Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Minggu, 22 November 2009

“Poligami” antara Studi di Kampus dan Organisasi

Oleh: Taufiq Saifuddin

Dinamika kemahasiswaan selalu memiliki nuansa yang menarik untuk dibicarakan, sejarah perkembangan bangsa juga tidak bisa dilepaskan dari semangat revolusioner masyarakat kampus. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana kekuatan gagasan dan aksi mahasiswa dari masa ke masa mampu memberi kontribusi yang sangat signifikan untuk kemajuan negeri ini. Atmosfir intelektual yang terbangun melalui kelas perkuliahan dan kelompok-kelompok belajar dalam sebuah organisasi seolah menjadi dua mata rantai yang tidak bisa dipisahkan. Ruang kelas kemudian berfungsi sebagai penopang disiplin ilmu yang dipilih oleh seseorang dan organisasi menjadi ruang ekspresi pengembangan disiplin ilmu dan pengayaan pengetahuan. Sehingga menjadi keliru kemudian memisahkan dua elemen penting diatas dalam dunia kemahasiswaan.
Lantas bagaimana dengan realitas potret kehidupan aktifis hari ini? Lalu bagaimana pula dengan kondisi mahasiswa yang tidak aktif di organisasi atau dengan kata lain hanya menjalani kehidupan kampus dengan kuliah semata? Pertanyaan diatas pada dasarnya bersifat refelektif, sehingga membutuhkan analisis dan eksperimentasi yang tidak sederhana. Polarisasi dan tren mahasiswa masa kini harus dihadapkan pada sebuah konfigurasi tuntutan zaman yang tidak stagnan namun dinamis. Dimana mahasiswa sebagai agent of change, apapun kegiatannya harus mampu memberikan kontribusi positifnya terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Dapat kita lihat hari ini bahwa banyak juga diantara kaum aktifis yang tidak bisa dikatakan berprestasi secara akademik dikarenakan nilai perkuliahan yang anjlok, begitu juga sebaliknya banyak diatara mahasiswa yang tidak aktif di organisasi kurang mampu melakukan sosialisasi terhadap masyarakat dan kurang mampu mengemukakan gagasan di muka umum dikarenakan tidak memiliki pengalaman organisasi. Hal ini kemudian harus berjalan dengan sinergis, kelas perkuliahan kemudian memberikan ilmu pengetahuan yang kita cari dimana tranfer of knowledge dilakukan lalu organisasi berfungsi memberikan pengalaman leadhership dan bagaimana caranya mengemukakan pendapat dimuka umum.
Istilah “poligami” antara studi dan organisasi adalah nuansa penyeimbang yang mampu memberikan warna dalam kultur kemahasiswaan masa kini. Seorang mahasiswa yang progresif tidak hanya terjebak pada rutinitas kuliah an sich namun lebih dari itu ada hal yang sekiranya mampu dilakukan diluar kelas dan hal itu memungkinkan bila seseorang terlibat dalam organisasi. Satu hal yang mesti digaris bawahi bahwa untuk menjadi orang besar maka dibutuhkan pengalaman dan proses yang besar pula. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh di negeri ini adalah output dari kehidupan kemahasiswaan yang aktif kuliah dan memiliki pengalaman organisasi.
Telah jelas kemudian bahwa seorang mahasiswa progresif adalah mahasiswa yang mampu meneyimbangkan kegiatan intra dan ekstra kurikuler, disadari atau tidak banyak hal yang pada dasarnya tidak kita dapatkan di kelas namun bisa kita dapatkan di organisasi begitu juga sebaliknya ada hal yang tidak kita dapatkan di organisasi namun itu kita dapatkan di perkuliahan. Maka dari itu pola manajemen terhadap aktifitas semasa mahasiswa perlu dirumuskan secara sistematis dan terarah. Sehingga orientasi terhadap cita-cita masa depan dapat diraih dan digenggam melalui kerja keras (baca perjuangan) semasa menjalani kehidupan kemahasiswaan.
“Poligami” adalah sebuah alternaitif pilihan yang bisa ditempuh guna menopang potensi yang ada pada diri kita dan menjawab tantangan zaman. Kultur dan dinamika kemahasiswaan hari ini juga tidak bisa disandingkan maupun disamakan dengan semangat generasi terdahulu. Tantangan yang dihadapi oleh generasi terdahulu tentunya berbeda dengan tantangan yang dihadai oleh generasi kita hari ini, contoh yang sederhana semisal, hari ini kita dihadapkan pada kebijakan aktif kuliah 75%. Hal ini sebenarnya tidak harus dijadikan sebagai penghalang namun harus disikapi sebagai tantangan yang mesti dihadapi oleh generasi kita hari ini. Sehingga jatah 35% yang kita miliki harus mampu dimaksimalkan melalui organisasi, apapun model dan bentuknya.
Keseimbangan yang sinergis dan integral antara studi dan organisasi diharapkan mampu menjadikan kita sebagai komunitas pembaharu yang dilahirkan oleh bangku kuliah dan pengalaman organisasi. Tantangan zaman semakin hari akan semakin beragam sehingga pola antisipasi juga harus beragam untuk menjawab tantangan tersebut. Telah jelas kemudian bahwa tidak cukup hanya dengan kuliah dikelas saja untuk menopang potensi diri namun berorganisasi juga merupakan aspek yang harus diperhatikan. Sehingga perjalanan kehidupan kemahasiswaan kita mampu memberikan sesuatu yang berarti dimasa depan. Wallahu a’lam Bissawab.

Senin, 09 November 2009

Sastra Profetik, Mengenal Sastra dalam Kebudayaan Islam

Oleh : Taufiq Saifuddin

Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia dalam menyikapi realitas kehidupan dengan menggunakan bahasa symbol khususnya terjadi pada puisi, sajak, syair dan yang lain. Dalam sejarah perkembangan sastra merupakan ungkapan atas rasa yang terjadi pada manusia. Hal ini dapat dilukiskan dengan pengalaman religius orang-orang sufi dalam bercinta dengan kekasih-Nya. Ungkapan yang keluar merupakan suatu bentuk karya yang cukup dasyat didalam kehidupan, sebagaimana syair yang dikumandangkan oleh Rumi, Iqbal, Al Halaj dan yang lain.Sastra Indonesia yang sekarang banyak bercorak snab dan norak baik dalam pola ucapan atapun dari segi isinya.
Sastra yang demikian merupakan suatu bentuk sastra bukannya untuk meninggikan drajat kemanusiaan tetapi membawa pembaca pada pengumbaran jiwa manusia dengan ekspresi yang rendah. Oleh karena itu perlunya diimbangi dengan sastra yang bercorak lebih bagus secara makna dan isinya, yang berdasarkan pada nilai-nilai agama.Sastra yang bercorak pada nilai-nilai agama merupakan pengungkapan jiwa dan sarana untuk melakukan Ibadah pada Pencipta.
Sebagaimana sastra Islam merupakan sastra yang bersifat multi fungsi dimana bukan pengungkapan jiwa semata tetapi mengajarkan nilai-nilai transenden. Perkembangan sastra Islam dalam Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dunia tasawuf. Hal tersebut dikarenakan dalam ilmu tasauf di gambarkan pada wilayah esoteris bertemunya manusia dengan Penciptanya. Proses pengungkapan kalimat yang indah ketika manusia menyatu dengan Tuhan, dikarenakan pancaran Ilahi masuk kedalam hatinya. Persatuan yang terjadi pada orang sufi memunculkan suatu karya yang universal dan berada dalam genggaman orang-orang sufi.
Dalam konteks sejarah sastra Indonesia pengaruh sufi sangat kental, hal ini dapat dilihat dari sastra karya Hamzah Fansuri dan Abdul Hadi. Sebenarnya jika mau dilihat lebih jauh lagi menurut Kuntowijoyo semua sastra memiliki bobot transcendental dalam proses pengungkapannya karena dilihat dari teologis dan metafisis. Dalam kesastraan Indonesia sebenarnya ada dua macam kubu yakni sastra kemanusiaan dan sastra pembebasan.
Sastra profetik merupakan inspirasi dari Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal, dimana manusia memiliki sikap kebebasan apa yang menjadi pemimpin. Seni menjadi alat perubah dan pengerak realitas sosial dan seniman menjadi inspirator perubahan serta bagaimana menciptakan nuansa kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana unsur sastra yang bercorak profetik menurut pandangan Jalaludin Rumi dan Muhammad Iqbal, meliputi kebesaran makna Ilahiah, manusia merupakan mahluk yang merdeka dan kreatif, manusia menjadi khalifah dan melibatkan diri dalam proses sosial, sedangkan yang terkhir keseimbangan antara dimensi vertical dengan horizontal.

Saintifikasi Islam Vs Islamisasi Sains, Menemukan Relasi antara Islam dan Sains

Oleh: Taufiq Saifuddin

Sains dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya.
Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal - hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai - nilai keagamaan lainnya.
Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabian.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau positivistik.
Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam.
Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri.
Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik.
Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika).
Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek fisika.
Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi.
Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.
Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik).
Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika.

“Membaca Ulang Indonesia; Pergulatan Ideologi HMI dalam Mengisi Kemerdekaan”

Oleh: Taufiq Saifuddin

Secara harfiah (etimologi) makna Ideologi dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur mengenai bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial; asas haluan; pandangan hidup dunia (world view). Lebih jauh dalam kaitannya dengan konsepsi ke-HMI-an ideologi itu kemudian termaktub dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI, tanpa kemudian memposisikan NDP sebagai ideologi HMI. Secara mendasar ideologi HMI terarah pada hubungan relasional antara aspek normatif doktrin HMI yaitu, Beriman, Berilmu dan Beramal. Sehingga konklusi dari interpretasi tersebut diatas secara sederhana akan menemukan eksistensinya dalam tri komiteman HMI (Keislaman, Keindonesiaan dan Kemahasiswaan). Obyektifikasi dari eksistensi ideologis diatas kemudian terarah pada cita-cita HMI dalam misi organisasi (Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai oleh Allah SWT).
Di dalam komitmen Keislaman tersurat suatu kesetiaan untuk menjadikan Islam sebagai cara pandang sekaligus dasar perjuangan, dalam komitmen Kemahasiswaan tersurat suatu cita-cita adanya pengarus utamaan keilmuan di dalam gerakan HMI, sedangkan komitmen Keindonesiaan adalah etos pengintegrasian dari semangat pluralistik masyarakat Indonesia. Hal inilah secara sederhana menjadi tonggak dari karakteristik HMI dalam pergulatannya dengan berbagai organisasi kemahasiswaan yang lain.
Jika HMI adalah bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan, maka semangat ideologi harus pula secara integral terkoneksi dengan seluruh elemen masyarakat. Hal ini merupakan sebuah keharusan sejarah yang tersirat dalam semangat Keislaman-Keindonesiaan yang terwadahi oleh organisasi yang bernama HMI. Maka makna ideologi yang tepat untuk kita gunakan dalam hal ini harus memuat konsep, sikap dan aksi.
Untuk itu bentuk militansi ideologis kader haruslah juga memiliki muatan yang mengandung semangat perubahan didalamnya. Bagaimana dengan Indonesia kita? Sejarah lahirnya Negara bangsa ini awalnya hanya berupa ide dan gagasan yang didiskusikan dan dipikirkan oleh para mahasiswa baik mereka yang belajar di Hindia Belanda maupun mereka yang meuntut ilmu di Nedherlend. Berangkat dari kerangka itulah kemudian revitalisasi gerakan merupakan sebuah instumen awal guna menopang gerbong perubahan itu sendiri.
Aspek militansi ideologis secara pengertian memiliki makna semangat kenabian yang memiliki landasan dan tujuan, sehingga aspek ini merupakan sebuah kunci untuk menjadikan HMI sebagai ruang belajar alternatif dan ruang berjuang. Hal ini membutuhkan sebuah proses kaderisasi yang tidak sederhana, sehingga peran kader sangat menentukan guna menopang pembentukan karakter yang memiliki semangat kenabian seperti yang disebutkan diatas.

Jurnalisme Infotainment; Peran Media televisi dalam Pembentukan Karakter Ummat

Oleh: Taufiq Saifuddin

Setelah selama lebih dari 32 tahun dikekang, perkembangan sistem pers Indonesia mendapatkan suatu titik balik yaitu pada era reformasi, setelah keluarnya UU Pers no. 40 tahun 1999 yang dianggap sebagai UU Kebebasan Pers ini. Pers Indonesia seolah mengalamai euforia kebebasan memberikan aneka informasi pada publik. Demikian pula dengan publik yang biasanya harus mencuri-curi dengar informasi yang dulu dianggap tabu untuk dibicarakan, kini menjadi haus akan segala informasi.
Sistem pers yang kemudian dikenal sebagi sistem pers reformasi ini ditandai dengan kemerdekaan pers yang melahirkan suatu sub sistem pers bebas, pers independen, pers investigatif, pers infotainment, pers hiburan, pers kriminal, dan sebagainya. Yang paling menonjol adalah munculnya sub sistem pers infotainment, yang menampilkan acara berita dan informasi tentang selebritis yang dikenal sebagai program infotainment, salah satu produk media televisi yang paling banyak ditonton orang tetapi juga paling banyak dipermasalahkan. Infotainment sebenarnya muncul karena adanya tuntutan pemerintah agar televisi meningkatkan produksi program dalam negeri. Namun maraknya kemunculan infotainment juga akibat semakin tajamnya persaingan di antara stasiun televisi dalam meraih pasar, karena televisi hidup dari iklan, sementara porsi iklan yang ada sangat terbatas, dibandingkan dengan jumlah medianya. Jadi ketidak mampuan memproduksi tayangan dalam negeri dan adanya persaingan pasar, membuat stasiun televisi kurang selektif dalam memilih program acara.
Infotainment tumbuh dan mulai menguasai tayangan televisi Indonesia menggantikan arena gosip yang pernah marak. Sepintas memang tidak berbeda gosip dan infotainment. Bedanya, infotainment merupakan gosip yang dibuat melalui penelusuran atau investigasi. Dikaitkan dengan jurnalisme, tampaknya infotainmen merupakan spesifikasi baru. Lahir di Indonesia setelah dipromosikannya investigatif reporting yakni jurnalisme yang menganut paham pendalaman. Berita investigasi merupakan berita lengkap dari sebuah peristiwa sebagai hasil penelusuran wartawan. Biasanya berkaitan dengan korupsi. Karena itu tanpa pengetahuan jurnalistik yang memadai, investigation reporting bisa menghasilkan berita prasangka, berita yang mungkin saja melanggar asas praduga tak bersalah. Berita seperti itu diharamkan oleh Kode Etik Jurnalistik di (KEJ) dan Kode Etik Wartawan (KEWI).
Sedangkan infotainment merupakan analogi dari entertainmen yang bobotnya memang lebih ke arah hiburan. Biasanya berupa tayangan atau pemuatan tulisan/informasi yang berkaitan dengan kehidupan pribadi orang terkenal. Di negara Barat, terutama Inggris, hal itu biasa dilakukan koran kuning berbentuk tabloid. Justru berita eksklusif dari balik tembok istana itulah yang menjadi ciri khas tabloid. Di Indonesia dominasinya dipegang televisi.
Celakanya, program acara tentang pergunjingan sekitar rumah tangga para selebritis yang sarat dengan perselingkuhan, perceraian, perselisihan antara orang tua dan anak, dan lain-lain ini justru menyedot perhatian pemirsa. Lebih runyam lagi acara sejenis ini justru meraih rating yang tinggi, yang otomatis dapat mengeruk perolehan iklan yang besar untuk keuntungan perusahaan media televisi. Dari kondisi ini terjadilah “konspirasi” dari berbagai kepentingan antara produser, lembaga penyiaran, lembaga rating, dan pengiklan untuk saling menghidupi sekaligus mencetak keuntungan. Sehingga meski secara kualitas isinya tidak bisa dinilai baik, kolaborasi antara berbagai pihak itu tetap mempertahankan bahkan menggenjot jumlah serta jenis infotainment untuk makin bertambah, dan mengepung seluruh sisi kehidupan kita. Lantas dimanakah sisi tontonan yang menjadi tuntunan dapat kita peroleh?

“Menggugat Pendidikan Islam; Mencari Pola Tranformatif Pendidikan Islam yang Humanis”

Oleh: Taufiq Saifuddin

Apakah yang dapat kita pelajari dari masa krisis dewasa ini? Krisis menyeluruh yang telah membawa masyarakat dan bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan, bermula dari krisis moneter merambat menjadi krisis ekonomi dan berakhir kepada krisis kepercayaan. Para pemimpin masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah mengalami krisis kepercayaan masyarakat. Antara kelompok masyarakat terjadi salah pengertian bahkan saling curiga-mencurigai, saling tidak percaya. Bahkan gejala-gejala "SARA" telah mulai terbuka dalam masyarakat kita yang dapat membawa kepada disintegrasi nasional.
Berbagai praduga-praduga primordial dibesar-besarkan sehingga menambah krisis kepercayaan yang sedang merambah di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Para pengemban hukum diragukan integritasnya oleh kebanyakan anggota masyarakat. Supremasi hukum menjadi sirna karena sekelompok pemimpin atau penguasa berada di atas hukum. Dengan kata lain, krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa ini. Dan oleh karena pendidikan adalah merupakan proses pembudayaan maka krisis kebudayaan yang kita alami dewasa ini adalah pula merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang konkrit. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis, maka tugas tersebut merupakan suatu tugas pembangunan kembali kebudayaan kita. Pendidikan kita dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi semata-mata alat dari suatu orde ekonomi atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Lantas bagaimana dengan Pendidikan Islam kita? Telah mampukah pendidikan Islam menjadi sebuah alternatif yang humanis guna menunjang peradabannya? Persoalan ini merupakan sebuah hasil penalaran yang bersifat reflektif, secara sadar kita mampu menganalisis visualisasi pendidikan Islam dalam oprasionalnya seringkali berlaku tidak Islami. Hal ini kemudian dimanifestasikan oleh dunia pendidikan Islam yang secara representatif mewakili corak daripada pendidikan Islam itu sendiri, praktek pendidikan sangat jauh dari esensi “Pendidikan Islam", yangn menurut Fazlur Rahman tidaklah memaksdukan perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah apa yang menurut Rahman sebagai "intelektualisme Islam".
Dari kerangka itulah kiranya Pendidikan Islam harus keluar dari kemapanannya, sehingga menggugat pendidikan Islam merupakan sebuah otokritik yang produktif guna membangun dimensi pendidikan Islam yang lebih transformatif dan humanis. Sejalan dengan itupula Intelektualisme Islam merupakan pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kreteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Sehingga pola dialektik pendidikan Islam terus berjalan dengan dinamis. Wallahu a’lam bissawab.