Oleh: Taufiq Saifuddin
Setelah selama lebih dari 32 tahun dikekang, perkembangan sistem pers Indonesia mendapatkan suatu titik balik yaitu pada era reformasi, setelah keluarnya UU Pers no. 40 tahun 1999 yang dianggap sebagai UU Kebebasan Pers ini. Pers Indonesia seolah mengalamai euforia kebebasan memberikan aneka informasi pada publik. Demikian pula dengan publik yang biasanya harus mencuri-curi dengar informasi yang dulu dianggap tabu untuk dibicarakan, kini menjadi haus akan segala informasi.
Sistem pers yang kemudian dikenal sebagi sistem pers reformasi ini ditandai dengan kemerdekaan pers yang melahirkan suatu sub sistem pers bebas, pers independen, pers investigatif, pers infotainment, pers hiburan, pers kriminal, dan sebagainya. Yang paling menonjol adalah munculnya sub sistem pers infotainment, yang menampilkan acara berita dan informasi tentang selebritis yang dikenal sebagai program infotainment, salah satu produk media televisi yang paling banyak ditonton orang tetapi juga paling banyak dipermasalahkan. Infotainment sebenarnya muncul karena adanya tuntutan pemerintah agar televisi meningkatkan produksi program dalam negeri. Namun maraknya kemunculan infotainment juga akibat semakin tajamnya persaingan di antara stasiun televisi dalam meraih pasar, karena televisi hidup dari iklan, sementara porsi iklan yang ada sangat terbatas, dibandingkan dengan jumlah medianya. Jadi ketidak mampuan memproduksi tayangan dalam negeri dan adanya persaingan pasar, membuat stasiun televisi kurang selektif dalam memilih program acara.
Infotainment tumbuh dan mulai menguasai tayangan televisi Indonesia menggantikan arena gosip yang pernah marak. Sepintas memang tidak berbeda gosip dan infotainment. Bedanya, infotainment merupakan gosip yang dibuat melalui penelusuran atau investigasi. Dikaitkan dengan jurnalisme, tampaknya infotainmen merupakan spesifikasi baru. Lahir di Indonesia setelah dipromosikannya investigatif reporting yakni jurnalisme yang menganut paham pendalaman. Berita investigasi merupakan berita lengkap dari sebuah peristiwa sebagai hasil penelusuran wartawan. Biasanya berkaitan dengan korupsi. Karena itu tanpa pengetahuan jurnalistik yang memadai, investigation reporting bisa menghasilkan berita prasangka, berita yang mungkin saja melanggar asas praduga tak bersalah. Berita seperti itu diharamkan oleh Kode Etik Jurnalistik di (KEJ) dan Kode Etik Wartawan (KEWI).
Sedangkan infotainment merupakan analogi dari entertainmen yang bobotnya memang lebih ke arah hiburan. Biasanya berupa tayangan atau pemuatan tulisan/informasi yang berkaitan dengan kehidupan pribadi orang terkenal. Di negara Barat, terutama Inggris, hal itu biasa dilakukan koran kuning berbentuk tabloid. Justru berita eksklusif dari balik tembok istana itulah yang menjadi ciri khas tabloid. Di Indonesia dominasinya dipegang televisi.
Celakanya, program acara tentang pergunjingan sekitar rumah tangga para selebritis yang sarat dengan perselingkuhan, perceraian, perselisihan antara orang tua dan anak, dan lain-lain ini justru menyedot perhatian pemirsa. Lebih runyam lagi acara sejenis ini justru meraih rating yang tinggi, yang otomatis dapat mengeruk perolehan iklan yang besar untuk keuntungan perusahaan media televisi. Dari kondisi ini terjadilah “konspirasi” dari berbagai kepentingan antara produser, lembaga penyiaran, lembaga rating, dan pengiklan untuk saling menghidupi sekaligus mencetak keuntungan. Sehingga meski secara kualitas isinya tidak bisa dinilai baik, kolaborasi antara berbagai pihak itu tetap mempertahankan bahkan menggenjot jumlah serta jenis infotainment untuk makin bertambah, dan mengepung seluruh sisi kehidupan kita. Lantas dimanakah sisi tontonan yang menjadi tuntunan dapat kita peroleh?
Senin, 09 November 2009
Jurnalisme Infotainment; Peran Media televisi dalam Pembentukan Karakter Ummat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar