oleh: Taufiq Saifuddin
BAB I
PENDAHULUAN
Membincang relasi antara Islam dan Negara dalam kaitannya dengan pergulatan politik di Indonesia, maka kita akan masuk pada sebuah skenario sejarah yang bersifat antagonistik. Perdebatan ini di mulai dari perbedaan cara pandang pendiri bangsa ini (tidak secara keseluruhan) yang mayoritas muslim. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara ini bercorak “Islam” atau “Nasionalis”. Konstruk kenegaraan pertama mengharuskan agar Islam, karena sifatnya yang holistik dan kenyataan bahwa agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, diakui dan diterima sebagai dasar idiologi negara. Tetapi atas pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosial-keagamaan bersifat majemuk, maka demi persatuan nasional konstruk kenegaraan kedua menghendaki agar Indonesia didasarkan atas Pancasila, sebuah idiologi yang sudah didekonfesionalisasi.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam. Kenyataan diatas menjadi sebuah histories cal approach dalam menerawang rentetan sejarah bangsa yang penuh dengan dinamika. Persoalan ini disadari atau tidak membentuk sebuah polemik perdebatan ideologis dalam pemahaman politik bangsa. Pengaruh tersebut juga menjadi catatan sejarah yang meski dilihat antara dua kekuatan besar diawal kemerdekaan yakni Islam dan Nasionalis.
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari'ah (pemilik syari'ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.
Semangat paradigma yang ingin mengintegrasikan antara Islam secara nilai dengan faham dan praktek Negara, haruslah mendapatkan tempat dalam pergulatan politik yang ada di Indonesia. Tidak hanya karena masyarakatnya mayoritas muslim namun diskursus ini adalah sebuah kontribusi positif guna memperkaya kahasanah dan etika dalam berpolitik.
Selama ini, terdapat tiga klasifikasi umat Islam dalam kaitannya dengan hubungan Islam dan tata negara. Pertama, yang berpendapat bahwa Islam bukankah sistem tentang hubungan manusia dan Tuhan saja seperti dalam pengertian Barat, namun Islam adalah suatu agama yang sempurna menyangkut pengaturan segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Tokoh aliran ini adalah Ali Abd. Al-Raziq dan Toha Husein. Ketiga, aliran yang berpendirian bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan yang ready for use akan tetapi Islam hanya menyediakan seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Aliran ini merupakan jalan penengah antara kedua aliran sebelumnya.
Dari beberapa perspektif diatas, telah jelas bahwa keterkaitan antara Islam dan Negara kemudian berintegrasi pada tataran nilai. Sehingga secara filosofis kita tidak dapat menemukan relasinya dalam pergulatan empirik yang bersifat obyektif. Karena relasinya yang bersifat nilai sehingga kemungkinan untuk memberlakukan sebuah bangunan ketata negaraan Islam akan menjadi sesuatu yang sangat sulit. Berbeda kemudian jika semangat nilai tadi di topang oleh sistem, sehingga corak hukum dan etika politik akan berkiblat pada ajaran Islam (baca Syari’at). Dengan demikian secara sederhana Islam dan Negara bukan berarti menjadikan sebuah negara dengan hukum Islam, namun lebih pada hubungan relasional.
A. Rumusan Masalah
Gagasan tentang relasi antara Islam dan Negara, sebenarnya telah menjadi sebuah diskursus sangat hangat yang menuai perdebatan sejak beberapa tahun belakangan. Dan hingga kini dalam percaturan perpolitikan di Indonesia wacana tersebut masih tetap survive dalam momentum tertentu. Hampir bisa diprediksi bahwa kehangatan dalam perdebatan ini akan muncul menjelang Pemilu, dimana keran percaturan politik yang direpresentasikan oleh partai kemudian menjadikan instumentasi gagasan melalui ideologi politik yaitu Islam dan Nasionalis.
Manusia adalah makhluk politik yaitu politik dalam arti kekuasaan. Pada hakikatnya sekecil apapun setiap orang selalu berhubungan dengan kekuasaan, baik kekuasaan dalam mengatur rumah tangga, masyarakat, maupun ditempat kerjanya. Anggapan bahwa politik merupakan faktor paling penting dan amat menentukan dalam kehidupan suatu negara, mungkin ada benarnya, karena politik atau kekuasaan menentukan kelangsungan hidup suatu negara.
Makalah sederhana ini berjudul “Dinamika Politik di Indonesia; Mencari Relasi antara Islam dan Negara”. Fokus ekplorasi kajiannya akan terarah pada diskurusus ideologi dan paradigma politik yang terjadi di Indonesia, baik dari peran gerakan mahasiswa Islam maupun organisasi kemasyarakatan yang berideologi Islam maupun Nasionalis. Sehingga diharapkan mampu membangun sebuah dialektika produktif dalam pergulatan kemahasiswaan dan umum.
Titik tekan yang akan coba kami elaborasi lebih pada wilayah relasi Islam sebagai sistem nilai dalam kaitannya dengan negara. Sehingga tidak terkesan wacana ini digulirkan guna mendirikan syariat Islam namun lebih pada transformasi nilai-nilai keislaman dalam kaitannya dengan negara. Sejauh mana universalisme Islam mampu menjadi sebuah solusi ditengah masyarakat yang multidimensi. Dimana nuansa etika dan estetika keislaman mampu memberikan warna dalam konstelasasi politik di Indonesia. Sehingga menjadi sebuah hal yang menarik ketika relasi antara Islam dan Negara menjadi sebuah diskursus paska pesta demokrasi yang telah diadakan di tahun 2009 ini.
Politik Islam merupakan hasil penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan prilaku politik (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap dan prilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam. Kemanusiaan dalam Pancasila bukanlah sekedar kemanusiaan, melainkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Mungkin mirip, namun belum tentu identik, dengan apa yang dinamakan Eric Fromm “sosialist humanism” (maksudnya bukan “capitalist humanism”). Dan kemanusiaan Pancasila itu, telah disinggung berporos pada prinsip persamaan umat manusia (egaliterianisme). Bentuk nyata dan terpenting dari egaliterianisme itu adalah prinsip equality membership, keanggotaan yang sama, tanpa diskriminasi dalam masyarakat.
Dalam pergulatan wacana relasi Islam dan Negara, persoalan ketatanegaraan juga menjadi sesuatu yang sangat penting untuk didialogkan. Sebab polemik antara khilafah disatu sisi dan konsep demokrasi disisi lain sebagai wahana membangun sebuah negara berperadaban juga menjadi perdebatan yang sangat hangat. Sehingga perlu dirumuskapan sebuah paradigma yang solutif guna menjawab persoalan ini. Dimana membangun sebuah sistem nilai dalam khasnah keislaman dan pola demokratisasi dalam rutinitas negara. Relasi itulah kiranya penting untuk dibingkai sedemikian rupa dalam makalah singkat ini.
B. Kerangka Teori
Perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi sebuah kedaulatan tidak bisa dilepaskan dari campur tangan perjuangan kaum muslim. Jika dianalisis lebih jauh pengaruh corak keislaman dalam peta politik Indonesia pasti akan lekat dengan yang namanya etika dalam berpolitik, sehingga sering kita jumpai dalam etimologi politik kata-kata “politik santun” semisal. Warna politik yang seperti ini tidak akan mampu kita temukan dalam praktek demokratisasi di Negara manapun. Karakteristik inilah yang bisa kita sebut sebagai kontribusi nilai-nilai keislaman dalam mewarnai pentas politik nasional.
Lebih lanjut, karena makalah ini berbicara pada relasi antara Islam dan Negara, maka titik tekan yang akan penulis angkat lebih pada perspektif transformasi nilai-nilai Islam dam rutinitas politik. Berangkat dari apa yang pernah ditorehkan Abdurrahman Wahid, bahwa salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi dikalangan lembaga dan kelompok keagamaan adalah perbedaan hakekat dasar dan nilai-nilai dasar yang dianut keduanya. Sebuah agama senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang diajarkan kitab sucinya. Ini berarti hanya ada satu jenis kebenaran yang dapat diterima sebuah agama, yaitu kebenaran ajarannya sendiri. Apalagi kalau hal-hal normatif itu dituangkan dalam bentuk hukum agama (baca Syari’ah) dalam Islam dan Hukum Kanon dikalangan gereja katolik. Hukum agama itu bersifat abadi, karena ia dilandaskan Kitab Suci yang abadi pula. Mengubah hukum agama berarti pula membatasi keabadian Kitab Suci, dan dengan sendirinya mengusik mutlaknya kebenaran yang dibawakan agama yang bersangkutan. Bahwa kaum muslimin berhasil mengembangkan teori hukum agama (ushul fiqh, legal theory) dan akidah hukum agama (qawa’idul fiqh, legal maxim) tidak menutup kenyataan bahwa antara syari’ah dan demokrasi memang terdapat perbedaan yang esensial.
Untuk menganalisis lebih jauh relasi antara Islam dan Negara, sangat dibutuhkan sebuah kerangka yang komprehensif serta mendalam guna mengeksplorasi sistem nilai yang ada dalam Islam itu sendiri. Langkah ini secara spesifik memang agak sulit namun secara global pendekatan yang kami gunakan tidak lepas daripada nilai-nilai Islam secara etika politik. Dari situ diharapkan mampu mengemukakan gagasan tentang hubungan relasional antar Islam sebagai nilai dan Negara sebagai faham demokrasi.
Dalam Islam, hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukum-hukumnya, yang mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur masyarakat. Bahkan kekuasaan terbatas (dalam arti sesuai kehendak Allah SWT dalam mendelegasikannya dengan manusia) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW dan para pelaksana hukum Islam sepeninggal beliau adalah anugerah Allah kepada mereka. Kapanpun Nabi menjelaskan permasalahan tertentu atau mengajarkan hukum tertentu, maka beliau melakukannya karena ketaatan beliau kepada hukum Allah.
Gagasan diatas adalah sebuah landasan normatif, yang bila dianalisis lebih jauh memiliki keterkaitan terhadap format pemerintahan yang inklusif terhadap semua umat manusia. Islam yang secara holistik mampu membangun sebuah dimensi etika politik telah berhasil memberikan kontribusi yang luar biasa dalam pola perpolitikan di Indonesia secara khusus dan dunia umumnya. Relasi antara Islam dan Negara juga ingin memposisikan Indonesia yang multi dimensi pada sebuah semangat kebersamaan serta senantiasa menyikapi perbedaan dengan “rahmat” bukan dengan “konflik”.
Demikianlah sepintas gambaran yang penulis tuangkan dalam pendahuluan ini yang dimanifestasikan dalam rumusan masalah dan kerangka teori. Dengan begitu semoga dapat membantu penulis dalam mengeksplorasi lebih dalam lagi pada bab selanjutnya. Serta yang paling penting pembaca dapat menangkap secara sistematis apa yang ingin kami sampaikan dalam makalah sederhana ini. Selanjutnya akan kami urai content makalah pada bab selanjutnya.
BAB II
TIPOLOGI PEMIKIRAN TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
A. Politik dalam Islam
Yang terpenting dalam memahami politik dari sudut Islam sekarang ini adalah mengenali adanya upaya untuk memisahkan salah satu cabang kehidupan manusia yang ada urusannya dengan penggunaan kekuasaan ini dari sudut konsepsi, teori, pandangan dan akhirnya praktek umat Islam. Umat Islam dalam kehidupan modern ini menjadi terasing dan alergi bahkan mengartikan salah politik atau institusi politik. Berpolitik, berpartai politik atau berkampanye dianggap sebagai sebuah tabu dan aneh dalam kehidupan seorang Muslim. Inilah yang menjadi tragedi dalam Umat Islam sehingga sifat Islam yang syumul menjadi terkucil mankala berbicara mengenai pentingnya tata kenegaraan baik para pejabat dan institusinya dilingkup Islam.
Untuk mengenal pemikiran yang menolak Islam dalam kancah politik, kita kenal apa yang disebut sekularisme. Inilah ajaran yang menekankan adanya pemisahan kehidupan dunia dan agama. Dengan kata lain berbicara politik di parlemen, berbicara Islam di mesjid. Dan tidak boleh terjadi sebaliknya atau tidak boleh terjadi bersama-sama di satu tempat. Apalagi berbicara nilai-nilai Islam dalam pemerintahan/birokrasi mungkin sesuatu yang bisa ditertawakan karena tidak wajar.
Al-Ghazali berpendapat bahwa Islam harus membangun kekuatan politik untuk meraih keberhasilan, sebagaimana revolusi Perancis dan Rusia. Dia mengatakan bahwa Rasulullah mengawali kiprahnya sebagai pendakwah dan mengakhirinya sebagai penguasa, (“ini terjadi pada diri nabi besar Muhammad SAW, yang merupakan narasumbernya Syari’ah, karena beliau memulai sebagai pendakwah, pemaklumat, dan penghimbau namun mengakhirinya sebagai penegak hukum dan penguasa. Kerasulannya berubah dari ‘dakwah’ menjadi ‘dawlah’ [Negara]). Harus digaris bawahi bahwa partisipasi politik ummat muslim Indonesia adalah sesuatu yang bersifat mutlak, namun memberlakukan sistem pemerintahan Islam adalah hal yang relatif. Hal inilah yang juga diarasa penting untuk kembali melakukan sebuah aktifitas ilmiah dalam kanca perpolitikan.
B. Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia
Diskursus maupun perdebatan mengenai penafsiran pancasila, telah menjadi perdebatan yang hangat dalam torehan sejarah negeri ini. Setidaknya pasca kemerdekaan wacana ini begitu hangat didiskusikan oleh akademisi, aktifis dan praktisi politik. Secara serius diawal kemerdekaan dua tokoh besar Indonesia yakni Sukarno dan Natsir memberdebatkan soal asaz negara Indonesia, apakah Islam atau Pancasila. Disisi inilah kemudian dampak daripada trandormasi nilai-nilai keislaman mulai kelihatan pada dinamika politik Indonesia. Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Islam dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan, dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam "waktu dekat".
Dari rentetan proposisi historis diatas, kemudian telah begitu jelasi bahwa persoalan politik kemudian hanya dapat dilekatkan secara nilai dan bangunan normatif dengan Islam. Sehingga perjalanan politik negeri ini selalu dilandasi pada semangat pancasila yang secara eksplisit telah mewakili berbagai ideologi besar pasca kemerdekaan termasuk Islam. Dan ini dibuktikan pada pembukaan UUD 45, nampak begitu jelas kontribusi ummat muslim pada proses perjuangan kemerdekaan.
Untuk kasus Indonesia, Bahtiar Effendy memetakan pola pemikiran Islam ke dalam dua corak pemikiran; yang pertama diwakili oleh para pemimpin dan aktivis Islam pada tahun 1950-an dan 1960-an, dan corak pemikiran generasi baru dan aktivis Islam. Para pendukung dari kedua corak pemikiran tersebut memiliki landasan teologis yang sama yaitu keyakinan akan watak holistik Islam, sebagaimana yang ditunjukkan dalam berbagai sumber utama Islam (antara lain Q.S. al-Nahl/16: 89), hanya saja dalam upaya memahami maksud watak holistik Islam terdapat perbedaan. Para pemimpin dan aktifis Islam Indonesia terdahulu memandang bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang temporal. Islam telah menyediakan bagi pemeluknya sebuah konsep negara atau sistem pemerintahan yang lengkap, bahkan sebagian mereka berpandangan bahwa negara pada hakekatnya merupakan bagian integral, atau perluasan dari Islam. Islam adalah agama sekaligus negara (al-Islām al-dīn wa al-dawlah), sehingga cukup dapat dimengerti bila mereka memperjuangkan dijadikan Islam sebagai dasar negara. Generasi baru pemikiran politik Islam tetap berkeyakinan benarnya pandangan mengenai watak Islam yang holistik Namun watak holistik Islam tidak serta merta mengharuskan pencampuran antara yang sakral (nilai-nilai Islam) dan yang profane (negara, organisasi politik, ideologi, dan sebagainya). Keduanya tidak harus ditempatkan pada tingkat yang sama. Meskipun Islam tidak mengakui gagasan pemisahan antara kedua wilayah itu, keduanya dapat dan bahkan harus dibedakan.
Buya Hamka berpandangan bahwa Islam adalah meliputi seluruh kegiatan hidup manusia. Islam tidak saja membahas masalah ibadah makhluk kepada Tuhannya, tidak pula hanya membahas tentang politik saja, yakni membahas hubungan antara seorang dengan masyarakat, Islam bukan pula hanya urusan ulama atau kepala-kepala agama. Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Pehamaman keislman seperti diatas adalah pemahaman terhadap Islam yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia (universalisme Islam). Sehingga selalu ada ruang dimana partisipasi politik ummat Islam dapat terejawantahkan.
C. Nasionalisme yang Islami
Semangat kebangsaan akan selalu lekat dengan spirit maupun etos daripada sumberdaya masyarakatnya. Dinamisasi politik hanya akan terealisasi jika ditopang oleh partisipasi masyarakat secara signifikan terus mendorong terciptanya sebuah tatanan demokrasi. Begitu juga ummat Islam Indonesia sebagai masyarakat muslim terbanyak di dunia jugapun telah mampu memberikan kontribusi dari pra kemerdekaan hingga fase mengisi kemerdekaan itu sendiri. Proses kolonialisasi yang berlangsung selama masa penjajahan telah melahirkan pola kehidupan masyarakat yang timpang dimana distribusi kesejahteraan tidak berlangsung dengan maksimal. Lalu dengan begitu kuatnya sekian banyak revolusi komunis yang terjadi di eropa kemudian menjadi stimulan yang juga masuk ke Indonesia. Namun dalam hal ini komunisme juga tidak mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan.
Partisipasi politik tidak harus dimaknai pada seni perebutan kekuasaan semata dalam kontestasi pemilu, namun lebih dari itu nalar keislaman dan keindonesiaan adalah atmosfir intelektual yang memiliki ruang praktek sangat luar biasa. Disinilah peran kaum muslim di Indonesia bergulat dengan segenap kekuatan holistik yang dimilikinya. Sebenarnya dari segi jumlah, tidak ada yang harus dirisaukan ladi tentang masa depan Islam di Indoneisa. Sensus penduduka tahun 2000 mencatat bahwa jumlah umat Islam di negeri in berada pada angka 88,22%, sebuah presentase yang tinggi sekali.
Aspek kuantitatif diatas secara sepihak bisa dijadikan sebagai sebuah landasan bahwa masa depan Indonesia adalah masa depan ummat Islam. Namun disisi lain aspek diatas juga tidak bisa dijadikan sebagai parameter keberhasilan tanpa ditopang kekuatan sumberdaya manusia yang memadai. Hampir semua konflik horizontal di negeri ini terjadi ditubuh Islam itu sendiri. Hal ini kemudian harus dijadikan otokritik untuk membangun sebuah dinamisasi bukan dominasi. Dengan demikian persoalan yang erat kaitannya dengan perbedaan akan selalu disikapi sebagai rahmat bukan konflik. Titik persentuhan antara Islam dan Negara sebenarnya telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dibawah naungan demokrasi.
Para pendiri bangsa ini sadar bahwa didalam Pancasila tidak ada prisnsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama sebua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqashid al-syari’ah, yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat al-a’mmah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan subtansinya. Mereka memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil’alamin) dalam arti sebenarnya.
Mengutip tulisan Ahmad Wahib dalam catatannya tentang Pancasila sebagai pedoman bersama digambarkan bahwa, Pancasila itu adalah pedoman bersama. Pedoman bersma itu bisa hidup karena dia tegak diatas pedoman-pedoman pribadi yang ada. Pedoman pribadi merupakan penghubung antara kehidupan bersama dengan kehidupan pribadi. Pancasila dihubungkan dengna kehidupan pribadi oelah agama/ajaran. Pancasila ada karena ada agama atau ajaran yang hidup pada pribadi-pribadi manusia Indonesia. Dan bukan sebaliknya agama-agama atau ajaran-ajaran itu hidup dalam pribadi-pribadi karena adanya Pancasila. Pancasila timbul kemudian, Pancasila adalah bendera bersama.
Nasionalisme pada level relasi antara Islam dan Negara haruslah dilahat pada sebuah semangat kebersamaan yang kokoh dan tidak parsial. Corak keislaman dalam demokrasi merupakan dinamika dari partisipasi ummat Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, disinilah pentingnya nasionalitas agama/ajaran harus memiliki hubungan yang relasional dengan strukturasi pemerintah (baca institusi negara). Sehingga praktek kemaslahatan ummat dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia dengan karakteristi kontribusi dari nilai-nilai keislaman yang telah kamu sebutkan diatas.
BAB III
PEMIKIRAN KEISLAMAN-KEINDONESIAAN;
MENYATU DENGAN UMMAT, MENYATU DENGAN BANGSA
A. Pemberlakuan Hukum Islam antara Frustasi atau Kebutuhan
Telah dijelaskan pada bab terdahulu dari proposisi historis pergulatan politik di Indonesia peran ummat Muslim menjadi sebuah kontribusi yang memberikan arti terhadap proses menuju kemerdekaan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan kebangsaan tidak hanya dimaknai sebagai sebuah proses pemberlakuan Hukum Islam semata, namun harus mampu mengakomodir seluruh iklim demokratisasi sebagai kebutuhan normatif masyarakat indonesia.
Pada titik inilah kemudian relasi antara Islam dan Negara menjadi sebuah alternatif yang bersifat solutif untuk menjawab persoalan keummatan dan kebangsaan. Persoalan keummatan adalah bagian daripada persoalan kebangsaan, sehingga tidak ada dikotomi antara keduanya. Telah kami sebutkan diatas bahwa secara statistik populasi masyarakat muslim Indonesia mencapai 88%, indikasi ini merupakan sebuah parameter bahwa memperjuangkan hak-hak politik ummat Islam maka secara bersamaan perjuangan tersebut adalah bagian dari perjuangan politik rakyat Indonesia.
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La- diniyyah) dan paham agama (Diniyah). Pada posisi ini pendiri Negeri ini kemudian secara elegan mampu melakukan sebuah pola transformasi etika politik melalui nilai-nilai Islam. Dinamika ini kemudian menjadi diskursus politik secara teoritik dan menjadi pemberi warna dalam praktek politik yang mencerdaskan ummat dan masyarakat.
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan oleh Islam. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama. Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan ketiga, kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi bangsa Indonesia.
Semangat zaman merupakan sebuah dialektika peradaban yang akan selalu dinamis. Begitu juga dengan pola mengisi kemerdekaan Indonesia, pemaknaan terhadap Islam tidak selalu harus didudukkan pada sesuatu yang bersifat sakral semata (baca ritual keagamaan). Islam harus mampu menjadi bagian yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat Indonesia di segala lini lebih khusus kepentingan politik. Maka dari itu instumentasi paradigma keislaman-keindonesiaan menjadi sebuah alternatif pemikiran yang bisa menjadi wacana baru dalam dinamika politik di Indonesia.
Gagasan tentang kekuasaan pada setiap manusia sudah merupakan gagasan yang dapat dilihat dari proses dialektis pemikiran dan praksis kehidupan sehari-hari, disatu pihak dalam rangka mewujudkan adanya tertib bersama dan dilain pihak untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Oleh karena itu secara harfiah, kekuasaan adalah kemampuan transformasional yang dimiliki oleh manusia (Jarry & Jarry, 1994). David Nyberg (1981) menyatakan bahwa kekuasaan sebagai kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, selalu memaksakan dan mengendalikan orang lain hingga mereka taat dan selalu mencampuri kebebasan mereka, serta memaksakan tindakan-tindakan dengan cara-cara tertentu.
Makna kekuasaan diatas secara sosiologis kemudian dapat diasumsikan bahwa potensi politik itu jika digali lebih jauh terdapat dalam diri seorang manusia. Hasrat untuk menguasai atau berada diatas dari sesamanya, hal inilah yang sebenarnya juga harus ditopang oleh nilai-nilai keislaman sehingga persoalan politik tidak melulu dimaknai sebagai proses kekuasaan atau seni perebutan “kursi”. Termasuk usaha kearah keluhuran itu ialah meraih ilmu pengetahuan. Emosi menyangkut kemampuan membuat pilihan baik dan buruk. Serta dasar pilihan itu antara lain ialah pengetahuan tentang kenyataan sekeliling. Inilah keunggulan Adam (manusia) atas para Malaikat, yang kelebihan itu diketahuai Allah SWT namun tidak diketahui oleh para Malaikat. Atas adanya keunggulan itu maka Allah SWT memerintahkan seluruh malaikat untuk bersujud kepada Adam.
Unsur dimensi kekuasaan yang dimiliki oleh Adam diatas adalah dimensi Fitrawi dalam diri manusia sehingga secara politik aspek kekuasaan itu menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. Hal ini metupakan kecendrungan manusia kepada kebenaran itu sendiri, sehingga aspek kebenaran itu ketika bersentuhan dengan hal-hal yang berbau politik selalu bergandengan dengan nilai Islam.
Pemikiran keislaman-keindonesiaan adalah bagian dari dinamika sejarah intelektual Islam di Indonesia. Sejarah intelektual disini menyangkut soal hubungan antara apa yang dikatakan orang dan apa yang dilakukannya. Sejarah intelaktual, mencoba menilai sifat dan efek suatu ide yang menyebabkan manusia harus memberi penilaian terhadap persoalan yang berlangsung dimasa lalu. Berangkat dari narasi tadi dapat dikemukakan bahwa perkembangan gagasan pemikiran keislaman-keindonesiaan adalah sebagai studi tentang hubungan antara yang pernah dikatakan dan dilakukan orang lain. Studi atas gagasan-gagasan yang sugestif dimasa lalu dapat memunculkan ide atau gagasan baru yang dirumuskan generasi yang datang kemudian, untuk memenuhi tuntutan kebutuhan manusia seperti dicita-citakan.
Secara sederhana pemikiran keislaman-keindonesiaan adalah usaha yang dilakukan secara terus menerus guna menemukan hubungan relasional antara Indonesia secara institusi (negara) dan Islam sebagai nilai. Sehingga cita-cita ummat dan bangsa mampu menjadi aspek penopang demokratisasi di Indonesia.
B. Relevansi Pemikiran Kislaman-Keindonesiaan dengan Intelektualitas Islam, dan Realitas Negara-Bangsa Indonesia.
Tradisi intelektual mengharuskan kita untuk kaya dalam hal ilmu pengetahuan, namun dari situ juga aspek pengamalan adalah titik dimana ilmu pengetahuan harus menemukan eksistensinya. Hal ini merupakan sebuah keharusan sejarah guna membangun peradaban masyarakat madani yang harmonis. Cita-cita tersebut hanya dapat terealisasi apabila ditopang oleh kekuatan masyarakat (people power) untuk mendorong dinamisasi politik yang kritis dan selalu dinamis. Realitas kebangsaan Indonesia memiliki kedekatan sejarah dengan pergulatan Intelektual ummat Islam, inilah modal dimana relasi keduanya dapat memberikan kontribusi positif.
Kebangkitan Islam yang baru-baru ini melanda sebagian besar negara-negara Muslim telah menimblukan ketegangan-ketegangan dan ideologi-ideologi yang saling bertentangan menyangkut Islam mana dan Islam siapa yang merupakan Islam yang benar. Persoalan ini secara sadar maupun tidak juga melanda Indonesia, kita kemudian kesulitan dalam menemukan Islam diantara faham keislaman yang ada. Hal ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh ummat secara spesifik dan masyarakat pada umumnya. Arus kekuatan ideologi Islam begitu mengemuka sehingga pada prakteknya sering menemukan ruang dimana konflik horizonatal dapat terjadi.
Dalam beerapa kasus, terutama di Indonesia yang telah didirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam sendiri, yang berbeda dengan sekolah-sekolah negeri yang disponsori pemerintah penjajah. Secara bergantian, mereka mengirim anak mereka (kebanyakan laki-laki) ke sekolah-sekolah sekuler “umum” di pagi haridan ketempat-tempat pengajaran Islam di sore atau petang hari. Dalam semua gerakan pembebasan melawan kekuasaan penjajah, konsep Islam tentang jihad sangat diandalkan untuk membangkitkan sentimen rakyat umum melawan penguasa-penguasa asing.
Dari aspek pendidikan saja seperti yang dikemukakan diatas bahwa ada sebuah counter hegemoni yang telah diciptakan oleh ummat Islam guna melakukan perlawanan terhadap pola kolonialisasi yang dilakukan oleh penjajah. Dimensi ini merupakan langkah intelktual yang begitu luar biasa, bahwa persoalan apapun itu jika tidak ditopang oleh nilai-nilai keagamaan maka akan mudah melahirkan tirani. Wacana intelektual Islam harus menemukan eksistensinya ketika secara praksis bertemu dengan praktek kenegaraan. Disinialah pergulatan politik akan semakin memiliki dinamika yang produktif untuk membangun etos demokrasi.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kontribusi ummat Islam begitu besar dalam proses pemerdekaan Indonesia dan pasca kemerdekaan. Hal ini tidaklah melulu dijadikan sebagai romantisme yang hanya menarik untuk dikenang, namun lebih dari itu upaya untuk terus berbuat guna kemajuan bangsa adalah bentuk jihad yang sebenarnya dalam masyarakat kontemporer. Para politisi muslim memiliki kewajiban sejarah guna melanjutkan estafeta perjuangan pendahulunya, dan dimensi Islam sebagai niali dan Negara sebagai wadah demokrasi haruslah menjadi tonggak pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Sesungguhnya akidah itu menggambarkan pranata sosial, mencari dasar-dasar teoritis bagi sikap manusia; sedangkan ‘aqa’id bentuk jamak dari aqidah merupakan merupakan mediator yang menggerakkan masyarakat. Penggerak masyarakat itu sekaligus merupakan penggerak bagi kepentingan mayoritas yang membisu. Maka, akidah itu merupakan revolusi. Sebab itu, sejarah akidah merupakan bagian dari sejarah revolusi sosial, dan sejarah agama-agama merupakan bagian dari sejarah kemanusiaan. Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan sebuah kepercayaan yang membingkai keyakinan adalah hak asasi yang juga mesti diakomodir oleh institusi yang bernama negara. Aspek spritual dalam pemaknaan yang lebih luas merupakan dimensi praksis daripada hak politik ummat guna memberikan kontribusi kepada negaranya. Nasionalisme Islami ini membutuhkan nilai yang secara praksis memiliki eksistensi dalam rutinitas kemasyarakatan.
Realitas kebangsaan Indonesia yang multi dimensi, juga harus ditopang oleh kekuatan keilmuan masyarakatnya. Tidak terkecuali ummat Islam, kita dituntut untuk selalu menjadikan kekuatan intelektual sebagai kekuatan sumber daya guna membangun etos dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi itu sendiri merupakan bagian daripada usaha-usaha pemberdayaan hak-hak politik masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari proses demokratisasi yang telah dilalui.
Sejarah punya kisah heroik tentang Syarekat Islam (SI) yang menjadi satu-satunya partai kebangsaan yang kuat. Corak pergerakan yang menurut istilah Kuntowijoyo, berhasil mempertemukan pendekatan, integrasionis dan sistemik. Integrasionis, karena SI menyatu dengan perjuangan bangsa dan dinyatakan sistemik, karena SI mendekati masalah kemasyarakatan secara menyeluruh, sebagai sebuah sistem. Corak inilah inilah yang membuat SI menjadi gerakan politik yang meiliki akar dan dukungan yang kuat.
Manusia Indonesia yang mampu berdemokrasi akan menumbuhkan nilai kultur politik demokratis dalam masyarakatnya karena suara hati dan kemanusiaan itu menembus tapal batas negara-negara, lebih kosmopolitan dan lebih berbudayayang tidak lagi saatnya secara purbasangka mempertentangkan humanisme universal dengan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Pemikiran keislaman-keindonesiaan dalam realitas kebangsaan Indonesia memiliki peranan penting yang tidak hanya bersifat teoritik namun juga memiliki keuatan praksis. Hal ini adalah sebuah kekuatan paradigma yang mampu mendorong masyarakat yang lebih dinamis, progresif dan kritis. Kekuatan pengetahuan yang memiliki daya ubah guna menggerakkan masyarakat melalui transformasi nilai-nilai keislaman dalam berbangsa dan bernegara. Gagasan besar ini bila dielaborasi lebih jauh akan mampu menangkap semangat zaman, yang terus dinamis sehingga nilai-nilai Islam mampu memberikan warna bagi pergulatan politik di Indonesia.
BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa konklusi dari makalah sederhana yang menjadi buah karya ini, perlu dicatat bahwa relasi antara Islam dan Negara berada pada titik nilai. Aspek nilai yang sistematis mebingkai rutinitas politik di Indonesia, sehingga corak ini begitu mudah ditemukan dalam eksistensinya secara praksis di ruang politik. Sistem nilai tersebut melahirkan berbagai etika politik yang menyimbolkan budaya ketimuran masyakat Indonesia. Hal ini bisa diidentifikasi dari praktek politik yang dilakukan oleh politisi muslim Indonesia.
Tidak hanya secara normatif Islam mengajrkan ummatnya untuk saling menghargai, namun dalam praktek pergaulan masyarakat persoalan kesamaan hak dimuka hukum juga menjadi indikasi yang bisa dijadikan parameter bahwa Islam merupakan agama yang universal. Hal inilah yang secara relasional merupakan kunci daripada penciptaan sebuah tatanan masyarakat madani dalam sebuha negara.
Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama ataupun orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami metamorfosis di era reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah tidak dipasung lagi dalam berpolitik praktis seperti mendirikan partai Islam. Hal ini juga seharusnya menjadi pendorong stagnasi ummat Islam yang selama ini tertidur dalam romantisme kejayaannya.
Untk itu cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT, merupakan kerja keras yang selalu harus dikejar dan diimplementasikan oleh generasi intelektual muslim sejati. Ungkapan diatas tidak hanya sebatas simbolik namun relasi Islam dan Negara termaktub dalam cita-cita tersebut. Dua dimensi keislaman-keindonesian yang menjadi satu untuk membangun Indonesia yang lebih mandiri dan bermartabat.
Maka dari itu hubungan relasional tadi antara Islam dan Negara memiliki peranan penting secara teoritik maupun praksis. Bagimana membangun etika politik yang sehat dan saling menghargai, memaknai persaingan sebagai wahana dalam berlomba-lomba demi kebaikan. Hal inilah sebenarnya menjadi kekayaan politik di Indonesia.
Dengan demikian selaku penulis kami ucapkan beribu terima kasih kepada pihak penyenggara Lomba Karya Tulis dalam rangka Dies Natalis Fakultas Syari’ah yang begitu progresif melakukan agenda produktif ini. Begitu juga kepada teman-teman yang tidak mungkin kami ucapkan satu-persatu. Dan juga kepada bidadariku (Yuni Sasmita) yang selalu memberikan dukungannya baik dalam suka maupun duka. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat untuk kita semua.
Tugas kekhalifaan masih begitu panjang sehingga kami sangat membutuhkan kritik yang produktif untuk membangun sebuah diskursus bersifat dialogis. Masih begitu banyak kekurangan dalam penulisan naskah ini, sehingga ruang perbaikan sangat terbuka untuk kita semua saling memberi kritik dan saran. Semoga usaha ini mampu sedikit memberi kontribusi di tengah keterpurukan bangsa yang melanda negeri tercinta ini.
Terakhir, kami selaku penulis mengucapkan beribu-ribu maaf jika dalam penulisan naskah terdapat kata-kata yang tidak berkenan. Tiada maksud untuk mendekriditkan pihak manapun. Semoga karya ini mampu sedikit mendobrak kefakuman intelektual mahasiswa yang semakin terbelenggu oleh mekanisme pendidikannya sendiri. “Dunia-Akhirat kita Perjuangakan, Ilmu-Amal kita Laksanakan, Menuntut Bahagia Untuk Islam Mulia”. Yakin Usaha Sampai. Wallahu ‘alam bissawab.
DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari, Musa. NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan. Yogyakarta: LESFI, 2005.
Enginer, Ali, Asghar. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Hafidz, Muslim dan Kumba, Sukmono, Andi (ed.). Membatja Oelang Indonesia. Jakarta: PB HMI Periode 2006-2008, 2007.
Hefner, W Robert. Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Impluse-Kanisius, 2007.
Hanafi, Hasan. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003.
Kailani, Najib dan Mustafied, Muhammad. Islam dan Politik Kewarganegaraan. Yogyakarta: PT. LKiS, 2007.
Khomeini, Imam. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Madjid, Nurcholish. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997.
________________. Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2008.
Nata, Abuddin (ed.). Problematika Politik Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, 2002.
Prasetyo, Eko. Islam Kiri, Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana menuju Gerakan. Yogyakarta: Insist Press, 2002.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual. Jakrta: Penerbit Pustaka, 2005.
Romas, Syarief, Chumaidi. Kekerasan di Kerajaan Surgawi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Shobron, Sudarno dan Jinan Mutohharun. Islam, Masyarakat Madani, dan Demokrasi. Surakarta: Muhammadiyah Univescity Press, 1999.
Sitompul, Agussalim. Menyatu dengan Ummat, Menyatu dengan Bangsa; Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997). Jakarta: Logos, 2002.
Wahib, Ahmad. Catatan harian, Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES Indoneisa, 1995.
Rabu, 23 September 2009
"DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA; MENCARI RELASI ANTARA ISLAM DAN NEGARA"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar