HUBUNGAN KEMASYARAKATAN & UNIVERSALISME ISLAM
A. KATA PENGANTAR
Sebuah cerminan masyarakat akan mejadi parameter maju mundurnya sebuah peradaban jikalau itu ditopang oleh pola interaksi yang secara universal mampu saling memanusiakan. Dalam rutinitas keseharian seringkali konflik dalam tubuh komunal sebuah masyarakat seringkali dipicu oleh penempatan kata-kata yang menyinggung dan lain sebagainya atau sering kita sebut dengan kontrol lisan.
Islam menegakkan hubungan antara anggota masyarakatnya diatas dua pilar utamanya[1]:
Pertama, pemeliharaan ukhuwah (relasi sosial), yang ia merupakan ikatan yang kokoh antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain
Kedua, pemeliharaan hak dan kewajiban, serta kehormatan setiap individu, yang itu semua dilindungi oleh Islam; yakni darah, harga diri dan harta.
Dalam tulisan kecil ini yang kami bingkai lewat makalah, sedikit banyak akan kami urai konflik kemasyarakatan dan peran nilai-nilai Ke-Islaman sebagai mediator dari persoalan keummatan. Sebuah pola interaksi yang seringkali menjadikan goyahnya sebuah tatanan baik itu yang bersifat sakral maupun bersifata antropologis.
Ada sebuah keterkaitan antara iman dengan prinsip keadilan yang nampak jelas dalam berbagai pernyataan Kitab Suci, bahwa Tuhan adalah Maha Adil, dan bagi manusia perbuatan adil adalah tindakan persaksian untuk Tuhan. Karena itu menegakkan keadilan perbuatan yang paling mendekati taqwa atau keinsafan ke-Tuhanan dalam diri manusia. Polarisasi antara kekuatan keilmuan dan bingkai pengamalan akan meniscayakan bentuk pengabdian yang transendental antara manusia dan Tuhannya. Maka menjadi sebuah konsekuensi bahwa pola komunikasi yang arif adalah wujud dari sebuah usaha mengabdikan diri kepada-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat(10). Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim(11). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.(12)[2]
Diawal ayat-ayat tersebut diatas, Allah SWT. Menetapkan bahwa orang-orang mukmin adalah bersaudara. Mereka dihimpun oleh persaudaraan agama sekaligus ikatan kemanusiaan. Persaudaraan menuntut kita untuk saling mengenal dan tidak saling menzalimi; saling menyambung persaudaraan dan tidak saling memutuskan; saling merapatkan barisan dan tidak saling berjauhan; saling mencintai dan tidak saling membenci; saling bersatu dan tidak saling berselisih.
B. PENGETIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief).
Dhamier atau hati nurani adalah pemancar keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan manusia dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya. Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliyah yang kongkret. Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitri sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan. Hidup yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya. Dia diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan. Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah). Dia berpengalaman luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf. Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang menjadi milik dari pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan psikisnya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama umat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia adalah seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang suci dan murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan. Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
C. INTERAKSI SOSIAL DAN PLURALISME AGAMA.
Dalam serangkaian aktifitas masyarakat secara antropologis banyak pemicu konflik yang seringkali diakibat oleh sistematika interaksi antar individu sehingga bermuara pada penyelesaian konflik yang melibatkan senjata. Sebuah fenomena yang setiap hari menjadi suguhan publik. Tidak hanya melalui media massa, tapi ini kemudian ditopang relasi pendidikan kita dengan paradigma masyarakat. Maka tak jarang kita temukan adakanya ketrerasingan eksistensialis antara output pendidikan itu sendiri dengan masyarakatnya.
Memandang situasi masyarakat ndonesia diambang milenium ketiga, banyak orang merasa cemas. Tingkat kekerasan dalam masyarakat yang cukup tinggi,dalam tahun 1998 mencapai puncak baru. Banyak dan luasnya segala macam kerusuhan, perampasan, penjaeahan dan tindak kriminal lai, serta jumlah kematian akibat kejadian-kejadian tersebut itu suggung-sungguh memprihatinkan. Diantara kerusuhan-kerusuhan yang beraneka alasan dan arah itu, termasuk sejumlah kerusuhan dan tindak kekerasan yang jelas-jelas bernada permusuhan agama. [3]
Nampak jelas bahwa fungsi lisan dalam penempatannya bersama proses interaksi sosial menjadi peranan penting untuk kemudian diperhatikan secara seksama. Stigmatisasi masyarakat terhadap pola komunikasi yang selama ini dilakukan oleh orang-orang dalam dunia pendidikan sarat akan nuansa konstruksi sosial baru. Sehingga persoalan kemasyarakatan semakin tidak terjawab akan tetapi melambung jauh dan tenggelam bersama manuver-manuver ciptaan sistem.
Funsi dari kaum intelektual adalah menjadi penyambung lidah bagi masyarakatnya, bersama kampus seharusnya keterlibatan politik dari penalaran kritis bisa menjadi filtrasi terhadap camukan berbagai persoalan. Konfigurasi dari ikhtiar untuk mencapai sebuah tatanan yang lebih baik mewujudkan pncitraan terhadap paradigma masyarakat yang sering kali terjebak oleh tradisi.
Mengatakan bahwa Islam agama universal hampir sama kedengarannya dengan mengatakan bahwa bumi bulat. Hal itu terutama benar untuk masa-masa akhir ini, ketika ide dalam ungkapan itu sering dikemukakan orang, baik sekedar bagian dari apologia maupun untuk pembahasan yang lebih sungguh-sungguh. Yang pertama-tama menjadi sumber tentang universalisme islam adalah pengertian perkataan “Islam” itu sendiri. Sikap pasrah terhadap Tuhan tidak hanya merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri. Dengan kata lain ia diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia , sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh apalagi dipaksakan dari luar. Sikap keagamaan hasil paksaan dari luar adalah tidak otentik karena kehilangan dimensinya yang paling mendasardan mendalam, yaitu kemurnian atau keikhlasan.[4]
Sifat apatis atau tidak mau tau dengan sekelilingnya senantiasa akan menjadikan kita sebagai sosok manusia yang individualis sehingga fitrah kita sebagai manusia kemudian terinterplasi oleh sebuah rekayasa skeptis yang kita ciptakan sindiri, maka wajar kalau arogansi dan kenagkuhan sering menemani perjalanan kita sebagai wujud makhluk sosial.[5]
Lisan (pola interaksi) menempatkan kedudukannya yang sangat signifikan melalui ciri atau karakterisktik bahasa sebuah masyarakat. Seringkali interaksi itu kemudian melahirkan etnosentrisme yang mengakibatkan relasi antar sesama umat seagama maupun antar agama melahirkan pola relasi interaksi sosial yang timpang. Ini juga ditopang oleh penciptaan suasana etos politik yang mendukung adanya power syndrom di dalam masyarakat yang sama sekali menafikan aspek integral yang lebih universal pada harkat manusia itu sendiri yang butuh dengan kedamaian dan keadilan.
D. DARI ETIKA INDIVIDUAL MENUJU ETIKA KOMUNAL.
Sesungguhnya teori etik (moralitas) terhadap dunia adalah identik dengan idealisme yang merupakan ekspresi teori etik (moralitas) pada domain kognisi. Kadang-kadang etika moral merupakan landasan kognisi dan eksistensi pada derajat yang sama. Akan tetapi, problematikanya adalah apakah nilai merujuk pada kognisi atau pada eksistensi?
Sedikit kerangka diatas sejenak membawa kita pada sebuah tesis tentang sebuah bangunan teoritik yang ingin coba kita kontekstualisasikan dalam keseharian kita. Sejenak saya ingin mengajak kepada sebuah penalaran kritis yang bisa dimediasi oleh beberapa fase kerangka berfikir, yang pertama skriptual (teks), kedua adalah empirik (pengalaman), dan yang terakhir adalah metafisik (immaterial). Dari sini kemudian titik tolak dimana kita bisa melakukan sebuah bentuk aktualisasi dari ilmu pengetahuan yang kita peroleh yang kemudia dibingkai melalui pola komunikasi antar sesama manusia (lisan).
Dalam diri manusia secara individu ada sebuah independensi yang secara etis mengawal fitrah kita untuk cenderung kepada kebaikan yang kita spesikasikan dalam bentuk pola komunikasi atau tutur kata. Keputusan untuk bergaul dengan sesama manusia akan melahirkan satu bentuk independensi komunal, sehingga relasi dari sekian banyak sekte maupun ormas mampu tersalurkan dalam suasan komunikasi yang bersifat ukhuwah islamiyah.
Eksistensialisme meletakkan empat postulat yang didasarkan pada etika eksistensialis, yaitu:[6]
1. Penghargaan terhadap manusia. Kendatipun demikian, persoalan-persoalan berikut ini masih tetap tegak: mengapa diskursus tentang manusia tidak ada didalam tradisi (intelektual) klasik kita? Mengapa diskursus tentang manusia gugur dan pembelengguan tuntas diantara naturalisme dan ketuhanan? Oleh karena naturalisme-ketuhanan itu terbalik maka tradisi klasik kita tetap bersifat teologis di dalam pusatnya tegak di dalam konsepsinya. Namun jelas bahwa pioner eksistensialisme mengonsepsikan bahwa peradaban kita telah keluar dari tahap teologis (teosentrisme) yang kuta menuju tahap kemanusiaan (antroposentrisme) lain yang bermula dari reformasi religius menuju kebangkitan, rasionalisme dan akhirnya menuju pencerahan. Sedangkan kita masih berada jauh dibelakang hal tersebut;
2. Kebebasan dan kesadaran terhadap tanggung jawab. Manusia adalah bebas, sedangkan kebebasan adalah tanggung jawab dan tuntutan. Seolah-olah eksistensialisme etik akan melahap tradisi (intelektual) Mu’tazilah klasik. Namun, perhatian generasi kita adalah membatasi atau mendefenisikan atah tuntutan di hadapan yang lain atau suku bangsa dan di hadapan negara atau sejarah;
3. Bergerak mendesak etika. Manusia adalah bebas merdeka, pemimpin, dan pelaku. Itulah sentralisasi jihad dan tindakan praksis yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Seolah-olah eksistensialisme aksiologis adalah manifestasi dan mujahadah. Perhatian generasi kita adalah mendefinisikan poros gerakan dan metode ijtihad bagi kemaslahatan khusus maupun kemaslahatan umum., bagi diri maupun yang lain.setiap kita akan berjalan namun jalannya berbeda-beda;
4. Niat baik (good will) dan konsentrasi jiwa. Tidak diragukan lagi bahwa tindakan praksis adalah tergantung pada niat, dan kemampuan (upaya keras) tergantung pada tendensi dan sasaran. Perhatian generasi kita adalah membatasi obyek sasaran, puncak keinginan dan tempat menghadap pada tujuannya.[7]
Oleh karena itu postulat-postulat (dalil) yang dibangun oleh etika eksistensialisme adalah semata-mata postulat-postulat formalistik tentang tuntutan atas muatan sosial yang berasal dari tuntutan-tuntutan zaman kita.
E. PENUTUP.
Serangkaian pemaparan diatas pada dasarnya ingin mencoba menguak maupun mengkritisi pola komunikasi dalam masyarakat kita yang secara makro sedikit banyak telah kami jabarkan. Bahwa pada dasarnya potensi kemanusian sama sekali tidak berpretensi untuk menjadikan kita semakin jauh dengan masyarakat dimana kita dibesarkan. Kita selalu mengimpikan sebuah tatanan yang berorientasi pada seubuah sistem masyarakat berkeadilan, yang tidak hanya secara teoritik tetapi pola tindak yang selalu menopang dari apa yang menjadi kebutuhan dasar manusia tersebut.
