Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Minggu, 03 Januari 2010

MEMAHAMI KONFLIK ANTAR IMAN; MENYIKAPI PERBEDAAN SEBAGAI “RAHMAT” DAN BUKAN “KONFLIK” (Analisis Kritis Konflik Agama dan Etnik Di Indonesia)

Oleh: Taufiq Saifuddin
BAB I
PENDAHULUAN
Menempatkan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan pada dasarnya menentukan pijakan hidup seorang manusia pada sebuah keyakinan akan kebutuhan fitrawi manusia itu sendiri atas kepercayaan yang dianutnya. Unsur ajaran dan tata nilai menjadi sebuah bangunan postulat yang termaktub dalam esensi ajaran dari sebuah agama. Ajaran dan tata nilai tersebut memberikan sebuah bangunan tradisi yang menjadikan aktifitas kehidupan memiliki aturan dalam proses interaksi sosial-keagamaan. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa manusia pada dasarnya memerlukan kepercayaan. Kepercayaan yang dianut oleh seseorang pasti memiliki bangunan kebenaran yang membentuk keyakinan masing-masing individu untuk meyakininya. Demikian pula cara kepercayan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi juga berbahaya.
Timbulnya fenomena penting yang terdapat dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah, timbulnya gerakan-gerakan etnik dan agama yang berusaha menuntut otonomi yang lebih besar ataupun kemerdekaan dari negara. Para ahli ilmu sosial pada tahun 1950-an dan 1960-an umumnya menganggap bahwa persoalan identitas etnik dan agama merupakan gejala tradisional, sehingga dengan demikian hanya menyangkut negara-negara dunia ketiga dan sedang berkembang. Analisis ini harus kita letakkan pada dimensi dimana kultur masyarakat timur pada aspek keagamaan lebih menekankan pada pendalaman spritual yang secara eksistensi bisa kita lihat dari ritual religiusitas.


A. Memahami Agama, dan Mengapa Kita Beragama?
Ledakan Revolusi Industri yang terjadi di Barat telah memantik pemikiran dan gagasan tentang pembebasan manusia dari agama. Sebagian kelompok beranggapan bahwa alih-alih mendewakan agama sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan serta memenuhi segala keinginan dan hajat manusia, mereka memilih sains dan industri sebagai solusi dan way out baginya. Bahkan pada tingkat kulminasinya, sebagaimana yang dikukuhkan oleh Karl Marx bahwa agama bagi manusia merupakan candu dan opium yang membuat terlena mereka.
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian, adalagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks suci dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntutan, memang agama mengandung ajaran-ajaran dan tuntutan hidup bagi penganutnya.
Dari pemaparan diatas dapat kita katakan bahwa agama dengan perangkat ajarannya memiliki ikatan bagi penganutnya, sehingga subtansi kebenaran dalam hal ini harus dilihat dari segi universalnya. Karena diakui atau tidak semua agama secara garis besar menganjurkan penganutnya untuk saling menghormati, berlaku adil dalam hal apapun dan pantang akan penindasan. Garis universal inilah yang kami sebut sevagai penyikapan terhadap perbedaan yang dilandasi atas “rahmat” sehingga nuansa konflik mampu diminimalisir dari logika sederhana ini.
Melihat keragaman agama yang ada di Indonesia, jelas kiranya potensi konflik juga akan semakin besar. Sehingga untuk melakukan filtrasi atas fenomena ini diperlukan rekonsiliasi menyeluruh terhadap faham keagamaan terwacanakan yang terejawantah dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat yang semakin maju ini kesadaran akan hak-hak pribadi semakin kuat, sehingga munculnya diferensiasi pandangan, sikap, kehendak, ataupun kepentingan, menjadi tak terelakkan. Konflik merupakan ekspresi pertentangan yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan. Karena itu dalam kadar yang ringan, konflik bisa berupa perbedaan pendapat atau kehendak antara satu orang atau kelompok dengan orang atau kelompok lainnya.
Perbedaan tersebut diatas merupakan ekspresi dari kepercayaan yang dianut oleh individu maupun kelompok tertentu. Sehingga penyikapan perbedaan harus diarahkan pada sesuatu yang bersifat produktif, dari sini kemudian terbangun sebuah narasi besar terhadap perbedaan yang harus disikapi sebagai rahmat dari Tuhan dan tidak dengan konflik atau pertentangan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Persoalan ini merupakan konsekuensi logis dari masyarakat yang multi dimensi, sehingga pemetaan terhadap persoalan keagamaan yang bersifat sakral dan profan harus mampu difahami oleh masing-masing individu dan kelompok.
Pembicaraan tentang hajat manusia terhadap agama atau hajat agama terhadap manusia memang merupakan sebuah persoalan yang penting untuk dibahas. Mengapa agama sedemikian perlu bagi kehidupan manusia? Apa saja yang ditawarkan agama untuk melepaskan manusia dari segala alienasi dan patologi sosial yang semakin menggurita menghantam kehidupan bani Adam? Apakah manusia secara fitri adalah insan beragama? Ataukah manusia karena rasa gentar, dungu, faktor kemiskinan dan kebutuhannya terhadap etika memerlukan agama? Banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan di sini untuk melihat signifikansi persoalan agama pada diri manusia sebagai komplementer dari pertanyaan inti di atas yang diambil sebagai judul tulisan ini.

B. Agama dan Defisiensi Moralitas Terhadap Konflik antar Iman.
Masalah defisiensi moral sering menimbulkan kecemasan sosial karena eksesnya dapat menimbulkan gap generation sebab para generasi muda yang diharapkan sebagai kader-kader penerus menjadi calon-calon pemimpin bangsa (revitalising agent) banyak tergelincir dalam lumpur kehinaan. Persoalan ini disatu sisi menimbulkan pertanyaan, baru sejauh mana kemudian aspek domain faham keagamaan dalam diri sesorang guna tetap menjaga integrasi bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang agama dan etnis.
Defisiensi moral adalah kondisi individu yang hidupnya delingment (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan dan bertingkah laku asosial atau antisosial. Ciri-ciri orang yang mengalami defisiensi moral cenderung psikotis dan mengalami regresi, dengan penyimpangan-penyimpangan relasi kemanusiaan. Dalam arti yang lebih spesifik defisiensi moral sering kali menjadi tameng yang begitu kuat dalam setiap aktifitas pelanggaran nilai dan norma baik dalam masyarakat dan agama.
Pada masa pemerintahan Suharto, dunia Internasional selalu memuji Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, budaya, ras, golongan dan agama yang dapat hidup harmonis. Sejak bangku SD anak-anak telah ditanamkan betapa pentingya toleransi dalam kemajemukan. Namun pada kenyataannya di dalam benak sebagian besar umat beragama masih tersimpan benih-benih terciptanya konflik horizontal. Agama mungkin cuma salah satunya, sebab keragaman di negara ini bukan hanya keragaman agama. Namun, melihat berbagai konflik yang pernah terjadi, konflik yang berlatarbelakang agama merupakan konflik yang paling sulit dicarikan solusinya.
Jika dianalisa lebih jauh hampir sebagian konflik horizontal yang terjadi di negeri ini dilatarbelakangi oleh perbedaan agama. Sehingga persoalan pemahaman terhadap perbedaan iman tersebut harus senantiasa mendapat ruang yang cukup kondusif untuk saling berdialog. Dari sini kemudian perlu adanya pelembagaan moralitas publik untuk sedikit banyak memberi pemahaman atas perbedaan itu sendiri sehingga bentuk penyikapannya pun tidak akan berujung pada konflik yang bersifat horizontal dan berupaya menjadikan entitas bangsa berada pada dimensi disintegrasi.
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Dalam hal ini kemudian partisipasi politik tidak bisa dilepaskan guna memberikan legitimasi terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang diprediksi akan melahirkan konflik antar iman. Fungsi pelembagaan publik disini kemudian diharapkan mampu membuka ruang dialog yang inklusif antar agama dan dari situ akan lahir pola pemahaman terhadap perbedaan antar iman yang memang menjadi sub kultur perbedaan yang ada di Inonesia tentunya.
Rene Girard dalam bukunya La violence et le sacre (Mutiara, 1998) menggali ritus konflik (atau kekerasan) ini dalam masyarakat primitif berdasarkan mitologi Yunani dan Kitab suci Kristen. Ada beberapa ciri yang menandai ritus konflik, yaitu; (1) ritus konflik sering kali irasional. Jika obyek yang dituju tidak dapat diraih, ia akan mencari korban pengganti. Korban pengganti ini dipilih karena alasan mudah diserang dan jarak obyek itu dekat; (2) ritus konflik dilaksanakan untuk menjaga ekuilibrium sosial masyarakat dari kejahatannya; ini mendesak komunitas itu untuk mencari korban di luar dirinya. Antara korban substitutif dan komunitas ikatan sosialnya hilang, sehingga komunitas dapat menjadikannya korban tanpa ada perasaan takut akan adanya tindakan pembalasan. (3) hampir tidak ada diferensiasi antara korban binatang dan manusia, baik yang berjiwa atau yang tidak berjiwa, dan dalam banyak kasus yang satu disubstitusikan untuk yang lain. Semakin kronis krisis yang ada, semakin khusus ritus konflik yang diperlukan. Ritus konflik berfungsi mempolariasi agresivitas komunitas dan mengarahkan pada korban figuratif.
BAB II
MENYIKAPI KONFLIK ANTAR IMAN, DARI KONFRONTASI KE DIALOG

Telah dijelaskan diatas bahwa kebanyakan dari sekian banyak konflik horizontal yang terjadi di Indonesia sebagain besar dilatar belakangi oleh perbedaan pemahaman keagamaan yang simplistik, sehingga melahirkan fanatisme primordial yang berlebihan. Pemahaman yang demikian akan berimbas pada praktek kehidupan dalam interaksi sosial antar agama menjadi sesuatu yang bersifat eksklusif dimana klaim pembenaran memberikan legitimasi untuk melakukan justifikasi dan klaim bahwa tidak ada kebenaran diluar keyakinan yang diyakini oleh seseorang ataupun kelompok. Perihal ini seolah menjadi perisai alasan argumentatif dalam sekian banyak pemicu konflik yang terjadi.
Menurut Mark R Amstutz (1996), di samping konflik memiliki beberapa fungsi yang negatif, ternyata ia juga mempunyai sejumlah fungsi positif. Fungsi-fungsi negatifnya, di antaranya konflik akan bersifat destruktif bila telah bergerak ke arah yang menciptakan ketidak-tertiban dan instabilitas, menyulut persengketaan dan kekacauan, serta menjadi penghambat bagi tercapainya kebijakan dan pengambilan keputusan yang efisien. Sedangkan fungsi-fungsi positifnya, antara lain ialah bahwa konflik dapat menjadi pencegah bagi terjadinya konflik yang lebih serius, sebagai pemacu kreatifitas dan inovasi mayarakat, sarana mempererat kohesi sosial, dan merupakan alat saling kendali (mutual control) antar anggota masyarakat dan antara pemerintah dengan masyarakat yang diperintah.
Dari perspektif diatas kemudian peranan konflik memiliki sebuah acuan dasar yang memungkinkan terjadinya integrasi atas pemahaman terhadap perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu maupun kelompok. Karenanya, mencegah terjadinya konflik justru dinilai melestarikan kepincangan sosial. Karena memiliki fungsi ganda ini (negatif dan juga positif), maka tindakan yang harus dilakukan terhadap konflik biasanya sangat dipengaruhi oleh persepsi kultural masyarakat terhadap realitas sosial yang mereka idealkan. Persepsi kultural yang secara turun temurun diwarisi dari generasi ke generasi, baik tentang gotong royong, keagungan Tuhan, serta keselarasan dan hidup berdampingan. Sehingga penyikapan terhadap konflik cenderung akan dihindari, maka resolusi konflik disatu sisi menjadikan disintegrasi namun disisi lain memiliki upaya pemahaman akan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu dan kelompok yang memiliki kepercayaan dan keyakinan tertentu.
Konflik akan senantiasa menjadi bagian yang melekat terhadap keberlangsungan peradaban. Betapapun modernitas dan demokratisasi atau sosialisme juga entah apa pun ideologi yang dipedomani. Konflik, ternyata given dan laten. Dia ibaratnya virus. Tidak pernah musnah. Yang dapat dilakukan adalah mengelolanya agar jangan sampai meledak sebagi sebuah chaos sosial. Tetapi konflik menjadi menarik dibicarakan saat diterapkan dalam praksis agama. Sebab, tidak lain karena agama justru didesain bahkan diklaim sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, betul tidak seharusnya dijustifikasi langsung kepada agama itu sendiri. Melainkan kepada proses-proses keberagamaan pemeluknya.
Ahimsa (kekuatan cinta) atau “kekuatan nir-kekerasan” merupakan penghormatan kepada semua bentuk kehidupan. Ini adalah sebuah pandangan atau ajaran agama yang telah memiliki sejarah panjang dan bisa diartikan bahwa setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, harus menghindari kejahatan dengan menarik diri dari kehidupan dunia atau bahwa mereka harus berjuang memerangi kejahatan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik di dunia. Bagi Mahatma Ghandi, ahimsa bukan hanya sekedar tingkatan tidak melakukan penyerangan secara negatif, tetapi tingkatan cinta yang positif, berbuat baik bahkan kepada pelaku kejahatan sekalipun.


A. Multikulturalisme, Konflik dan Dialog: Refelksi tentang Hubungan antar Agama di Indonesia.

Sudah sejak lama keanekaan budaya Indonesia dikenal, diakui dan bahkan dikukuhkan. Pada masa kolonial Belanda keanekaan itu dikenali melalui studi-studi orientalime tentang aneka hukum adat yang ada di negeri ini. Kemudian dikukuhkan antara lain dalam pemberlakuannya untuk penyelesaian berbagai persoalan hukum tertentu diluar jangkauan hukum dan tidak terkait langsung dengan kepentingan penguasa kolonial. Keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui dan dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh yang berlaku hingga saat ini.
Kontak kultural dalam masyarakat senantiasa akan menimbulkan toleransi, pengakuan akan keberadaan sebuah kebudayaan yang terpisah, gagasan mengenai pluralisme. Hal ini dapat dipastikan akan membuahkan saling pengaruh, saling memperkaya antar budaya dan keragaman agama, gagasan mengenai multikulturalisme. Peristiwa yang demikian ini jarang sekali diungkapkan, tidak populer terutama akibat tertanamnya secara amat mendalam sebuah paham mengenai keagamaan sebagai sesuatu yang utuh, murni dan otonom. Padahal dengan gagasan multikulturalisme itu akan ditemukan kenyataan bahwa sebenarnya diri seseorang, diri suatu komunitas kebudayaan maupun agama, sebenarnya terbangun dari aneka budaya. Bahwa dalam diri kita hidup orang lain, didalam diri orang lain hidup diri kita, bahwa kita dan orang lain tak pernah terpisahkan, telah menjadi satu kesatuan.
Konflik harus dipertemukan dalam ruang dialog, dengan demikian pemahaman akan perbedaan yang memang menjadi ciri bangsa ini akan semakin konprehensif. Pemahaman yang komprehensif tersebut akan mengantarkan kita pada bentuk toleransi dalam konteks keragaman dan bukan keyakinan. Toleransi keragaman dalam makna tersebut adalah bentuk penghormatan individu ataupun kelompok atas perbedaan keyakinan, maka hubungan antar agama terletak pada hubungan manusia dengan sesamanya. Kerja kemanusiaan yang seperti inilah yang pada dasarnya menjadikan manusia akan saling mengerti terhadap sebuah pranata sosial keagamaan yang ada.
Bisa dipastikan bahwa semangat kebangsaan akan senantiasa dilandasi oleh kesadaran akan keberadaan latar belakang kebudayaan dan keagamaan yang beragam. Pengingkaran terhadap keragaman tersebut secara tidak langsung akan menjadi gesekan yang memicu konflik horizontal dari pemahaman vertikal atas postulat doktrinasi kebenaran agama. Dalam konteks ini konflik kemudian akan terarah pada chaos publik masyarakat Indonesia. Perbedaan iman tersebut juga harus dibarengi oleh peniscayaan akan keragaman agama, sehingga dari situ dapat melahirkan sebuah tesis awal yang mengarah pada sebuah argumentasi bahwa gesekan yang terjadi murni disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan bukan tuntutan atau ajaran dari agama tertentu untuk saling memusuhi.
Hubungan antara agama, Yahudi dan Kristen sejak abad pertama Masehi telah diwarnai oleh pertentangan bahkan penganiayaan. Umat Kristen yang masih kecil dikejar dan dicederai. Alasan utamanya bukan alasan ekonomi, politik atau sosial, melainkan semata karena alasan doktrin keagamaan yang berbeda. Kita mengenal gejala kekerasan semacam ini sebagai herecy hunting atau perburuan bidah. Begitu pula sebaliknya yang terjadi ketika agama Kristen pada abad keempat Masehi ditahbiskan menjadi agama resmi imperium Romawi. Balas dendam dari kalangan Kristen terhadap umat Yahudi pun terjadi dengan sengitnya. Munculnya agama Islam diabad ketujuh Masehi merupakan arena baru bagi persaingan dan konflik antara agama, khususnya antara Kristen dan Islam.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa peperangan diantara umat beragama anak-anak Ibrahim itu saja (belum meyebut “perang yang melibatkan agama yang lain”), kita sudah bisa menyimpulkan bahwa “perang agama” merupakan perang terpanjang diatas pentas sejarah umat manusia di dunia ini. Multikulturalisme dan konflik antar agama di Indonesia sebagai bagian integral dari sejarah sosial agama-agama dunia, tentu tidak akan merupakan pengecualian yang mencolok. Perseteruan antar agama, sebagaimana terlihat dalam sejarah, buku tidak ada tapak-tapaknya di negeri ini.
Pada dasarnya kehadiran berbagai upaya yang dialogis diantara para penganut agama dan negara secara sadar (care and aware) harus senantiasa menemukan cara agar akses beragama dapat dikelola dengan target mengoptimalkan janji agama sebagai petunjuk jalan damai. Bukan sebaliknya: kacau dan teror, disinilah fungsi dialog sebagai never ending procces guna melahirkan rekonsiliasi yang lebih mengutamakan subtansi dibanding simbol.
Di samping itu pula, agama dikenal sebagai lembaga yang paling lengkap (sering digambarkan sebagai waduk maha besar) yang mampu menampung dan menyimpan memori pengalaman manusiawi yang diwariskan turun temurun dalam keadaan yang asli. Kegandrungan kepada keaslian (obsesi kepada ortodoksi, atau obsesi konfesionalisme) merupakan salah satu watak agama. Orang beragama selalu cenderung berkelana ke masa lampau untuk mencari ilham, terkadang berarti bahwa membentuk masyarakat masa depan adalah mengembalikannya ke masa lampau. Orang beragama tidak bisa tidak akan mengacu kepada hal-hal yang telah lewat.
Memori kolektif yang kuat terpelihara dalam setiap agama, disadari atau tidak sering dilatarbelakangi oleh rasa takut, tidak percaya, kejerian, prasangka, dendam, kebencian, dan trauma terhadap pengalaman kekalahan yang pernah mereka alami di masa lampau. Oleh sebab itu, agama-agama harus menjadi pokok kajian kritis. Tidak bisa diandaikan bahwa semuanya baik-baik. Kaum agamawan harus berani mulai melakukan sikap kritis dari dan terhadap agamanya sendiri. Dari sini memang muncul suatu pertanyaan mendasar tentang “identitas” dalam masyarakat pluralistik.
Kesalihan personal dalam beberapa hal hanyalah merupakan bagian kecil dari agama. Namun ia adalah intinya. Karena dalam pengabdian personallah (apakah melalui ibadah-ibadah biasa atau yang lainnya) maka dimensi kosmik dimasuki. Dan ini membuat agama menjadi religius dan karena itu maka seluruh struktur sebuah komunitas religius akhirnya membenarkan dirinya. Karena itu, apa yang kita sebut kesalihan atau pengabdian personal memainkan suatu peranan kunci dalam peradaban sebagai sebuah keseluruhan, paling tidak dimana saja tradisi-tradisi religius merupakan hal yang penting. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan secara umum perubahan-perubahan dalam suasana hati dan gaya-gaya kesalihan saling tergantung secara lekat satu sama lain. Gaya-gaya kesalihan bahkan lebih rumit untuk dikaji ketimbang gaya-gaya seni, tetapi mungkin jauh lebih penting.
Jelas kemudian bahwa peranan agama harus juga mampu membentuk kesalihan individu dalam ruang lingkup kerja-kerja kemanusiaan. Hal sangat penting mengingat fungsi agama yang memiliki misi perdamaian, maka untuk mengakomodir refeleksi tersebut diatas membutuhkan sebuah diskurusus yang tidak parsial. Pemahaman akan keragaman yang menyeluruh akan membantu masyarakat dalam menentukan titik pijak penyikapan akan perbedaan itu sendiri.
Dialog antar agama harus didasari bahkan didahului oleh suatu dialog teologis demi untuk melakukan suatu kajian kritis terhadap diri sendiri. Langkah ini perlu dilakukan guna memisahkan harapan harapan dari ketakutan, agar tidak tercampur baur. Dan sesudah itu baru diikuti oleh dialog aksi. Sebenarnya kedua jenis dialog tersebut idealnya harus dilakukan serentak. Di satu pihak dialog teologis perlu dilakukan karena distorsi dan kesalahpahaman perlu diminimalisir, dan juga apresiasi perlu ditumbuhkan. Teologi harus dibebaskan dari traumatik hubungan manusia antar umat beragama, dan berani melangkah kearah hubungan yang lebih manusiawi. Perbedaan teologis kemudian menjadi sebuah pemahaman akan perbedaan masing-masing individu dan kelompok yang membutuhkan eksistensi.
B. Faktor-Faktor Penyebab Konflik

1. Eksklusifitas dari Pemimpin dan Penganut Agama.
Watak setiap pemeluk agama adalah bersikap eksklusif dalam melihat agama lain. Hal ini terlihat jelas pada agama Yahudi. Bagi mereka tidak ada Nabi setelah Nabi Musa. Segala jenis canon telah selesai tersurat dan tersusun 500 tahun sebelum Masehi sehingga yang datang kemudian tidak dapat diterima oleh mereka.
Inilah awal persengketaan agama, atau embrio permusuhan keagamaan yang lahir kemudian. Isa maupun Muhammad bagi mereka hanyalah sekedar tokoh sejarah, bukan tokoh spiritual. Walaupun demikian, evolusi pikir para pemikir dan tokoh agama mulai merasa perlu untuk meninggalkan sikap-sikap seperti ini.
Suatu dialog harus dimulai untuk mengakhiri pandangan-pandangan eksklusif sebagai pendiri agama Yahudi. Dengan demikian, doktin Katolik “extra eccelesiam nulla salus” (diluar gereja tidak ada keselamatan), bahkan “extra ecclesiam nullus propheta”(diluar gereja tidak ada nabi), ditarik sekaligus untuk membuka dialog-dialog serta sikap yang pluralistik. Dialog bukan ditujukan untuk mempersamakan suatu agama dengan yang lain.
Dalam proses berdialog, tujuannya bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena jika demikian maka dialog semacam itu sebagai sesuatu yang absurd dan lebih pada menghianati tradisi suatu agama. Yang diacari seetulnya untuk mendapatkan titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh agama kita sendiri. Dalam memahami agama lain hendaknya kita bersikap melihat apa adanaya. Pada dasarnya setiap agama mempunyai sisi-sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang sangat dibanggakan penganut suatu agama, serta akan menjadikan mereka tetap bertahan jika mereka mulai mencari dasar rasional keimanan mereka.
Agama merupakan suatu upaya manusia untuk membangun kosmos suci. Dengan kata lain agama adalah proses kosmisasi dalam cara yang suci. Disini berarti terdapat pengakuan adalanya kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan yang dikaitkan dengan manusia, yang diyakini berada dalam obyek tertentu (benda suci, tempat suci, manusia suci). Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi-sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan suatu keagungan atau kesalahan sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandang sekarang sebagai memalukan. Oleh sebab itu, suatu dialog selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal agama lain yang hendang dikomparasikan dengan realitas suatu agama baik yang agung, maupun yang memalukan. Dengan demikian kita terhindar dari penilaian standar ganda dalam melihat agama lain, yaiut karena membaca agama kita dengan sisi-sisi ideal dan mengkomparasikan agama lain dengan sisi real.
Mahatma Ghandi pernah berkata, “Aku adalah penganut kebenaran dari semua agama di dunia ini. Di bumi tidak akan pernah tercipta perdamaian yang abadi manakala kita tidak belajar menghormati – tidak hanya sekedar bertoleransi – keyakinan orang lain, sebagaimana kita menghormati agama yang kita anut. Belajar dengan penuh rasa hormat dan takzim mengenai petuah-petuah dari berbagai sosok guru ummat manusia merupakan langkah konkrit dari sikap penghormatan kepada semua agama.
Ungkapan diatas seolah ingin bertutur bahwa persoalan dialog merupakan kebutuhan primer ummat beragama. Jika kita myakini bahwa Tuhan maha kuasa, maha mengetahui, jangan-jangan Tuhan membahasakan dirinya kepada setiap agama dengan penyampaian yang berbeda dari kemaha esaan-Nya. Sehingga tidak ada ruang kemudian untuk saling menyalahkan.
2. Sikap Tertutup dan Saling Curiga antar Agama.
Agama yang sasarannya adalah menciptakan keserasian hidup antar hamba Tuhan. Tetapi dengan adanya ketertutupan dan saling mencurigai maka sasaran agama tidak mungkin tercapai.
Kita jarang mengangkat isu bahwa agama kita adalah agama satu-satunya yang bersumber dari Ibrahim dan berlanjut sampai sekarang ini melalui Musa, Isa dan Muhammad. Karena sikap saling curiga itu, maka setiap kegiatan suatu agama dianggap sebagai suatu ancaman bagi agama yang lain. Pendirian rumah ibadah yang sebenarnya harus dipandang sebagai suatu sumber kebaikan dan kemaslahatan, menjadi sumber sengketa dan pertentangan. Pendirian rumah ibadat dipandang sebagai suatu ekspansi yang merugikan agama lain.
Sejarah membuktikan bahwa manusia yang memeluk satu agama tidak menjamin menjadi sebagai komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan di antara sesama pemeluk yang satu nomenclature agama pun, di antara satu sekte dengan sekte lain, sampai yang berbeda agama, terbukti selalu dan potensial menciptakan konflik. Ada formula ironi sosiologis yang menyatakan, “di mana ada agama, di situ ada konflik”.
Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan disaat kekacauan; baik yang berkaitan dengan kekisruhan relasi sosial maupun nilai sedang terjadi. Agama datang untuk menyelesaikan masalah. Begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal munculnya dogma bahwa saat kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama Yahudi. Hal yang sama juga terjadi saat Islam turun, klaimnya adalah bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada.
Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain dengan agama lain (antara agama) adalah antara sesama penganutnya (interen agama). Anehnya, justru dengan alasan demi agama yang bersangkutan. Fakta tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten.

3. Agama yang adalah Tujuan Berubah Menjadi Alat, Realitas Menjadi Sekedar Kebijaksanaan.
Rumah ibadat, Masjid dan Gereja semisal beralih menjadi perlambang keangkuhan manusia. Tuhan bukan lagi menjadi tujuan peribadatan karena agama telah dijadikan alat untuk mencapai tujuan, maka agama bukan lagi suatu sarana untuk menghayati iman, tetapi semata-mata untuk mencapai kuantitas pemeluk dan alat pengembang kekuasaan.
Pada masa kementrian revolusi, Menteri Agama Rasjidi mengaskan bawa negara melalui Kementrian Agama tidak akan campur tangan dalam urusan agama. Kementrian Agama memberikan tempat yang sewajarnya kepada setiap yang ada di Indonesia. Penegasan ini dikemukakannya, melihat upaya menjawab usulan kalangan Katolik dan Protestan tentang perlunya pemisahan antara kekuasaan agama dan negara dan bahwa negara seharusnya tidak mencampuri urusan agama. Keterangan itu sekaligus “menenangkan” umat Kristiani, yang khawatir bahwa Kementrian Agama akan memberikan perhatian hanya kepada pengaunt agama Islam.
Penguasa sejak orde lama hingga orde baru, telah menjadikan agama sebagai alat pelurus kebijaksanaan. Budaya ini menurun sampai kepada lembaga-lembaga keagamaan. Sehingga wajar jikalau persoalan keagamaan disatu sisi membutuhkan legitimasi politik yang dimanifestasikan oleh kebijakan terhadap kebebasan akan pendapat keagamaan.
Karena tujuan agama telah terselewengkan, maka penyebaran agama pun terselewengkan dari membangun kualitas iman menjadi alat pengumpul dan pembangun kekuatan. Kita melihat seakan-akan Masjid dan Gereja bukan lagi menjadi tempat kita memuja Tuhan, tetapi tempat pujaan kekuasaan dan nafsu-nafsu. Para pemimpin agama tidak lagi beragama dengan agama Muhammad atau Isa. Agama mereka berlangsung sesuai dengan irama penguasa dan tuntutan nafsu. Akibat penghayatan dan perlakuan agama yang demikian ini, ialah manusia menjadi mudah terprofokasi yang akan berakhir dengan konflik berdarah.
Terjadinya konflik sosial yang berlindung di bawah bendera agama atau mengatas-namakan kepentingan agama, bukan merupakan justifikasi dari doktrin agama, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakjelasan hubungan antara agama dan kebudayaan. Telah banyak sarjana yang mengkaji hubungan antara agama dan kebudayaan. Pada satu sisi, agama selain sebagai sumber moral dan etika serta bersifat absolut juga bersifat a-historis. Pada sisi lain, agama juga bisa bersifat historis dan berubah menjadi sistem kebudayaan, yakni ketika wahyu agama direspon oleh manusia atau mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem kognisi manusia. Interest kognitif manusia itulah yang menyebabkan wahyu agama berubah sifatnya menjadi relatif dan profan.
Soedjatmoko (1984) mengakui bahwa agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat yang efektif, karena agama, lebih dari ideologi sekuler manapun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan sosial-kemasyarakatan). Karenanya, secara sosiologis, tampak ada korelasi positif antara agama dan integarsi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.


BAB III
PENDIDIKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK, MENCEGAH AGAMA MENJADI PENYEBAR VIRUS KONFLIK SOSIAL

Pendidikan agama sebagai salah satu sub pendidikan Nasional yang diajarkan dari SD bahkan TK sampai perguruan tinggi tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek normatif maupun historisnya. Pendidikan agama sarat muatan normatif dan historis empsiris. Maka amat menarik untuk mengkaji ulang, mencermati meneliti, “paradigma”, “konsep” dan pemikiran pendidikan agama yang ditawarkan oleh kurikulum, silabus, literartur dan para pengajarnya di lapangan dalam era pluralitas. Lebih-lebih jika demikian dikaitkan dengan pencarian sebagian sumber atau akar-akar konflik dan kerusuhan sosial dalam masyarakat plural.
Sejauh mana secara historis, praktik pendidikan agama, sejak dari awal penyusunan kurikulum, silabi guru mapupun dosen, metode mengajar, pilihan buku wajib dan literatur yang digunakan, sumber dana penyelenggaraan sekolah, model penataran-penataran guru-guru agama, akses guru-guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut agama-agama di tanah air, dan begitu seterusnya perlu dicermati satu persatu.
Norma dan aturan agama yang diklaim sebagai yang bersumber dari “ilahi”, yang “suci”, yang “samawi”, yang “sakral”, yang “ultimate”, menjadikan agama mempunyai ciri yang spesifik dan unik, sekaligus membedakannya dari jenis-jenis pengalaman budaya dan sosial kemanusiaan yang lain. Dimungkinkannya truth claim (klaim kebenaran) yang biasa terjadi pada penganut agama-agama, sebagian bersumber dari apa yang disebut sebagai yang suci ini. Namun ketika yang disebut suci itu tadi diungkapkan dalam budaya tertentu (Arab, Cina, Indonesia), serta merta campur tangan budaya dan sosial tidak dapat dihindarkan sama sekali
A. Wajah Pendidikan Agama di Era Pluralisme
Kontestasi pendidikan formal yang semakin menunjukkan wajah kompetitif di era pluralistik seperti sekarang ini, seolah menjadi pemandangan yang kian hari semakin jelas dilema antara kebutuhan akan prospeknya dan penentuan titik pijak keragaman. Dari sini kemudian istilah agama warga negara muncul, sebagaimana istilah ini biasa digunakan merujuk secara khusus kepada agama pemersatu semacam itu. Agama warga negara memiliki rangkaian perlambangan sakralnya sendiri atau bendera kenegaraannya. Ia punya ”ibadah sendiri” seperti sumpah kesetiaan warga negara (the pledge of allegiance). Ia punya “kuil sendiri” seperti taman makam pahlawan. Punya keyakinan-keyakinan tersendiri seperti sejarah perjuangan bangsanya. Punya tokoh-tokoh sakralnya sendiri, seperti pahlawan-pahlawan perjuangan kemerdekaan. Dan punya peristiwa-peristiwa bersejarah yang dirayakan seperti hari pahlawan dan hari kemerdekaan.
Proses dialog antar umat beragama yang selama ini dimotori dan diprakarsai oleh pemerintah adalah kurang diikutsertakannya guru agama dalam proses dialog antar ummat beragama. Barangkali mereka dianggap tidak terlalu penting, tidak punya daya jual, terlalu rendah atau tidak kelasnya untuk diajak duduk bersama-sama untuk berdialog mendiskusikan persoalan pluralitas agama, dianggap tidak punya terlalu banyak umat, dianggap tidak mempunya peran strategis dalam mensosialisasikan ide-ide baru. Pandangan simplistik yang seperti ini, pada dasarnya menutup ruang dialog yang ingin dibangun untuk menjadikan pendidikan agama sebagai ruang diskusi dan berdialog.
Dialog antar ummat beragama secara terbatas hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi keagamaan, fungsionaris yang berwenang dalam lembaga-lembaga keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap terpandang. Sejak dari tokoh-tokoh elit, agama dari kalangan ulama, bhikku, pendeta, pastor sampai tokoh-tokoh pemuda, wanita, intelektual, mahasiswa dan begitu seterusnya. Namun, jarang sekali forum-forum dialog ini melibatkan guru-guru agama. Guru-guru agama sebagai ujung tombak pendidikan agama, dari TK hingga perguruan tinggi, nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar ummat beragama selama hampir 30 tahun terakhir.
Pada titik ini, keberagamaan menunjukkan identitasnya yang serba benar. Kebenaran agama yang dimaksdu bukan kebenaran yang bersifat membebaskan manusia dari belenggu, melainkan kebenaran yang sudah dikonstruksi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Konsekuensinya, kebenaran agama menjadi semakin sempit, yaitu kebenaran yang dipersepsikan sebagian orang, sekte, aliran dan mazhab. Dan realitas seperti ini, hampir menjadi karakter utama agama-agama samawi yang senantiasa berasumsi dengan premis-premiskebenaran yang bersifat absolut.
Pelembagaan pendidikan agama harus mampu memberikan akses yang seluas-luasnya kepada seluruh elemen masyarakat yang sebagian besar dimanifestasikan oleh organisasi dan perkumpulan. Dengan begitu peran pendidikan agama akan semakin memberi arti guna memberikan pemahaman yang cukup beragam akan latar belakang keberagamaan yang ada di Indonesia. Proses pencarian akan kebenaran akan berjalan secara terus menerus melalui pewacanaan yang masif akan pentinggnya efek pluralistik dalam pola interaksi sosial keagamaan. Pelibatan terhadap seluruh elemen masyarakat akan merepresentasikan keragaman yang mesti dihargai dalam kontelasi tradisi agama yang menunjukkan semangat pluralitas dalam sekian banyak aktifitasnya.
B. Mencari Suatu Model Pendidikan Agama yang Relevan dalam Masyarakat Majemuk.
Untuk mencapai model tersebut bahasan akan dimulai dengan mengkaji komponen kurikulum yang mencakup unsur metode mengajar, materi pelajaran, prasarana dan media mengajar bahkan landasan falsafah serta tujuan pembelajaran. Yang terakhir ini sebenarnya menjadi landasan dari seluruh proses belajar-mengajar, dari mana guru menentukan materi dan metode mengajar. Pertanyaan yang paling mendasar adalah: apakah dasar dan tujuan pendidikan, khususnya pendidikan agama? Tujuan pendidikan bermakna kultural, seperti kata Ki Hajar, dikembangkan oleh pewarisnya sehingga warisan itu berguna bagi kehidupannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan agama, harus memampukan seseorang bukan hanya mengenal agamanya tetapi mampu pula bertumbuh dalam imannya dan memberlakukan ajaran agama dalam kehidupan sehari-harinya, demi kehidupan yang sejahtera lahir dan batin bagi semua.
Pada dasarnya pendidikan juga harus mampu terarah pada penguatan sumber daya manusia yang kompetitif dan kualitatif. Sehingga bentuk penyikapan atas kemajemukan akan senantiasa terarah pada sebuah diskursus yang semakin membuat kita memahami akan peredaan itu sebagai rahmat Tuhan yang diberikan kepada hambaNya. Pendidikan pada level ini adalah pendidikan yang bersifat inklusif dan anti diskriminasi, sehingga aspek spritual etik dalam aktifitas pendidikan pun memberikan sebuah spirit baru guna menunjang semangan keberagamaannya.
Sasaran akhir dari pendidikan (agama) haruslah seorang pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan bersama yang lebih baik daripada masa lalu. Fungsi inilah yang secara mendasar harus dilandasi dalam proses transfer of knowledge yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya.
Kebahagiaan merupakan merupakan kondisi seorang makhluk rasional di dunia ini, yang didalam segenap eksistensinya segala hal berjalan menurut harapan dan kehendaknya. Jadi dia terletak pada harmoni sifat dasar penentu kehendak esensialnya. Dengan demikian, sebab tertinggi sifat dasar, selama manusia harus diasumsikan sebagai kebaikan tertinggi, adalah makhluk yang menjadi sebab (dan konsekuensinya adalah sang pencipta) sifat dasar melalui pemahaman dan kehendak, yaitu Tuhan. Konsekuensinya, dalil tentang kemungkinan adanya kebaikan turunan tertinggi (dunia terbaik) pada saat yang sama menjadi dalil bagi realitas kebaikan asli tertinggi, yaitu eksistensi Tuhan.
Tempat belajar demokrasi yang pertama seharusnya adalah kelas pelajaran agama, yang mengajarkan untuk menerima dan mengasihi sesama manusia sebagai bukti menghargai karya Tuhan yang maha tinggi. Dalam kelas, melalui pelajaran agama jugalah orang belajar mengenai hak dan tanggung jawab manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk karena saling tergantungnya manusia. Juga disitulah individu belajar tentang kuasa untuk melayani dan bukan mengeksploitasi atau memanipulasi untuk kepentingan sendiri , belajar untuk menghargai orang lain dan perbedaan masing-masing sebagai anugrah khusus dari Tuhan kepada setiap orang, untuk menghargai dan merawat bumi serta seluruh kekayaannya agar dinikmati secara merata oleh setiap orang dan zaman.
Untuk mencapai maksud itu maka metode yang digunakan oleh guru juga harus mampu membangun kepribadian yang demokratis, menumbuhkan jati diri yang berkualitas serta integritas tinggi. Harus diakui bahwa pendidikan di Indonesia penuh dnegan muatan politik para penguasa dengan tujuan agar sesuai maksud penguasan bukan demi pengembangan generasi muda itu sendiri. Guru diharapkan tidak mengajar tentang agama dengan gaya yang cenderung mengintrokdinasi tetapi guru dapat memberi pelajaran tentang iman dalam semangat religiusitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
BAB IV
KESUMPULAN DAN PENUTUP

Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa gejala konflik dan kerusuhan pada hakikatnya merupakan gejala sosial dan sejarah, yang secara universal baik pada masa lampau maupun yang terjadi pada masa kini. Konflik dan kerusuhan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk reaksi sosial terhadap proses-proses perubahan yang dihadapi oleh masyarakat pada jamannya, pada dasarnya menjadi sumber timbulnya ketidakpuasan, keresahan, dan frustrasi sosial yang mendorong lahirnya aksi protes, konflik dan kerusuhan sosial, yang banyak membawa korban dan kerugian materi yang tidak sedikit. Konflik, baik yang bersifat individual maupun yang massal, selalu muncul karena sebuah atau beberapa sebab yang timbul karena perjalanan dan perubahan peradaban manusia.
Konflik dan kerusuhan merupakan indikasi terjadinya krisis adaptasi -- baik individual maupun masyarakat-- dan atau ketidakmampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan yang dihadapi pada masa kini, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik maupun kultural masyarakat. Konflik dalam dimensi sosial budaya adalah hal yang alamiah, lumrah dan cenderung mengikuti hukum kausalitas, sebagaimana sebuah siklus yang tak pernah berakhir sepanjang sejarah manusia, sehingga untuk muncul kembali di masa yang akan datang sangat mungkin sekali terjadi bila hal-hal yang menyebabkan masalah (hukum sebab-akibat) dan pemicu kerusuhan tidak disingkirkan dari kehidupan sosial.
Dengan menjawab asumsi-asumsi dan hipotesa atas keberagamaan manusia maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat tidak beragama dalam kehidupannya. Agama yang akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan maknawi dan duniawi berkat aturan dan rule of game yang tegas dijelaskan dalam setiap ajaran agama. Melalui agama pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyangkut persoalan-persoalan eksistensial dapat terjawab dengan tuntas dan komprehensif dimana orang-orang yang kontra dengan keberadaan agama dan mencoba memberangus rasa keberagamaan itu dengan menyajikan industri dan sains. Namun manusia karena dalam dirinya mengandung dua dimensi, ragawi dan maknawi, kebutuhan dan dahaga maknawinya tidak akan dapat pernah dapat terpenuhi selain dengan perantara sesuatu yang trasendental. Oleh karena itu, jelaslah alasan ihwal mengapa kita beragama?
Demikian serangkaian uraian yang kami bingkai dalam tulisan sederhana ini, semoga menjadi sebuah sumbangsih diskursus dalam ranah intelektual. Dan tak lupa pula kami ucapkan puja dan uji syukur kehadirat Allah SWT, semoga limpahan rahmatnya senantiasa memberikan kita spirit untuk melakukan proses belajar secara terus menerus guna menambah khasanah keilmuan. Amin. Begitu juga kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah menjadi rifal berfikir dan berdiskusi dalam penyelesaian naskah ini. Semoga kerja-kerja intelektual yang kita lakukan mampu berguna untuk generasi selanjutanya.


DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. (2002). Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dear, John, (ed.). (2007). Intisari Ajaran Mahatma Ghandi: Spritualitas, Sosio-Politik dan Cinta Universal. Bandung: Penerbit Nusamedia.
F. O’Neill, William. (2001). Ideology-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hodgson, G. S. Marshall. (2002). The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Buku Kedua: Peradaban Khalifah Agung). Jakarta: Penerbit PARAMADINA.
Jusfroni, K. A. M. (2007). Mengritik Agama Sendiri, “Membela” yang Lain. Jakarta: Jusuf Roni Center dan Cipta Lahai Roi.
Kant, Immanuel. (2005). Kritik atas Akal Budi Praktis. Judul asli “Critique of Practical Reason”. The Liberal Arts Press, New York 1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholis. (2005). Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Penerbit PARAMADINA.
Mehta, Ved. (2007). Ajaran-Ajaran Mahatma Ghandi. Kesaksian dari Para Pengikut dan Musuh-Musuhnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. (2008). Islam, Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jilid I). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Ridha, Abu. A. Najiyulloh (Penyunting). (2002). Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya. Jakarta: Al-I’tishom.
Romas, Syarief, Chumaidi. (2003). Kekerasan di Kerajaan Surgawi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Th. Sumartana, dkk. (2005). Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei.