidupan memiliki aturan dalam proses interaksi sosial-keagamaan. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa manusia pada dasarnya memerlukan kepercayaan. Kepercayaan yang dianut oleh seseorang pasti memiliki bangunan kebenaran yang membentuk keyakinan masing-masing individu untuk meyakininya. Demikian pula cara kepercayan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi juga berbahaya.
Timbulnya fenomena penting yang terdapat dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah, timbulnya gerakan-gerakan etnik dan agama yang berusaha menuntut otonomi yang lebih besar ataupun kemerdekaan dari negara. Para ahli ilmu sosial pada tahun 1950-an dan 1960-an umumnya menganggap bahwa persoalan identitas etnik dan agama merupakan gejala tradisional, sehingga dengan demikian hanya menyangkut negara-negara dunia ketiga dan sedang berkembang. Analisis ini harus kita letakkan pada dimensi dimana kultur masyarakat timur pada aspek keagamaan lebih menekankan pada pendalaman spritual yang secara eksistensi bisa kita lihat dari ritual religiusitas.
A. Memahami Agama, dan Mengapa Kita Beragama?
Ledakan Revolusi Industri yang terjadi di Barat telah memantik pemikiran dan gagasan tentang pembebasan manusia dari agama. Sebagian kelompok beranggapan bahwa alih-alih mendewakan agama sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan serta memenuhi segala keinginan dan hajat manusia, mereka memilih sains dan industri sebagai solusi dan way out baginya. Bahkan pada tingkat kulminasinya, sebagaimana yang dikukuhkan oleh Karl Marx bahwa agama bagi manusia merupakan candu dan opium yang membuat terlena mereka.
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian, adalagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks suci dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntutan, memang agama mengandung ajaran-ajaran dan tuntutan hidup bagi penganutnya.
Dari pemaparan diatas dapat kita katakan bahwa agama dengan perangkat ajarannya memiliki ikatan bagi penganutnya, sehingga subtansi kebenaran dalam hal ini harus dilihat dari segi universalnya. Karena diakui atau tidak semua agama secara garis besar menganjurkan penganutnya untuk saling menghormati, berlaku adil dalam hal apapun dan pantang akan penindasan. Garis universal inilah yang kami sebut sevagai penyikapan terhadap perbedaan yang dilandasi atas “rahmat” sehingga nuansa konflik mampu diminimalisir dari logika sederhana ini.
Melihat keragaman agama yang ada di Indonesia, jelas kiranya potensi konflik juga akan semakin besar. Sehingga untuk melakukan filtrasi atas fenomena ini diperlukan rekonsiliasi menyeluruh terhadap faham keagamaan terwacanakan yang terejawantah dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat yang semakin maju ini kesadaran akan hak-hak pribadi semakin kuat, sehingga munculnya diferensiasi pandangan, sikap, kehendak, ataupun kepentingan, menjadi tak terelakkan. Konflik merupakan ekspresi pertentangan yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan. Karena itu dalam kadar yang ringan, konflik bisa berupa perbedaan pendapat atau kehendak antara satu orang atau kelompok dengan orang atau kelompok lainnya.
Perbedaan tersebut diatas merupakan ekspresi dari kepercayaan yang dianut oleh individu maupun kelompok tertentu. Sehingga penyikapan perbedaan harus diarahkan pada sesuatu yang bersifat produktif, dari sini kemudian terbangun sebuah narasi besar terhadap perbedaan yang harus disikapi sebagai rahmat dari Tuhan dan tidak dengan konflik atau pertentangan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Persoalan ini merupakan konsekuensi logis dari masyarakat yang multi dimensi, sehingga pemetaan terhadap persoalan keagamaan yang bersifat sakral dan profan harus mampu difahami oleh masing-masing individu dan kelompok.
Pembicaraan tentang hajat manusia terhadap agama atau hajat agama terhadap manusia memang merupakan sebuah persoalan yang penting untuk dibahas. Mengapa agama sedemikian perlu bagi kehidupan manusia? Apa saja yang ditawarkan agama untuk melepaskan manusia dari segala alienasi dan patologi sosial yang semakin menggurita menghantam kehidupan bani Adam? Apakah manusia secara fitri adalah insan beragama? Ataukah manusia karena rasa gentar, dungu, faktor kemiskinan dan kebutuhannya terhadap etika memerlukan agama? Banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan di sini untuk melihat signifikansi persoalan agama pada diri manusia sebagai komplementer dari pertanyaan inti di atas yang diambil sebagai judul tulisan ini.
B. Agama dan Defisiensi Moralitas Terhadap Konflik antar Iman.
Masalah defisiensi moral sering menimbulkan kecemasan sosial karena eksesnya dapat menimbulkan gap generation sebab para generasi muda yang diharapkan sebagai kader-kader penerus menjadi calon-calon pemimpin bangsa (revitalising agent) banyak tergelincir dalam lumpur kehinaan. Persoalan ini disatu sisi menimbulkan pertanyaan, baru sejauh mana kemudian aspek domain faham keagamaan dalam diri sesorang guna tetap menjaga integrasi bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang agama dan etnis.
Defisiensi moral adalah kondisi individu yang hidupnya delingment (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan dan bertingkah laku asosial atau antisosial. Ciri-ciri orang yang mengalami defisiensi moral cenderung psikotis dan mengalami regresi, dengan penyimpangan-penyimpangan relasi kemanusiaan. Dalam arti yang lebih spesifik defisiensi moral sering kali menjadi tameng yang begitu kuat dalam setiap aktifitas pelanggaran nilai dan norma baik dalam masyarakat dan agama.
Pada masa pemerintahan Suharto, dunia Internasional selalu memuji Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, budaya, ras, golongan dan agama yang dapat hidup harmonis. Sejak bangku SD anak-anak telah ditanamkan betapa pentingya toleransi dalam kemajemukan. Namun pada kenyataannya di dalam benak sebagian besar umat beragama masih tersimpan benih-benih terciptanya konflik horizontal. Agama mungkin cuma salah satunya, sebab keragaman di negara ini bukan hanya keragaman agama. Namun, melihat berbagai konflik yang pernah terjadi, konflik yang berlatarbelakang agama merupakan konflik yang paling sulit dicarikan solusinya.
Jika dianalisa lebih jauh hampir sebagian konflik horizontal yang terjadi di negeri ini dilatarbelakangi oleh perbedaan agama. Sehingga persoalan pemahaman terhadap perbedaan iman tersebut harus senantiasa mendapat ruang yang cukup kondusif untuk saling berdialog. Dari sini kemudian perlu adanya pelembagaan moralitas publik untuk sedikit banyak memberi pemahaman atas perbedaan itu sendiri sehingga bentuk penyikapannya pun tidak akan berujung pada konflik yang bersifat horizontal dan berupaya menjadikan entitas bangsa berada pada dimensi disintegrasi.
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Dalam hal ini kemudian partisipasi politik tidak bisa dilepaskan guna memberikan legitimasi terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang diprediksi akan melahirkan konflik antar iman. Fungsi pelembagaan publik disini kemudian diharapkan mampu membuka ruang dialog yang inklusif antar agama dan dari situ akan lahir pola pemahaman terhadap perbedaan antar iman yang memang menjadi sub kultur perbedaan yang ada di Inonesia tentunya.
Rene Girard dalam bukunya La violence et le sacre (Mutiara, 1998) menggali ritus konflik (atau kekerasan) ini dalam masyarakat primitif berdasarkan mitologi Yunani dan Kitab suci Kristen. Ada beberapa ciri yang menandai ritus konflik, yaitu; (1) ritus konflik sering kali irasional. Jika obyek yang dituju tidak dapat diraih, ia akan mencari korban pengganti. Korban pengganti ini dipilih karena alasan mudah diserang dan jarak obyek itu dekat; (2) ritus konflik dilaksanakan untuk menjaga ekuilibrium sosial masyarakat dari kejahatannya; ini mendesak komunitas itu untuk mencari korban di luar dirinya. Antara korban substitutif dan komunitas ikatan sosialnya hilang, sehingga komunitas dapat menjadikannya korban tanpa ada perasaan takut akan adanya tindakan pembalasan. (3) hampir tidak ada diferensiasi antara korban binatang dan manusia, baik yang berjiwa atau yang tidak berjiwa, dan dalam banyak kasus yang satu disubstitusikan untuk yang lain. Semakin kronis krisis yang ada, semakin khusus ritus konflik yang diperlukan. Ritus konflik berfungsi mempolariasi agresivitas komunitas dan mengarahkan pada korban figuratif.
BAB II
MENYIKAPI KONFLIK ANTAR IMAN, DARI KONFRONTASI KE DIALOG
Telah dijelaskan diatas bahwa kebanyakan dari sekian banyak konflik horizontal yang terjadi di Indonesia sebagain besar dilatar belakangi oleh perbedaan pemahaman keagamaan yang simplistik, sehingga melahirkan fanatisme primordial yang berlebihan. Pemahaman yang demikian akan berimbas pada praktek kehidupan dalam interaksi sosial antar agama menjadi sesuatu yang bersifat eksklusif dimana klaim pembenaran memberikan legitimasi untuk melakukan justifikasi dan klaim bahwa tidak ada kebenaran diluar keyakinan yang diyakini oleh seseorang ataupun kelompok. Perihal ini seolah menjadi perisai alasan argumentatif dalam sekian banyak pemicu konflik yang terjadi.
Menurut Mark R Amstutz (1996), di samping konflik memiliki beberapa fungsi yang negatif, ternyata ia juga mempunyai sejumlah fungsi positif. Fungsi-fungsi negatifnya, di antaranya konflik akan bersifat destruktif bila telah bergerak ke arah yang menciptakan ketidak-tertiban dan instabilitas, menyulut persengketaan dan kekacauan, serta menjadi penghambat bagi tercapainya kebijakan dan pengambilan keputusan yang efisien. Sedangkan fungsi-fungsi positifnya, antara lain ialah bahwa konflik dapat menjadi pencegah bagi terjadinya konflik yang lebih serius, sebagai pemacu kreatifitas dan inovasi mayarakat, sarana mempererat kohesi sosial, dan merupakan alat saling kendali (mutual control) antar anggota masyarakat dan antara pemerintah dengan masyarakat yang diperintah.
Dari perspektif diatas kemudian peranan konflik memiliki sebuah acuan dasar yang memungkinkan terjadinya integrasi atas pemahaman terhadap perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu maupun kelompok. Karenanya, mencegah terjadinya konflik justru dinilai melestarikan kepincangan sosial. Karena memiliki fungsi ganda ini (negatif dan juga positif), maka tindakan yang harus dilakukan terhadap konflik biasanya sangat dipengaruhi oleh persepsi kultural masyarakat terhadap realitas sosial yang mereka idealkan. Persepsi kultural yang secara turun temurun diwarisi dari generasi ke generasi, baik tentang gotong royong, keagungan Tuhan, serta keselarasan dan hidup berdampingan. Sehingga penyikapan terhadap konflik cenderung akan dihindari, maka resolusi konflik disatu sisi menjadikan disintegrasi namun disisi lain memiliki upaya pemahaman akan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu dan kelompok yang memiliki kepercayaan dan keyakinan tertentu.
Konflik akan senantiasa menjadi bagian yang melekat terhadap keberlangsungan peradaban. Betapapun modernitas dan demokratisasi atau sosialisme juga entah apa pun ideologi yang dipedomani. Konflik, ternyata given dan laten. Dia ibaratnya virus. Tidak pernah musnah. Yang dapat dilakukan adalah mengelolanya agar jangan sampai meledak sebagi sebuah chaos sosial. Tetapi konflik menjadi menarik dibicarakan saat diterapkan dalam praksis agama. Sebab, tidak lain karena agama justru didesain bahkan diklaim sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, betul tidak seharusnya dijustifikasi langsung kepada agama itu sendiri. Melainkan kepada proses-proses keberagamaan pemeluknya.
Ahimsa (kekuatan cinta) atau “kekuatan nir-kekerasan” merupakan penghormatan kepada semua bentuk kehidupan. Ini adalah sebuah pandangan atau ajaran agama yang telah memiliki sejarah panjang dan bisa diartikan bahwa setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, harus menghindari kejahatan dengan menarik diri dari kehidupan dunia atau bahwa mereka harus berjuang memerangi kejahatan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik di dunia. Bagi Mahatma Ghandi, ahimsa bukan hanya sekedar tingkatan tidak melakukan penyerangan secara negatif, tetapi tingkatan cinta yang positif, berbuat baik bahkan kepada pelaku kejahatan sekalipun.
A. Multikulturalisme, Konflik dan Dialog: Refelksi tentang Hubungan antar Agama di Indonesia.
Sudah sejak lama keanekaan budaya Indonesia dikenal, diakui dan bahkan dikukuhkan. Pada masa kolonial Belanda keanekaan itu dikenali melalui studi-studi orientalime tentang aneka hukum adat yang ada di negeri ini. Kemudian dikukuhkan antara lain dalam pemberlakuannya untuk penyelesaian berbagai persoalan hukum tertentu diluar jangkauan hukum dan tidak terkait langsung dengan kepentingan penguasa kolonial. Keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui dan dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh yang berlaku hingga saat ini.
Kontak kultural dalam masyarakat senantiasa akan menimbulkan toleransi, pengakuan akan keberadaan sebuah kebudayaan yang terpisah, gagasan mengenai pluralisme. Hal ini dapat dipastikan akan membuahkan saling pengaruh, saling memperkaya antar budaya dan keragaman agama, gagasan mengenai multikulturalisme. Peristiwa yang demikian ini jarang sekali diungkapkan, tidak populer terutama akibat tertanamnya secara amat mendalam sebuah paham mengenai keagamaan sebagai sesuatu yang utuh, murni dan otonom. Padahal dengan gagasan multikulturalisme itu akan ditemukan kenyataan bahwa sebenarnya diri seseorang, diri suatu komunitas kebudayaan maupun agama, sebenarnya terbangun dari aneka budaya. Bahwa dalam diri kita hidup orang lain, didalam diri orang lain hidup diri kita, bahwa kita dan orang lain tak pernah terpisahkan, telah menjadi satu kesatuan.
Konflik harus dipertemukan dalam ruang dialog, dengan demikian pemahaman akan perbedaan yang memang menjadi ciri bangsa ini akan semakin konprehensif. Pemahaman yang komprehensif tersebut akan mengantarkan kita pada bentuk toleransi dalam konteks keragaman dan bukan keyakinan. Toleransi keragaman dalam makna tersebut adalah bentuk penghormatan individu ataupun kelompok atas perbedaan keyakinan, maka hubungan antar agama terletak pada hubungan manusia dengan sesamanya. Kerja kemanusiaan yang seperti inilah yang pada dasarnya menjadikan manusia akan saling mengerti terhadap sebuah pranata sosial keagamaan yang ada.
Bisa dipastikan bahwa semangat kebangsaan akan senantiasa dilandasi oleh kesadaran akan keberadaan latar belakang kebudayaan dan keagamaan yang beragam. Pengingkaran terhadap keragaman tersebut secara tidak langsung akan menjadi gesekan yang memicu konflik horizontal dari pemahaman vertikal atas postulat doktrinasi kebenaran agama. Dalam konteks ini konflik kemudian akan terarah pada chaos publik masyarakat Indonesia. Perbedaan iman tersebut juga harus dibarengi oleh peniscayaan akan keragaman agama, sehingga dari situ dapat melahirkan sebuah tesis awal yang mengarah pada sebuah argumentasi bahwa gesekan yang terjadi murni disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan bukan tuntutan atau ajaran dari agama tertentu untuk saling memusuhi.
Hubungan antara agama, Yahudi dan Kristen sejak abad pertama Masehi telah diwarnai oleh pertentangan bahkan penganiayaan. Umat Kristen yang masih kecil dikejar dan dicederai. Alasan utamanya bukan alasan ekonomi, politik atau sosial, melainkan semata karena alasan doktrin keagamaan yang berbeda. Kita mengenal gejala kekerasan semacam ini sebagai herecy hunting atau perburuan bidah. Begitu pula sebaliknya yang terjadi ketika agama Kristen pada abad keempat Masehi ditahbiskan menjadi agama resmi imperium Romawi. Balas dendam dari kalangan Kristen terhadap umat Yahudi pun terjadi dengan sengitnya. Munculnya agama Islam diabad ketujuh Masehi merupakan arena baru bagi persaingan dan konflik antara agama, khususnya antara Kristen dan Islam.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa peperangan diantara umat beragama anak-anak Ibrahim itu saja (belum meyebut “perang yang melibatkan agama yang lain”), kita sudah bisa menyimpulkan bahwa “perang agama” merupakan perang terpanjang diatas pentas sejarah umat manusia di dunia ini. Multikulturalisme dan konflik antar agama di Indonesia sebagai bagian integral dari sejarah sosial agama-agama dunia, tentu tidak akan merupakan pengecualian yang mencolok. Perseteruan antar agama, sebagaimana terlihat dalam sejarah, buku tidak ada tapak-tapaknya di negeri ini.
Pada dasarnya kehadiran berbagai upaya yang dialogis diantara para penganut agama dan negara secara sadar (care and aware) harus senantiasa menemukan cara agar akses beragama dapat dikelola dengan target mengoptimalkan janji agama sebagai petunjuk jalan damai. Bukan sebaliknya: kacau dan teror, disinilah fungsi dialog sebagai never ending procces guna melahirkan rekonsiliasi yang lebih mengutamakan subtansi dibanding simbol.
Di samping itu pula, agama dikenal sebagai lembaga yang paling lengkap (sering digambarkan sebagai waduk maha besar) yang mampu menampung dan menyimpan memori pengalaman manusiawi yang diwariskan turun temurun dalam keadaan yang asli. Kegandrungan kepada keaslian (obsesi kepada ortodoksi, atau obsesi konfesionalisme) merupakan salah satu watak agama. Orang beragama selalu cenderung berkelana ke masa lampau untuk mencari ilham, terkadang berarti bahwa membentuk masyarakat masa depan adalah mengembalikannya ke masa lampau. Orang beragama tidak bisa tidak akan mengacu kepada hal-hal yang telah lewat.
Memori kolektif yang kuat terpelihara dalam setiap agama, disadari atau tidak sering dilatarbelakangi oleh rasa takut, tidak percaya, kejerian, prasangka, dendam, kebencian, dan trauma terhadap pengalaman kekalahan yang pernah mereka alami di masa lampau. Oleh sebab itu, agama-agama harus menjadi pokok kajian kritis. Tidak bisa diandaikan bahwa semuanya baik-baik. Kaum agamawan harus berani mulai melakukan sikap kritis dari dan terhadap agamanya sendiri. Dari sini memang muncul suatu pertanyaan mendasar tentang “identitas” dalam masyarakat pluralistik.
Kesalihan personal dalam beberapa hal hanyalah merupakan bagian kecil dari agama. Namun ia adalah intinya. Karena dalam pengabdian personallah (apakah melalui ibadah-ibadah biasa atau yang lainnya) maka dimensi kosmik dimasuki. Dan ini membuat agama menjadi religius dan karena itu maka seluruh struktur sebuah komunitas religius akhirnya membenarkan dirinya. Karena itu, apa yang kita sebut kesalihan atau pengabdian personal memainkan suatu peranan kunci dalam peradaban sebagai sebuah keseluruhan, paling tidak dimana saja tradisi-tradisi religius merupakan hal yang penting. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan secara umum perubahan-perubahan dalam suasana hati dan gaya-gaya kesalihan saling tergantung secara lekat satu sama lain. Gaya-gaya kesalihan bahkan lebih rumit untuk dikaji ketimbang gaya-gaya seni, tetapi mungkin jauh lebih penting.
Jelas kemudian bahwa peranan agama harus juga mampu membentuk kesalihan individu dalam ruang lingkup kerja-kerja kemanusiaan. Hal sangat penting mengingat fungsi agama yang memiliki misi perdamaian, maka untuk mengakomodir refeleksi tersebut diatas membutuhkan sebuah diskurusus yang tidak parsial. Pemahaman akan keragaman yang menyeluruh akan membantu masyarakat dalam menentukan titik pijak penyikapan akan perbedaan itu sendiri.
Dialog antar agama harus didasari bahkan didahului oleh suatu dialog teologis demi untuk melakukan suatu kajian kritis terhadap diri sendiri. Langkah ini perlu dilakukan guna memisahkan harapan harapan dari ketakutan, agar tidak tercampur baur. Dan sesudah itu baru diikuti oleh dialog aksi. Sebenarnya kedua jenis dialog tersebut idealnya harus dilakukan serentak. Di satu pihak dialog teologis perlu dilakukan karena distorsi dan kesalahpahaman perlu diminimalisir, dan juga apresiasi perlu ditumbuhkan. Teologi harus dibebaskan dari traumatik hubungan manusia antar umat beragama, dan berani melangkah kearah hubungan yang lebih manusiawi. Perbedaan teologis kemudian menjadi sebuah pemahaman akan perbedaan masing-masing individu dan kelompok yang membutuhkan eksistensi.
B. Faktor-Faktor Penyebab Konflik
1. Eksklusifitas dari Pemimpin dan Penganut Agama.
Watak setiap pemeluk agama adalah bersikap eksklusif dalam melihat agama lain. Hal ini terlihat jelas pada agama Yahudi. Bagi mereka tidak ada Nabi setelah Nabi Musa. Segala jenis canon telah selesai tersurat dan tersusun 500 tahun sebelum Masehi sehingga yang datang kemudian tidak dapat diterima oleh mereka.
Inilah awal persengketaan agama, atau embrio permusuhan keagamaan yang lahir kemudian. Isa maupun Muhammad bagi mereka hanyalah sekedar tokoh sejarah, bukan tokoh spiritual. Walaupun demikian, evolusi pikir para pemikir dan tokoh agama mulai merasa perlu untuk meninggalkan sikap-sikap seperti ini.
Suatu dialog harus dimulai untuk mengakhiri pandangan-pandangan eksklusif sebagai pendiri agama Yahudi. Dengan demikian, doktin Katolik “extra eccelesiam nulla salus” (diluar gereja tidak ada keselamatan), bahkan “extra ecclesiam nullus propheta”(diluar gereja tidak ada nabi), ditarik sekaligus untuk membuka dialog-dialog serta sikap yang pluralistik. Dialog bukan ditujukan untuk mempersamakan suatu agama dengan yang lain.
Dalam proses berdialog, tujuannya bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena jika demikian maka dialog semacam itu sebagai sesuatu yang absurd dan lebih pada menghianati tradisi suatu agama. Yang diacari seetulnya untuk mendapatkan titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh agama kita sendiri. Dalam memahami agama lain hendaknya kita bersikap melihat apa adanaya. Pada dasarnya setiap agama mempunyai sisi-sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang sangat dibanggakan penganut suatu agama, serta akan menjadikan mereka tetap bertahan jika mereka mulai mencari dasar rasional keimanan mereka.
Agama merupakan suatu upaya manusia untuk membangun kosmos suci. Dengan kata lain agama adalah proses kosmisasi dalam cara yang suci. Disini berarti terdapat pengakuan adalanya kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan yang dikaitkan dengan manusia, yang diyakini berada dalam obyek tertentu (benda suci, tempat suci, manusia suci). Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi-sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan suatu keagungan atau kesalahan sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandang sekarang sebagai memalukan. Oleh sebab itu, suatu dialog selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal agama lain yang hendang dikomparasikan dengan realitas suatu agama baik yang agung, maupun yang memalukan. Dengan demikian kita terhindar dari penilaian standar ganda dalam melihat agama lain, yaiut karena membaca agama kita dengan sisi-sisi ideal dan mengkomparasikan agama lain dengan sisi real.
Mahatma Ghandi pernah berkata, “Aku adalah penganut kebenaran dari semua agama di dunia ini. Di bumi tidak akan pernah tercipta perdamaian yang abadi manakala kita tidak belajar menghormati – tidak hanya sekedar bertoleransi – keyakinan orang lain, sebagaimana kita menghormati agama yang kita anut. Belajar dengan penuh rasa hormat dan takzim mengenai petuah-petuah dari berbagai sosok guru ummat manusia merupakan langkah konkrit dari sikap penghormatan kepada semua agama.
Ungkapan diatas seolah ingin bertutur bahwa persoalan dialog merupakan kebutuhan primer ummat beragama. Jika kita myakini bahwa Tuhan maha kuasa, maha mengetahui, jangan-jangan Tuhan membahasakan dirinya kepada setiap agama dengan penyampaian yang berbeda dari kemaha esaan-Nya. Sehingga tidak ada ruang kemudian untuk saling menyalahkan.
2. Sikap Tertutup dan Saling Curiga antar Agama.
Agama yang sasarannya adalah menciptakan keserasian hidup antar hamba Tuhan. Tetapi dengan adanya ketertutupan dan saling mencurigai maka sasaran agama tidak mungkin tercapai.
Kita jarang mengangkat isu bahwa agama kita adalah agama satu-satunya yang bersumber dari Ibrahim dan berlanjut sampai sekarang ini melalui Musa, Isa dan Muhammad. Karena sikap saling curiga itu, maka setiap kegiatan suatu agama dianggap sebagai suatu ancaman bagi agama yang lain. Pendirian rumah ibadah yang sebenarnya harus dipandang sebagai suatu sumber kebaikan dan kemaslahatan, menjadi sumber sengketa dan pertentangan. Pendirian rumah ibadat dipandang sebagai suatu ekspansi yang merugikan agama lain.
Sejarah membuktikan bahwa manusia yang memeluk satu agama tidak menjamin menjadi sebagai komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan di antara sesama pemeluk yang satu nomenclature agama pun, di antara satu sekte dengan sekte lain, sampai yang berbeda agama, terbukti selalu dan potensial menciptakan konflik. Ada formula ironi sosiologis yang menyatakan, “di mana ada agama, di situ ada konflik”.
Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan disaat kekacauan; baik yang berkaitan dengan kekisruhan relasi sosial maupun nilai sedang terjadi. Agama datang untuk menyelesaikan masalah. Begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal munculnya dogma bahwa saat kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama Yahudi. Hal yang sama juga terjadi saat Islam turun, klaimnya adalah bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada.
Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain dengan agama lain (antara agama) adalah antara sesama penganutnya (interen agama). Anehnya, justru dengan alasan demi agama yang bersangkutan. Fakta tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten.
3. Agama yang adalah Tujuan Berubah Menjadi Alat, Realitas Menjadi Sekedar Kebijaksanaan.
Rumah ibadat, Masjid dan Gereja semisal beralih menjadi perlambang keangkuhan manusia. Tuhan bukan lagi menjadi tujuan peribadatan karena agama telah dijadikan alat untuk mencapai tujuan, maka agama bukan lagi suatu sarana untuk menghayati iman, tetapi semata-mata untuk mencapai kuantitas pemeluk dan alat pengembang kekuasaan.
Pada masa kementrian revolusi, Menteri Agama Rasjidi mengaskan bawa negara melalui Kementrian Agama tidak akan campur tangan dalam urusan agama. Kementrian Agama memberikan tempat yang sewajarnya kepada setiap yang ada di Indonesia. Penegasan ini dikemukakannya, melihat upaya menjawab usulan kalangan Katolik dan Protestan tentang perlunya pemisahan antara kekuasaan agama dan negara dan bahwa negara seharusnya tidak mencampuri urusan agama. Keterangan itu sekaligus “menenangkan” umat Kristiani, yang khawatir bahwa Kementrian Agama akan memberikan perhatian hanya kepada pengaunt agama Islam.
Penguasa sejak orde lama hingga orde baru, telah menjadikan agama sebagai alat pelurus kebijaksanaan. Budaya ini menurun sampai kepada lembaga-lembaga keagamaan. Sehingga wajar jikalau persoalan keagamaan disatu sisi membutuhkan legitimasi politik yang dimanifestasikan oleh kebijakan terhadap kebebasan akan pendapat keagamaan.
Karena tujuan agama telah terselewengkan, maka penyebaran agama pun terselewengkan dari membangun kualitas iman menjadi alat pengumpul dan pembangun kekuatan. Kita melihat seakan-akan Masjid dan Gereja bukan lagi menjadi tempat kita memuja Tuhan, tetapi tempat pujaan kekuasaan dan nafsu-nafsu. Para pemimpin agama tidak lagi beragama dengan agama Muhammad atau Isa. Agama mereka berlangsung sesuai dengan irama penguasa dan tuntutan nafsu. Akibat penghayatan dan perlakuan agama yang demikian ini, ialah manusia menjadi mudah terprofokasi yang akan berakhir dengan konflik berdarah.
Terjadinya konflik sosial yang berlindung di bawah bendera agama atau mengatas-namakan kepentingan agama, bukan merupakan justifikasi dari doktrin agama, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakjelasan hubungan antara agama dan kebudayaan. Telah banyak sarjana yang mengkaji hubungan antara agama dan kebudayaan. Pada satu sisi, agama selain sebagai sumber moral dan etika serta bersifat absolut juga bersifat a-historis. Pada sisi lain, agama juga bisa bersifat historis dan berubah menjadi sistem kebudayaan, yakni ketika wahyu agama direspon oleh manusia atau mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem kognisi manusia. Interest kognitif manusia itulah yang menyebabkan wahyu agama berubah sifatnya menjadi relatif dan profan.
Soedjatmoko (1984) mengakui bahwa agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat yang efektif, karena agama, lebih dari ideologi sekuler manapun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan sosial-kemasyarakatan). Karenanya, secara sosiologis, tampak ada korelasi positif antara agama dan integarsi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
BAB III
PENDIDIKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK, MENCEGAH AGAMA MENJADI PENYEBAR VIRUS KONFLIK SOSIAL
Pendidikan agama sebagai salah satu sub pendidikan Nasional yang diajarkan dari SD bahkan TK sampai perguruan tinggi tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek normatif maupun historisnya. Pendidikan agama sarat muatan normatif dan historis empsiris. Maka amat menarik untuk mengkaji ulang, mencermati meneliti, “paradigma”, “konsep” dan pemikiran pendidikan agama yang ditawarkan oleh kurikulum, silabus, literartur dan para pengajarnya di lapangan dalam era pluralitas. Lebih-lebih jika demikian dikaitkan dengan pencarian sebagian sumber atau akar-akar konflik dan kerusuhan sosial dalam masyarakat plural.
Sejauh mana secara historis, praktik pendidikan agama, sejak dari awal penyusunan kurikulum, silabi guru mapupun dosen, metode mengajar, pilihan buku wajib dan literatur yang digunakan, sumber dana penyelenggaraan sekolah, model penataran-penataran guru-guru agama, akses guru-guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut agama-agama di tanah air, dan begitu seterusnya perlu dicermati satu persatu.
Norma dan aturan agama yang diklaim sebagai yang bersumber dari “ilahi”, yang “suci”, yang “samawi”, yang “sakral”, yang “ultimate”, menjadikan agama mempunyai ciri yang spesifik dan unik, sekaligus membedakannya dari jenis-jenis pengalaman budaya dan sosial kemanusiaan yang lain. Dimungkinkannya truth claim (klaim kebenaran) yang biasa terjadi pada penganut agama-agama, sebagian bersumber dari apa yang disebut sebagai yang suci ini. Namun ketika yang disebut suci itu tadi diungkapkan dalam budaya tertentu (Arab, Cina, Indonesia), serta merta campur tangan budaya dan sosial tidak dapat dihindarkan sama sekali
A. Wajah Pendidikan Agama di Era Pluralisme
Kontestasi pendidikan formal yang semakin menunjukkan wajah kompetitif di era pluralistik seperti sekarang ini, seolah menjadi pemandangan yang kian hari semakin jelas dilema antara kebutuhan akan prospeknya dan penentuan titik pijak keragaman. Dari sini kemudian istilah agama warga negara muncul, sebagaimana istilah ini biasa digunakan merujuk secara khusus kepada agama pemersatu semacam itu. Agama warga negara memiliki rangkaian perlambangan sakralnya sendiri atau bendera kenegaraannya. Ia punya ”ibadah sendiri” seperti sumpah kesetiaan warga negara (the pledge of allegiance). Ia punya “kuil sendiri” seperti taman makam pahlawan. Punya keyakinan-keyakinan tersendiri seperti sejarah perjuangan bangsanya. Punya tokoh-tokoh sakralnya sendiri, seperti pahlawan-pahlawan perjuangan kemerdekaan. Dan punya peristiwa-peristiwa bersejarah yang dirayakan seperti hari pahlawan dan hari kemerdekaan.
Proses dialog antar umat beragama yang selama ini dimotori dan diprakarsai oleh pemerintah adalah kurang diikutsertakannya guru agama dalam proses dialog antar ummat beragama. Barangkali mereka dianggap tidak terlalu penting, tidak punya daya jual, terlalu rendah atau tidak kelasnya untuk diajak duduk bersama-sama untuk berdialog mendiskusikan persoalan pluralitas agama, dianggap tidak punya terlalu banyak umat, dianggap tidak mempunya peran strategis dalam mensosialisasikan ide-ide baru. Pandangan simplistik yang seperti ini, pada dasarnya menutup ruang dialog yang ingin dibangun untuk menjadikan pendidikan agama sebagai ruang diskusi dan berdialog.
Dialog antar ummat beragama secara terbatas hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi keagamaan, fungsionaris yang berwenang dalam lembaga-lembaga keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap terpandang. Sejak dari tokoh-tokoh elit, agama dari kalangan ulama, bhikku, pendeta, pastor sampai tokoh-tokoh pemuda, wanita, intelektual, mahasiswa dan begitu seterusnya. Namun, jarang sekali forum-forum dialog ini melibatkan guru-guru agama. Guru-guru agama sebagai ujung tombak pendidikan agama, dari TK hingga perguruan tinggi, nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar ummat beragama selama hampir 30 tahun terakhir.
Pada titik ini, keberagamaan menunjukkan identitasnya yang serba benar. Kebenaran agama yang dimaksdu bukan kebenaran yang bersifat membebaskan manusia dari belenggu, melainkan kebenaran yang sudah dikonstruksi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Konsekuensinya, kebenaran agama menjadi semakin sempit, yaitu kebenaran yang dipersepsikan sebagian orang, sekte, aliran dan mazhab. Dan realitas seperti ini, hampir menjadi karakter utama agama-agama samawi yang senantiasa berasumsi dengan premis-premiskebenaran yang bersifat absolut.
Pelembagaan pendidikan agama harus mampu memberikan akses yang seluas-luasnya kepada seluruh elemen masyarakat yang sebagian besar dimanifestasikan oleh organisasi dan perkumpulan. Dengan begitu peran pendidikan agama akan semakin memberi arti guna memberikan pemahaman yang cukup beragam akan latar belakang keberagamaan yang ada di Indonesia. Proses pencarian akan kebenaran akan berjalan secara terus menerus melalui pewacanaan yang masif akan pentinggnya efek pluralistik dalam pola interaksi sosial keagamaan. Pelibatan terhadap seluruh elemen masyarakat akan merepresentasikan keragaman yang mesti dihargai dalam kontelasi tradisi agama yang menunjukkan semangat pluralitas dalam sekian banyak aktifitasnya.
B. Mencari Suatu Model Pendidikan Agama yang Relevan dalam Masyarakat Majemuk.
Untuk mencapai model tersebut bahasan akan dimulai dengan mengkaji komponen kurikulum yang mencakup unsur metode mengajar, materi pelajaran, prasarana dan media mengajar bahkan landasan falsafah serta tujuan pembelajaran. Yang terakhir ini sebenarnya menjadi landasan dari seluruh proses belajar-mengajar, dari mana guru menentukan materi dan metode mengajar. Pertanyaan yang paling mendasar adalah: apakah dasar dan tujuan pendidikan, khususnya pendidikan agama? Tujuan pendidikan bermakna kultural, seperti kata Ki Hajar, dikembangkan oleh pewarisnya sehingga warisan itu berguna bagi kehidupannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan agama, harus memampukan seseorang bukan hanya mengenal agamanya tetapi mampu pula bertumbuh dalam imannya dan memberlakukan ajaran agama dalam kehidupan sehari-harinya, demi kehidupan yang sejahtera lahir dan batin bagi semua.
Pada dasarnya pendidikan juga harus mampu terarah pada penguatan sumber daya manusia yang kompetitif dan kualitatif. Sehingga bentuk penyikapan atas kemajemukan akan senantiasa terarah pada sebuah diskursus yang semakin membuat kita memahami akan peredaan itu sebagai rahmat Tuhan yang diberikan kepada hambaNya. Pendidikan pada level ini adalah pendidikan yang bersifat inklusif dan anti diskriminasi, sehingga aspek spritual etik dalam aktifitas pendidikan pun memberikan sebuah spirit baru guna menunjang semangan keberagamaannya.
Sasaran akhir dari pendidikan (agama) haruslah seorang pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan bersama yang lebih baik daripada masa lalu. Fungsi inilah yang secara mendasar harus dilandasi dalam proses transfer of knowledge yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya.
Kebahagiaan merupakan merupakan kondisi seorang makhluk rasional di dunia ini, yang didalam segenap eksistensinya segala hal berjalan menurut harapan dan kehendaknya. Jadi dia terletak pada harmoni sifat dasar penentu kehendak esensialnya. Dengan demikian, sebab tertinggi sifat dasar, selama manusia harus diasumsikan sebagai kebaikan tertinggi, adalah makhluk yang menjadi sebab (dan konsekuensinya adalah sang pencipta) sifat dasar melalui pemahaman dan kehendak, yaitu Tuhan. Konsekuensinya, dalil tentang kemungkinan adanya kebaikan turunan tertinggi (dunia terbaik) pada saat yang sama menjadi dalil bagi realitas kebaikan asli tertinggi, yaitu eksistensi Tuhan.
Tempat belajar demokrasi yang pertama seharusnya adalah kelas pelajaran agama, yang mengajarkan untuk menerima dan mengasihi sesama manusia sebagai bukti menghargai karya Tuhan yang maha tinggi. Dalam kelas, melalui pelajaran agama jugalah orang belajar mengenai hak dan tanggung jawab manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk karena saling tergantungnya manusia. Juga disitulah individu belajar tentang kuasa untuk melayani dan bukan mengeksploitasi atau memanipulasi untuk kepentingan sendiri , belajar untuk menghargai orang lain dan perbedaan masing-masing sebagai anugrah khusus dari Tuhan kepada setiap orang, untuk menghargai dan merawat bumi serta seluruh kekayaannya agar dinikmati secara merata oleh setiap orang dan zaman.
Untuk mencapai maksud itu maka metode yang digunakan oleh guru juga harus mampu membangun kepribadian yang demokratis, menumbuhkan jati diri yang berkualitas serta integritas tinggi. Harus diakui bahwa pendidikan di Indonesia penuh dnegan muatan politik para penguasa dengan tujuan agar sesuai maksud penguasan bukan demi pengembangan generasi muda itu sendiri. Guru diharapkan tidak mengajar tentang agama dengan gaya yang cenderung mengintrokdinasi tetapi guru dapat memberi pelajaran tentang iman dalam semangat religiusitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
BAB IV
KESUMPULAN DAN PENUTUP
Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa gejala konflik dan kerusuhan pada hakikatnya merupakan gejala sosial dan sejarah, yang secara universal baik pada masa lampau maupun yang terjadi pada masa kini. Konflik dan kerusuhan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk reaksi sosial terhadap proses-proses perubahan yang dihadapi oleh masyarakat pada jamannya, pada dasarnya menjadi sumber timbulnya ketidakpuasan, keresahan, dan frustrasi sosial yang mendorong lahirnya aksi protes, konflik dan kerusuhan sosial, yang banyak membawa korban dan kerugian materi yang tidak sedikit. Konflik, baik yang bersifat individual maupun yang massal, selalu muncul karena sebuah atau beberapa sebab yang timbul karena perjalanan dan perubahan peradaban manusia.
Konflik dan kerusuhan merupakan indikasi terjadinya krisis adaptasi -- baik individual maupun masyarakat-- dan atau ketidakmampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan yang dihadapi pada masa kini, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik maupun kultural masyarakat. Konflik dalam dimensi sosial budaya adalah hal yang alamiah, lumrah dan cenderung mengikuti hukum kausalitas, sebagaimana sebuah siklus yang tak pernah berakhir sepanjang sejarah manusia, sehingga untuk muncul kembali di masa yang akan datang sangat mungkin sekali terjadi bila hal-hal yang menyebabkan masalah (hukum sebab-akibat) dan pemicu kerusuhan tidak disingkirkan dari kehidupan sosial.
Dengan menjawab asumsi-asumsi dan hipotesa atas keberagamaan manusia maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat tidak beragama dalam kehidupannya. Agama yang akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan maknawi dan duniawi berkat aturan dan rule of game yang tegas dijelaskan dalam setiap ajaran agama. Melalui agama pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyangkut persoalan-persoalan eksistensial dapat terjawab dengan tuntas dan komprehensif dimana orang-orang yang kontra dengan keberadaan agama dan mencoba memberangus rasa keberagamaan itu dengan menyajikan industri dan sains. Namun manusia karena dalam dirinya mengandung dua dimensi, ragawi dan maknawi, kebutuhan dan dahaga maknawinya tidak akan dapat pernah dapat terpenuhi selain dengan perantara sesuatu yang trasendental. Oleh karena itu, jelaslah alasan ihwal mengapa kita beragama?
Demikian serangkaian uraian yang kami bingkai dalam tulisan sederhana ini, semoga menjadi sebuah sumbangsih diskursus dalam ranah intelektual. Dan tak lupa pula kami ucapkan puja dan uji syukur kehadirat Allah SWT, semoga limpahan rahmatnya senantiasa memberikan kita spirit untuk melakukan proses belajar secara terus menerus guna menambah khasanah keilmuan. Amin. Begitu juga kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah menjadi rifal berfikir dan berdiskusi dalam penyelesaian naskah ini. Semoga kerja-kerja intelektual yang kita lakukan mampu berguna untuk generasi selanjutanya.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. (2002). Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dear, John, (ed.). (2007). Intisari Ajaran Mahatma Ghandi: Spritualitas, Sosio-Politik dan Cinta Universal. Bandung: Penerbit Nusamedia.
F. O’Neill, William. (2001). Ideology-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hodgson, G. S. Marshall. (2002). The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Buku Kedua: Peradaban Khalifah Agung). Jakarta: Penerbit PARAMADINA.
Jusfroni, K. A. M. (2007). Mengritik Agama Sendiri, “Membela” yang Lain. Jakarta: Jusuf Roni Center dan Cipta Lahai Roi.
Kant, Immanuel. (2005). Kritik atas Akal Budi Praktis. Judul asli “Critique of Practical Reason”. The Liberal Arts Press, New York 1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholis. (2005). Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Penerbit PARAMADINA.
Mehta, Ved. (2007). Ajaran-Ajaran Mahatma Ghandi. Kesaksian dari Para Pengikut dan Musuh-Musuhnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. (2008). Islam, Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jilid I). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Ridha, Abu. A. Najiyulloh (Penyunting). (2002). Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya. Jakarta: Al-I’tishom.
Romas, Syarief, Chumaidi. (2003). Kekerasan di Kerajaan Surgawi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Th. Sumartana, dkk. (2005). Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei.
Langganan:
Postingan (Atom)