Spesifikasi dari sekian banyak problematika yang terjadi adalah fungsi lisan yang menempatkan dirinya dalam kontrol interaksi sosial yang seharusnya selalu menjadi otokritik untuk kita semua sehingga dalam perjalanannya ada sebuah tali silaturahmi yang tidak hanya melibatkan ummat Islam itu sendiri tetapi mencoba menanamkan universalisme Islam.
Sehingga nilai-nilai keislaman mampu menjadi pijakan dalam setiap aktifitas yang kita geluti sehari-hari dalam ruang lingkup interaksi sosial kita yang menjadi konfigurasi dari upaya menjadikan lisan kita sebagai menda belajar bersama. Dalam makalah singkat ini ada upaya untuk seksam membangun budaya intelektual yang bersifat alternatif sehingga tidak menjadikan dunia pendidikan kita mencapai puncak kemapanannya yang hanya mampu melahirkan output mahasiswanya menjadikan disiplin keilmuannya sebagai kendaraan pencarian “nafkah”.
Untuk itu partisipasi dari kita semua guna membangun diskursus yang lebih produktif sangat kami harapkan dalam membingkai sebuah dialog yang kental dengan nuansa keilmuannya guna sedikit memberikan kontribusi buat kita dan sekeliling. Kritik dan saran sangat kami butuhkan. Walallahu A’lam.
F. DAFTAR PUSTAKA.
Qardhawi , Yusuf DR. Halal Haram dalam Islam / Yusuf Qardhawi; penerjemah, Wahid Ahmadi (et al); editor, Wahid Ahmadi, Muhammad Badawi, Saptoroni- Surakarta: Era Intermedia, 2003.
Suseno, Magnis-Franz. Pluralisme,Konflik, dan Pendidikan Agam di Indonesia. Diterbitakan oleh Institut DIAN/Interfidei. Cetakan ke II 2005.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan/Nurcholis Madjid; Ilustrator, Jean Kharis - - Cet. 1 - - Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1992.
Hanafi, Hasan. Islamologi 3; Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. © Hasan Hanafi 1992 dan LKiS, 2004. Diterjemahkan dari buku Dirasat Islamiyah; bab V. Hak terjemahan Indonesia ada pada LKiS.
[1] Dr. Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam. Era Intermedia.
[2] Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 10-12.
[3] Bukan hanya para tokoh agama yang kadang-kadang secara ritual menegaskan kembali bahwa agama sebenarnya mengajarkan toleransi dan perdamaian dan tidak membenarkan kebencian dan tindak kekerasan terhadap ummat beragama serta gedung-gedung ibadatnya. Melainkan dikebanyakan desa dan kampong-kampung masyarakat sendiri yang terdiri atas suku, rasa dan agama yang berbeda hidup bersama dengan baik. Yang menjadi masalah, ialah bahwa suasana baik itu rawan terhadap hasutan dan rekayasa. Dan segala keyataan yang bagus-bagus ini tidak mengubah kenyataan yang begitu menyedihkan. (Franz Magnis-Suseno S. J. Pluralisme, Konflik & Pendidikan Agama di Indonesia. Interfidei.)
[4] Nurcholis Madjid, “Islam Doktrin dan Peradaban” Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Paramadina. Hal. 426.
[5] Keangkuhan adalah keengganan untuk menerima kebenaran setelah mengetahuinya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. 20:120)
[6] Hasan Hanafi, Islamologi 3 “Dari Teosentrisme ke Ntroposentrisme”. LKiS.
[7] Al-Juwaniyah, hlm. 187-199 “Nilai Kemanusiaan dalam Seruan Rasul”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar