oleh: Taufiq Saifuddin
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan inklusif (inclusive education) belum banyak menjadi perhatian dalam diskursus pendidikan. Padahal disadari atau tidak praktek diskriminasi selalu dekat dengan proses pendidikan formal. Tidak hanya dari segi akses untuk dijangkau bagi kalangan manapun, namun juga telah menjadikan banyak orang yang ter-eksklusi dari pola mainstream pendidikan yang ada. Maka fungsi dari pendidikan inklusif adalah mengarus utamakan gerakan pengetahuan sebagai wadah yang anti diskriminasi. Sebuah wadah yang mampu memposisikan siapapun sebagai “subject” untuk bersama-sama menumbuhkan ruang belajar bersama yang tentunya bisa diakses oleh siapapun.
Antara Ilmu dan Islam adalah dua entitas yang harus disatu padukan dalam menggerakkan dimensi pendidikan Islam itu sendiri. Spririt yang berada dalam pergulatan itu tentunya juga akan membawa kemaslahatan guna menopang peradaban keummatan. Sisi lain dari dimensi ini adalah menjadikan ruang belajar yang kondusif untuk kalangan manapun, bukan berarti menyamaratakan porsi dari masing-masing individu namun lebih pada upaya menjadikan pendidikan sebagai manifestasi dari tonggak sebuah peradaban.
Pendidikan Inklusif; Pendidikan yang Anti Diskriminasi
Telah dijelaskan diatas bahwa pendidikan inklusif belum mendapat posisi yang begitu menggairahkan dalam diskursus pendidikan. Sehingga parameter dari pola pendidikan ini belum mampu diobyektifikasi dalam prakteknya dilapangan. Fenomena pendidikan kita telah menjelma menjadi sesuatu yang selalu diukur melalui materi, artinya pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mahal. Baik dari segi fasilitasnya maupun kompetensi seorang tenaga pengajar akan dilihat pada sberapa besar penghasilan yang diperoleh.
Pendidikan inklusif harus difahami sebagai sebuah proses yang kontinyu, bukan sebagai sebuah upaya sekali jadi atau instan. Sudah cukup lama habitus sosial kita didasarkan pada kehidupan segregatif; antara yang normal dan selainnya. Ini membuat hampir semua kita hanya belajar dari separuh kehidupan, kehidupan yang sepenuhnya dikonstruksi oleh orang normal dan untuk memenuhi kepentingan mereka. Wilayah publik adalah wilayah yang hampir sepenuhnya dikuasai oleh orang normal. Tidak mengherankan jika selain yang normal, sulit untuk mengakses wilayah publik. Dalam konteks inilah perlu dimensi pendidikan inklusif disemua lini.
Jika pendidikan inklusif menjadi sebuah filtrasi terhadap proses diskriminasi dalam tubuh pendidikan formal, maka menjadi sebuah keniscayaan bahwa praktek pendidikan formal telah terjadi proses dehumanisasi. Taraf pendidikan seharusnya tidak dimaknai pada proses pencaraian pengetahuan yang ujung-ujungnya berbicara persoalan akan kemana para sarjana-sarjana setelah menyelesaikan studinya untuk mengadu nasib. Persoalan ini adalah sebuah dilema yang tentunya memerlukan perenungan dan penyelesaian cukup mendalam. Ada apa dengan dunia pendidikan yang selama ini mendidik generasinya?
Pertanyaan diatas cukup mendasar untuk menjadi sebuah refleksi yang harus dibangun guna menjawab sekian banyak persoalan yang silih berganti menerjang polarisasi dunia pendidikan kita. Maka dari itu perlu ada sebuah ruang dimana proses kontemplasi yang reflektif dan memiliki oroentsi harus dibangun. Ruang ini bisa kita maknai atau sebut saja limited group, dimana dinamika pengetahuan terbangun dari kesadaran orang-orang yang tertarik untuk mengikutinya. Tidak dipaksa oleh sistem atau mekanisme yang terkadang membuat kita kaku untuk menelurkan gagasan oleh karena “kode etik” yang tidak relevan dengan zaman sekarang ini.
Banyaknya orang yang ter-eksklusi dari model pendidikan yang ada seharusnya menjadi sebuah otokritik yang produktif untuk membangun sebuah dinamika pendidikan yang anti diskriminasi. Jika semua manusia memiliki potensi yang sama, maka akses untuk menikamati pendidikan juga seharusnya sama. Bukan membangun dikotomi antara yang “cerdas” dan “bodoh”. Pendidikan inklusif adalah dimensi dimana penciptaan sebuah proses belajar bersama haruslah memposisikan seluruh elemen sebagai subjek yang memiliki potensi untuk menjadi manusia seutuhnya (al-insan al-kamil).
Dinamika pendidikan inklusif haruslah dimaknai sebagai proses dimana siapapun berhak untuk mengeyam pendidikan yang sama dimulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Karena pada dasarnya pendidikan inklusif sangat politis dan ideologis, oleh karena itu komposisi keadilan harus mampu memposisikan orang-orang yang selama ini ter-eksklusi oleh mainstream pendidikan yang ada berada pada fase yang sama pula.
Menyingkap Relasi Pendidikan Formal dan Kekuasaan
Tidak bisa dipungkiri bahwa praktek pendidikan tidak bisa lepas dari persoalan politik. Dalam wilayah ini kita tidak boleh hanya memaknai politik sebagai seni perebutan kekuasaan semata. Makna yang terkandung disini adalah proses pendidikan yang seharusnya mampu mengawal sebuah penciptaan peradaban. Maka dari itu relasi antara pendidikan dan kekuasaan haruslah mengarah pada fase penciptaan sebuah masyarakat yang cerdas dan kritis terhadap fenomena sosialnya.
Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses alienasi dan dominasi; sedangkan pendidikan yang humanis adalah sebuah proyek utopia (dalam arti yang positif) untuk kaum tertindas dan terjajah. Jelas keduanya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo, atau untuk mengubah dunia secara radikal. Disini perlu ditegaskan lagi apa yang sebenarnya terjadi dan keterkaitan antara proses dehumanisasi dan pendidikan yang humanis. Sekali lagi, keduanya membutuhkan aksi sosial untuk menujaga atau memodifikasi realitas mereka masing-masing.
Dimensi kekuasaan sangat memiliki andil dalam perannya menciptakan pendidikan yang humanis. Ada sebuah loncatan budaya dalam kultur pendidikan Islam yang pada tataran mikro sungguh tidak terasa dampaknya, dimana para siswa tanpa sadar begitu menikmati suguhan fasilitas tanpa mau tahu sumber dari fasilitas pendidikan tersebut. Kita diarahkan pada etos kemapanan yang kian membelenggu nalar kritis mahasiswa. Mahasiswa sudah tidak merasa memiliki tanggung jawab lagi guna melakukan transformasi pada kehidupan sosialnya yaitu masyarakat. Sehingga nuansa elitisme semakin menjadi sebuah kebanggaan yang terpatri dalam predikatnya sebagai mahasiswa, bukan memposisikan masa kemahasiswaan sebagai ruang penyambung lidah masyarakat.
Pada titik kebijakan pendidikan, andil penguasa juga memiliki peran yang cukup signifikan, ini terlihat pada relasi hirarki yang mengikat sebuah perguruan tinggi. PTIN kemudian direpresentasikan oleh Departemen Agama, sedangkan PTIS kemudian direpresentasikan oleh yayasan dimana sebuah perguruan tinggi itu dibentuk. Disadari atau tidak kekuatan kapital juga sangat mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan, contoh kasus gedung bertingkat yang dijadikan tempat proses belajar mengajar juga diambil dari “utang” pada sebuah institusi baik nasional maupun internasional. Sehingga wajar jikalau beban untuk “melunasi” diemban oleh mahasiswa yang menuntut ilmu diperguruan tinggi tersebut.
Persoalan ini harus disikapi secara arif, bahwa perguruan tinggi juga harus memiliki independensi dalam penguatan basis keilmuan yang menjadi basic need daripada kebutuhan normatif masyarakat. Tidak melulu mendahulukan kemegahan yang pada dasarnya tidak memberi sumbangsi apa-apa dalam penciptaan sebuah karakter mahasiswa yang memiliki kepekaan dan kritis terhadap problem sosialnya. Disinilah kekuatan keilmuan menjadi spirit dan efek spiritual keislaman menjadi sebuah landasan nilai yang bisa menopang cita-cita humanis diatas.
BAB II
INKORPORASI WACANA KEISLAMAN DAN KEILMUAN KONTEMPORER
Disadari atau tidak diskursus pendidikan Islam selama ini sangat kental nuansa normatif-teologisnya dengan sedikit banyak melupakan aspek sosio-historisnya. Ini membuktikan bahwa dunia pendidikan Islam seharusnya tidak melepaskan diri dari persoalan-persoalan sosial masyarakat kontemporer. Pendidikan Islam juga harus mampu melakukan filtrasi terhadap arus globalisasi yang mengikis kearifan lokal. Sehingga hegemoni disegala bidang mampu sedikit demi sedikit terkikis dan dapat memberi sumbangsih yang berarti bagi bangsa dan Negara.
Pertemuan, pertentangan, kritik, perpaduan, penyempurnaan konsep, kompromi dan dialog antar berbagai kelompok pemahaman dan interpretasi keagamaan Islam, itulah yang sebenarnya merupakan lahan subur bagi penyusunan sistematika keilmuan yang dimiliki oleh berbagai kelompok penafsiran dan pemahaman tersebut. Menyatunya berbagai kompenen keilmuan, seperti obyek kajian, metodologi yang digunakan, pendekatan yang dipilih, serta sistematika yang disusun, pada gilirannya akan terabstraksikan dalam “teori” yang mendasari model berpikir keagamaan Islam.
Dalam diskursus wacana keislaman, cenderung kita masih sulit menemukan sebuah orientasi keilmuan yang secara konsen berbicara pada fase humanisasi. Corak keislaman senantiasa berada pada sebuah bentuk doktrinasi yang begitu eksklusif, sehingga kita kemudian kewalahan untuk melakukan sebuah upaya pengobyektifikasian sebuah persoalan yang secara eksplisit mampu menjawab persoalan masyarakat kontemporer dengan kultur modernnya. Disilah perlunya inkorporasi wacana keislaman dengan keilmuan kontemporer.
A. Perlunya “Gerakan Pengetahuan” Sebagai Basis Perubahan.
Telah dijelaskan diatas bahwa dalam diskursus pendidikan formal, masih terdapat elemen yang ter-eksklusi dari mainstream pendidikan yang ada. Dampak ini juga secara implisit banyak melahirkan sebuah dimensi pendidikan alternatif, yang secara eksistensi bisa kita lihat melalui limited group ataupun study club dibuat guna mengakomodir ketidak puasan pembelajaran yang ada di dunia pendidikan formal. Dimana disadari atau tidak, dari hari kehari semakin memasuki babak baru dimana pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang secara materi berkonotasi “mahal”.
Pendidikan yang pada dasarnya memiliki cita-cita humanis, ketika bersentuhan dengan kebijakan politik kemudian mengalami sebuah degradasi dari cita-cita humanis menuju komersialisasi pendidikan. Dilema ini adalah transisi yang amat bersifat subtansial, dimana out put pendidikan formal semakin jauh dengan masyarakatnya. Mahasiswa kini hanya disibukkan dengan aktifitas kuliah yang pada dasarnya secara terpaksa harus dilakukan guna memenuhi dan melaksanakan kebijakan pendidikan yang bila dianalisis lebih jauh sangat bertolak belakang dengan format kurikulum serta paradigma pendidikan yang dibangun oleh sebuah institusi pendidikan formal.
Gerakan pengetahuan pada dasarnya adalah sebuah ruang dimana ekspresi intelektual akan menemukan wadah yang secara aspiratif bisa menjadi alternatif dari pengayaan disiplin ilmu yang digeluti oleh masing-masing kita. Sebuah pengetahuan yang memiliki daya ubah dalam dimensi kemasyarakatan, pengetahuan yang menggerakkan serta tidak hanya bersifat normatif namun ada sebuah rekayasa sosial dalam sekian banyak aktifitasnya. Cita-cita ini pada dasarnya bertumpu pada ilmu pengetahuan sehingga peran generasi muda sangat memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam upaya pencapaiannya.
Bagaimana dengan Indonesia kita? Sejarah lahirnya Negara bangsa ini awalnya hanya berupa ide dan gagasan yang didiskusikan dan dipikirkan oleh para mahasiswa baik mereka yang belajar di Hindia Belanda maupun mereka yang meuntut ilmu di Nedherlend. Pembacaan terhadap praktek kolonialisme yang sangat tidak adil dan menyengsarakan rakyat memantik pikiran mereka untuk mewacanakan isu tentang kemerdekaan. Ide itu terus bergulir, membesar, dan disambut mereka yang akhirnya sadar bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang harus direbut. Dimasa demokrasi terpimpin perubahan sistem pemerintahan berkali-kali merupakan eksperimentasi untuk mencari bentuk yang paling tepat bagi Indonesia dimasa depan.
Sejarah daya ubah pengetahuan tidak berhenti sampai disitu saja. Pada dasawarsa 1960-an kelompok diskusi kecil yang dibawah bimbingan Mukti Ali bersama beberapa mahasiswa menggagas pembaharuan pemikiran Islam Indonesia yang lebih memberikan ruang lebar bagi ummat Islam untuk berperan aktif mewujudkan kondisi bangsa yang lebih baik. Pemikiran anak-anak muda itu banyak menerima cemooh, hujatan dan ancaman dari mereka yang merasa bahwa bangunan pengetahuannya terancam. Tetapi pikiran dan pengetahuan yang mereka suarakan itu tidak mati melainkan terus hidup dan menemukan momentumnya. Kini pikiran itu justru dijadikan sebagai landasan pijak untuk memperjuangkan umat Islam Indonesia. Apa yang menjadi pemikiran mereka terus hidup hingga hari ini, dibicarakan, didiskusikan dan dikembangkan.
Sebab itulah dalam Al-Qur’an Allah SWT bewrfirman “yarfa’illahul al-lazina amanu minkum wa al-lazina utu al-ilma darajaat” artinya; Allah akan mengangkat derajat mereka yang beriman dan mereka yang berpengetahuan. Dan “katakanlah, apa sama orang yang berpengetahuan dan yang tidak berpengetahuan”. Begitu juga dengan Hadis Nabi “Orang yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah orang yang berpengetahuan dan melakukan jihad”
B. Pengetahuan yang Berdaya Ubah.
Nah, pertanyaannya kemudian adalah, syarat-syarat apa saja yang diperlukan oleh sebuah pengetahuan agar memiliki daya ubah? Apakah semua pengetahuan meiliki daya ubah? Pengetahuan yang berdaya ubah adalah pengetahuan yang memiliki pengaruh terhadap subyek diluar dirinya. Subyek itu tentu saja beragam bentuknya, bisa mencakup individu, institusi, sistem, dan cakupan yang lebih luas lagi yaitu kultur masyarakat secara keseluruhan.
Sebuah potret masyarakat akan menunjukkan karakternya bila etos pendidikan terlihat pada dimensi keseluruhan kehidupan masyarakat itu sendiri. Maka menjadi niscaya kemudian akses untuk mengenyam pendidikan haruslah mampu dijangkau oleh elemen masyarakat manapun. Stigma yang muncul kemudian bahwa masyarakat kelas ekonomi kebawah tidak akan mungkin mendapatkan pendidikan yang layak, haruslah ditepis sehingga dikotomi kelas sosial tidak menjadi penghalang untuk menciptakan sebuah peradaban.
Ilmu yang telah digelar oleh Allah lewat ayat-ayatNya (qouliyah dan kauniyah) memang dipersiapkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi dorongan asasi manusia yaiutu keingintahuan (curiosity) terhadap segala realitas (realita). Menurut Ibnu Khaldun ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’I (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Secara teologis, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang merupakan implementasi fitrah keingintahuan itu pada hakekatnya proses identifikasi diri dengan asma’ al-husna “al-A’limu” (Allah Yang Maha Tahu). Dengan identifikasi diri tersebut berarti manusia telah mempersiapkan dirinya untuk menunaikan amanah kekhalifaannya.
Diterimanaya pengetahuan oleh seseorang mensyaratkan beberapa hal mendasar. Sejalan dengan ilmu pengetahuan yang melandaskan dirinya pada pengetahuan modern, maka pengetahuan itu harus seturut dengan postulat-postulat dan prinsip-prinsip ilmu modern. Ilmu kontemporer yang kini diakui sebagai pengetahuan itu dalam dunia akademis disebut dengan “ilmiah”. Ilmiah berarti mengikuti prasyarat-prasyarat akademis untuk dapat diterima sebagai pengetahuan yang benar secara akademis. Syarat akademis itu adalah rasional, obyektif, sistematis, logis dan konsisten. Tetapi ketika masih berbentuk wacana biasa maka syarat-syarat ini tidak berlaku secara ketat. Ia hanya dibutuhkan ketika pengetahuan itu masuk ke dalam dunia akademis dan masyarakat luas.
Pada dasarnya pengetahuan itu beresonasi atau menyentuh kondisi-kondisi obyektif yang terjadi dan dirasakan banyak orang. Sehingga pengetahuan ini memiliki daya panggil dan muatan perwakilan terhadap mereka yang mengalami kondisi obyektif itu sendiri. Dengan demikian maka pengetahuan itu akan membangkitkan pengaruh luas yang dirasakan masyarakat. Jika pengetahuan itu tidak berangkat dari kenyataan yang sesungguhnya maka ia hanya akan menjadi wacana elit yang dikonsumsi oleh kalangan terbatas saja karena tidak dapat dipahami dan dicerna oleh kalangan terbatas awam.
Hakekat dari gerakan intelektual adalah secara terus menerus melakukan apa yang diistilahkan dengan pengelolaan pengetahuan sebagai basis kuasa. Kewibawaan sebuah institusi pendidikan modern sekarang bukan lagi hanya terletak pada jumlah kuantitatif mahasiswanya yang banyak tetapi sejauh mana ia mampu mewarnai dan memberi arah pada perubahan itu sendiri. Pengelolaan pengetahuan itu hendaknya menjadi filosofi yang mendasari proses pendidikan Islam, baik pendidikan formal maupun pendidikan yang dilakukan pada level struktur pendidikan itu sendiri. Disinilah peran penting sturktur pendidikan yang diharuskan mampu menjadi supporting sistem menciptakan kondisi yang baik bagi berjalannya proses pengelolaan pengetahuan itu sendiri. Pengelolaan pengetahuan merupakan siklus hidup kerja-kerja intelektual seoarang mahasiswa yang konsisten dalam menguji pengetahuannya sendiri dengan realitas empirik yang nyata.
C. Siklus Pengelolaan Pengetahuan, Menuju Keilmuan Kontemporer.
Kehidupan kontemporer telah membawa sebuah keonsekuensi yang harus diterima juga oleh dunia pendidikan formal dalam format keilmuannya. Bachtiar Effendy pernah dengan tidak begitu optimis mengatakan dalam sebuah tulisannya bahwa sistem dan orientasi pendidikan yang ada dewasa ini dapat berperan sebagai salah satu faktor untuk menumbuhkan sikap menghargai terhadap realitas keberagaman masyarakat. Dalam situasi seperti ini, apalagi masih dalam suasana politik yang masih panas, pendekatan yang melibatkan elit agama untuk merumuskan posisi mereka (baca: agama) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik sehari-hari justru lebih relevan guna menciptakan kesepakatan-kesepakatan bersama. Terlalu banyak yang harus dibenahi untuk dapat menjadikan dunia pendidikan sebagai suatu push factor dalam membangun kesadaran masyarakat kontemporer akan pluralitas keagamaan mereka.
Kritik diatas sebenarnya bermuara pada sebuah realitas masyarakat kontemporer yang terkait dengan tanggung jawab keilmuan yang diemban oleh pendidikan agama yang lebih spesifik adalah pendidikan Islam. Transisi dunia pendidikan kemudian tidak mampu untuk menopang bergbagai degradasi keilmuan yang terjadi di masyarakat. Dampak ini secara mikro bisa kita lihat pada sejauh mana kesadaran politik masyarakat dalam proses pengambilan sebuah kebijakan. Disinilah pentingnya sebuah transformasi dunia pendidikan guna mencerdaskan generasinya.
Pengelolaan pengetahuan terdiri dari beberapa langkah satu dengan lainnya saling berhubungan secara erat.
Pertama, melihat dan mencatat kondisi obyektif. Hal ini hanya mungkin dilakukan ketika seorang mahasiswa diarahkan untuk memiliki lapangan uji pengetahuan. Sedangkan struktur pendidikan Islam menciptakan rekayasa tertentu untuk mendorong mahasiswanya melakukan pengumpulan pengetahuan dari realitas empirik. Sedangkan peran yang dimainkan oleh institusi pendidikan formal adalah menciptakan kehendak dan ekspektasi mahasiswa yang cenderung pada upaya akumulasi pengetahuan.
Kedua, pengelolaan data yang diperoleh dari pergulatannya dengan realitas empirik. Data-data tersebut adalah bagian penting dari proses internalisasi pengetahuan dan mendasarkannya pada kenyataan konkrit.
Ketiga, analisis. Tahap ini adalah fase dimana seorang mahasiswa mendialogkan kenyataan keyataan empiris dengan gugus pengetahuan yang telah terkodifikasi dan terdukementasi menjadi teori-teori yang bahkan diyakini sebagai ilmu dan arena itu diajarkan di perguruan tinggi. Pengujian ini adalah tahap penting untuk memberikan dimensi baru atau arah baru bagi pengembangan pengetahuan dan dialektika pemikiran.
Keempat, produksi pengetahuan. Ini adalah tahap dimana bangunan pengetahuan yang dihasilkan dari proses panjang itu didesiminasikan kepada semua pihak dan kelompok yang berkepentingan terhadapnya. Maka disinilah arti penting dari peran kaum intelektual yang dimainkan oleh mahasiswa Islam di masa mendatang. Akumulasi pengetahuan itu adalah modal yang sangat berguna bukan berarti “menyatukan” pengetahuan dalam sebuah diskursus namun lebih pada pengayaan dimensi keimuan keislaman yang sedang digeluti untuk memberi arah pada sebuah perubahan.
Proses pengelolaan ini akan berjalan maksimal jikalau ditopang oleh beberapa komunitas basis pengetahuan yang nantinya akan menunjang pengayaan dari keilmuan yang juga bisa dikaikan dengan kehidupan masyarakat kentemporer. Pada masa dahulu komunitas pengetahuan itu menjadi embrio bagi perubahan sosial dalam skala yang lebih besar. Cita-cita perubahan adalah anti terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).
BAB III
MENENTUKAN TITIK PIJAK SERTA BASIS PENGETAHUAN MENUJU PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF
Tujuan pendidikan secara menyeluruh adalah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan dan menyalurkan Kebenaran (yakni pengetahuan tentang makna dan nilai penting kehidupan mendasar). Menurut Ivor K. Devais, salah satu kecendrungan yang sering dilupakan adalah melupakan bahwa hakikat pembelajaran adalah belajarnya siswa dan bukan mengajarnya guru. Dalam hubungannya dengan pengelolaan pembelajara, Alvin C. Eurich menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru, sebagai berikut: (a) Segala sesuatu yang dipelajari oleh peserta didik, maka peserta didik harus mempelajarinya sendiri. (b) Setiap peserta didik yang belajar memiliki kecepatan masing-masing. (c) Seorang peserta didik akan belajar lebih banyak apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement. (d) Penguasaan secara penuh dari setip langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti. (e) Apabila peserta didik diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
Dimensi ini adalah sekelumit kecil daripada sebuah keniscayaan dunia pendidikan. Maka untuk lebih mematangkan ruang gerak mana saja yang perlu untuk dijadikan sebagai titik pijak akan sedikit kami rangkai dalam beberapa model gerakan pengetahuan.
Komunitas Basis Pengetahuan
Pengetahuan itu tidak dapat bertahan dan tidak dapat secara terus menerus dikembangkan ketika tidak didukung oleh komunitas pengetahuan. Pada masa dahulu komunitas pengetahuan itu adalah embrio bagi perubahan sosial dalam skala yang lebih besar. Cita-cita perubahan yang terbukti dalam sejarah justru dimainkan oleh komunitas-komunitas kecil yang menggali pengetahuan secara terus-menerus. Dalam bahasa Cak Nur adalah study club, kelompok kecil ini mampu mewarnai kelompok yang lebih besar diluar dirinya melalui pergulatan pengetahuan otoritatif yang menyentuh dimensi nyata realitas sosial.
Rukun Islam itu disamping aspeknya yang lain, juga memiliki nilai psikologis dan edukatif dalam meresapkan seluruh segi ajaran dan amalan-amalan Islam yang lain, yang individual maupun yang sosial, yang rohaniah maupun yang jasmaniyah. Karena itu saya cenderung untuk berkata bahwa rukun Islam itu merupakan sentral edukasi ajaran Islam yang karena itu pada prinsipnya tetap dan hanya memiliki variasi dalam pelaksanaannya. Mengatakan bahwa Islam itu agama universal hampir sama kedenganrannya dengan mengatakan bahwa bumi ini bulat. Hal itu terutama benar untuk masa-masa akhir ini, ketika ide dalam ungkapan itu sering dikemukakan orang, baik untuk sekedar bagian dari suatu apologia maupun pembahasan yang lebih sungguh-sungguh.
Telah jelas diatas bahwa relasi antara Islam dan Pendidikan memiliki ruang dinamika yang cukup mampu menjadi solusi ditengah masyarakat kontemporer yang kompleks akan persoalan sosialnya. Ranah pendidikan menjadi sebuah elemen untuk membangkitkan kembali sebuah diskursus keilmuan dan keislaman. Disinilah letak keterkaitan antara kebutuhan masyarakat kontemporer dan keilmuan keislaman guna meciptakan dunia pendidikan yang lebih inklusif.
Keteguhan komunitas pengetahuan dalam uji teoritis dan empirisnya secara sadar dan tidak sadar, langsung dan tidak langsung akan memberi dampak yang berpengaruh pada tiga matra sekaligus yaitu peningkatan kapasitas pribadi, mendukung disiplin akademis, dan memberi dampak positif pada kemajuan institusi pendidikan. Secara pribadi pengelolaan pengetahuan meningkatkan pengayaan pengetahuan individu yang semakin membeuka lebar daya jangkau pikiran dan ketajaman analisis sehingga tidak mudah berubah arah. Di wilayah akademis hal ini menjadi nilai tambah yang penting untuk mendukung proses pendalaman disiplin keilmuan yang digeluti.
Komunitas pengetahuan ini tidak harus didasarkan pada kesesuaian dengan disiplin ilmu masing-masing, melainkan juga dapat menjadi suatu panggilan batin dan sense of intellectuality seseorang. Artinya setiap mahasiswa dapat memilih konsentrasi jenis pengetahuan yang sesuai dengan minat dan keinginannya. Karena pengetahuan yang berangkat dari imperatif struktural seringkali tidak bertahan lama dalam kontinyiuitasnya karena tidak sesuai dengan panggilan batin individu. Tetapi concern pengetahuan yang berangkat dari keinginan pribadi dan panggilan batin seseorang akan memiliki daya tahan panjang. Isu-isu yang dimaksud sesuai dengan perkembangan respon institusi pendidikan terhadap realitas diluar dirinya.
Inklusifitas pendidikan Islam adalah jawaban dari sekian banyak persoalan keummatan yang selama ini menjerat ummat, yang tidak hanya secara sistemik namun juga akses untuk menikmati pendidikan itu sendiri. Semoga saja corak pendidikan yang seperti ini mampu menjawab persoalan yang ada. Dinamika dari pergulatannya harus juga memberikan sebuah transformasi yang sangat signifikan bagi pendidikan inklusif masyarakat.
Isu yang akan dijadikan sebagai pijakan dalam diskursus ini bisa mencakup tiga wilayah perjuangan pendidikan Islam itu sendiri. Tiga dimensi itu adalah keislaman/keummatan, kebangsaan dan kemahasiswaan. Tema-tema seperti demokrasi, HAM, gender, rule of law, pluralisme dan sebagainya dapat diambil titik pijak untuk mendorong gerakan komunitas pengetahuan. Semua ini merupakan perbincangan dan kajian tentang sistem-sistem yang mampu menopang peradaban manusia dalam kerangka menjaga living together (kehidupan bersama). Ultimate goal-nya (tujuan besarnya) adalah sesuai dengan apa yang dicita-citakan yaitu terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Dan masyarakat adil makmur itu sendiri berpijak pada keadilan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ekperimentasi Keilmuan Keislaman dan Berbagi Pengetahuan.
Kata “pengetahuan” (dalam bahasa Inggris knowledge) adalah kata benda yang berasal dari kata kerja “tahu” (to know) yang semakna dengan ‘mengetahui’. Sementara itu, kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab ‘alima-ya’lamu-‘ilm yang juga berarti “tahu” atau “mengetahui”. Menurut bahasa kata pengetahuan bisa bermakna sama dengan ilmu.
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan sebagai berikut. “Sungguh, tiada pernah berakhir pencarian pengetahuan baik melalui metode observasi (induksi) maupun deduksi. Menuntut ilmu merupakan keharusan bagi orang-orang Islam. Nabi Muhammad SAW telah bersabda bahwa seseorang yang berjihad menuntut ilmu (pengetahuan) lebih tinggi derajatnya atas orang yang senantiasa berdoa (dzikir), persis seperti tingginya derajat pengetahuan di sisi Allah atas Ibadah”. Pengetahuan atas sebuah ilmu pengetahuan hanya diketahui setelah mengetahui pengetahuan itu sendiri. Prinsip-prinsip, argumentasi-argumentasi, dan ketentuan-ketentuan persepsi sehingga memungkinkan untuk mendefinisikan kemungkinan-kemungkinan manusia dapat mengetahui atau tidak. Sehingga pengetahuan seseorang tidak ditegakkan pada kapabilitas minimal atau maksimal dari kapasitas indera dan rasionalnya.
Pengelolaan pengethauan merupakan suatu proses siklus, dimana output dari satu mata rantai proses menjadi input untuk proses berikutnya. Semua saling kait-mengait. Misalnya proses knowledge sharing yang dilakukan dengan kegiatan diskusi formal dalam sebuah kelas, merupakan out put dari suatu proses kajian kebutuhan atau adanya rekomendasi dari proses sebelumnya agar diadakan diskusi tersebut. Sedangkan diskusi formal tersebut tentunya menghasilkan beberapa poin-poin kesimpulan. Setiap poin kesimpulan dapat berupa informasi, kemudian informasi akan memerlukan internalisasi kepada masing-masing peserta didik. Setelah internalisasi tersebut maka muncullah beberapa ide baru atau pemahaman baru. Setiap ide baru memerlukan obyektifikasi yang nantinya memerlukan diskusi kembali. Semakin banyak ide baru yang muncul, memungkinkan inovasi yang semakin banyak, sehingga akan semakin meningkatkan daya saing.
Setidaknya ada tiga momen dalam proses membangun pengetahuan dalam pendidikan inklusif: (a) eksternalisasi (b) obyektifikasi (c) internalisasi. Eksternalisasi pengetahuan adalah proses dimana terjadi pertukaran pengetahuan personal, sehingga pengetahuan dikomunikasikan diantara peserta didik. Obyektifikasi pengetahuan adalah proses dimana pengetahuan menjadi realitas obyektif. Sedangkan internalisasi pengetahuan adalah proses dimana pengetahuan yang terobyektifikasi tersebut digunakan oleh personal dalam rangka sosialisasi mereka. Inovasi dihasilkan dari kombinasi pengetahuan personal, pengetahuan yang disharingkan oleh kelompok, dan pengetahuan institusi pendidikan formal. Ketiga proses tersebut juga menggambarkan 3 tipe sharing pengethauan yaitu knowledge exchange, knowledge retrieval, dan knowledge creation.
BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa abad ke tujuh belas menciptakan banyak rumah pengangguran; namun sedikit saja yang mengetahui bahwa lebih dari satu diantara seratus warga kota Paris menemukan diri mereka pernah dikurung didalamnya selama beberapa bulan. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa kekuatan absolute memakai letters de cachet dan tindakan memenjarakan sewenang-wenang; apa yang kurang diketahui adalah kesadaran peradilan yang menginspirasikan praktek-praktek tersebut.
Tercermin diatas bahwa sebuah pengetahuan adalah puncak daripada pencarian untuk menjawab sekian banyak kegelisahan. Wadah pendidikan formal adalah dimensi yang seharusnya menunjang cita-cita humanis guna menopang sebuah peradaban. Etos pendidikan Islam haruslah dihadapkan pada semangat zaman yang secara dinamis terus berganti. Maka dari itu peran kaum muda intelektual muslim menjadi sebuah media transformasi sosial dalam pencerdasan masyarakat madani.
Alur konstruksi berfikir akan selalu melekat pada ruang dan waktu dimana ia berada, sehingga harus ada keberpihakan yang jelas dalam demarkasi yang begitu pelik ini, keberpihakan yang begitu hakiki pada kaum mustadafin. Disinilah pentingnya gerakan pengetahuan dijadikan sebagai basis perubahan dalam sekian dimensi kehidupan masyarakat modern yang sangat dekat dengan arus produksi informasi yang menggejala disegala lini.
Pendidikan Islam yang inklusif tidak hanya dimaknai sebagai wahana pergulatan wacana semata. Lebih dari itu kontekstualisasi dari hasil penalaran haruslah menjamah wilayah mikro sosiologis masyarakat. Kekuatan pengetahuan yang diperkaya dalam wadah gerakan pengetahuan melalui komunitas-komunitas kecil akan menciptakan creative community yang diharapkan mampu mendobrak peradaban kontemporer melalui kekuatan keislaman yang terpadu dengan keilmuan.
Tentu saja naskah yang sederhana ini bukanlah sesuatu yang final atau sempurna. Gagasan ini harus terus berada dalam dialektika yang bersentuhan dengan kenyataan-kenyataan faktual dan kontekstual. Maka dari itu kritik dan saran sangat penulis harapkan guna kembali membangun budaya intelektual yang lebih produktif. Khasanah keislaman adalah modal yang harus terus digali, sehingga mampu memberikan sumbangsih yang berarti buat generasi selanjutnya.
Terakhir tidak lupa kami memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nyalah naskah ini mampu kami selesasikan. Ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang turut membantu penyusunan naskah sederhana ini, semoga semangat pengetahuan terus menjadi sesuatu yang berarti buat kita semua. Buat Himpunan Mahasiswa Islam teruslah berkarya dan berbuat untuk kebahagiaan ummat. Dunia-Akhirat kita perjuangkan, Ilmu-Amal kita laksanakan menuntut bahagia untuk Islam mulia. Wallahu a’lam bissawab. Yakin usaha sampai.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. (2006). Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Achmadi. (2008). Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Effendy, Bachtiar dalam Th. Sumartana, dkk. (2005). Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei.
Foucault, Michel. (2002). Kegilaan dan Peradaban, Madness and Civilization. yogyakarta: Ikon Teralitera.
F. O’Neill, William. (2001). Ideology-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paolo. (2007). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hanafi, Hasan. (2004). Islamologi 1: Dari Teologi Statis ke Anarkis. Diterjemakan dari buku “Dirasat Islamiyah, BAB I dan BAB II”: Yogyakarta: LKiS.
Khaldun, Ibnu. (cet. ke-6 2006). Mukaddimah Ibn Khaldul. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
Madjid, Nurcholish. (2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Nuryatno, M. Agus. (2008). Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Raharjo, Toto. et, al., (eds). (2005). Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Masour Fakih, Roem Topatimasang, Toto Raharjo/Penyunting – Russ Dilts/Kontributor. Yogyakarta: INSIST Press.
Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sutrisno. (2006). Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahib, Ahmad. (1995). Catatan harian, Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES Indoneisa.
Selasa, 11 Agustus 2009
GERAKAN PENGETAHUAN; PERPADUAN WACANA KEISLAMAN DAN KEILMUAN MENUJU PENDIDIKAN ISLAM YANG INKLUSIF
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar