INTELEKTUAL POLITIK ATAU POLITIK INTELEKTUAL;
BACK TO CAMPUS SEBAGAI WAHANA “PEWARNAAN” STUDENT GOVERNMENT
Oleh: Taufiq Saifuddin
Membincang tentang kedaulatan mahasiswa maka hal pertama yang kita obrolkan adalah keterlibatan structural yang secara hirarki memiliki power yang strategis. Asumsi ini sudah terlajur ter-internalisasi dalam konstruksi berfikir kita, terkadang hal bersifat subtansial terlupakan oleh nalar politik yang berorientasi pada “seni” konstelasi politik perebutan kekuasaan. Hal pertama yang mungkin kita refleksikan adalah, apakah pewarnaan terhadap laju intelektualitas di tingkatan kampus hanya dapat kita warnai melalui parlemen kemahasiswaan? Lantas sejauh mana keterlibatan seluruh masyarakat yang kita usung untuk merebut kekuasaan?
Selama ini kira masih berada dalam tataran kultur polarisasi kampus dalam taraf on going process. Sebuah kultur dimana segala rutinitasnya harus di orientasikan pada proses belajar. Dinamika ini jika dikampanyekan dengan massif akan menjadi sebuah fase perjuangan politik yang sedikit banyak bisa melibatkan mahasiswa pada umumnya. Kurang tepat jikalau proses aktifitas politik yang dalam kontestasi PEMILWA semisal kita terjebak pada persoalan “menang” atau “kalah”. Persoalan menang dan kalah tadi akan terbukti jika itu disandarkan pada usaha maksimalisasi kekuatan yang kita lakukan sebagai proses belajar. Tidak hanya di dominasi oleh segelintir orang saja yang terkumpul dalam elit politik saja.
Ada beberapa pergulatan yang selama ini sering kita lalaui dan membuat kita a priori melihatnya. Pertama, dengan lantang kita meneriakkan tegakkan hukum, namun dengan sengaja aturan main dalam organisasi yang kita gleuti kita langgar. Aspek ini terkadang terlihat kecil namun memiliki efek yang cukup besar dalam pembentukan karakteristik kita dalam pergulatan intelektual di tingkat kampus. Kedua, pemaknaan pada etos demokratisasi kampus terkadang hanya membuat kita berkonsentrasi pada kontestasi PEMILWA saja, sehingga dalam pergulatan itu musuh politik yang menjadi rival kita pasca PEMILWA kemudia melahirkan konflik horizontal atara gerakan mahasiswa. Dan ketiga, terjadinya transaksi politik pra-PEMILWA yang meniscayakan adanya konpensasi kekuasan, terkadang berakibat pada kroposnya struktur pembentukan cabinet dikarenakan minimnya struktur dan banyaknya orang yang akan mengisi.
Kalau dianalisis lebih jauh ikhtiar untuk melakuakan satu sistemasi gerakan pengetahuan melalui back to campus adalah asumsi dari akumulasi gagasan yang selama ini tidak kita dapatkan di kampus. Maka dari itu penciptaan ruang belajar alternative adalah sebuah upaya untuk mewujudkan demokratisasi kampus. Alur normatifisme-historis yang selama ini mewarnai paradigm di hampir semua perguruan tinggi Islam khusunya, telah mengarahkan out put dari perguruan tinggi tersebut pada ruang eksklusifisme-pragmatis. Pola belajar-mengajar sudah seharunya kita arahkan pada proses belajar bersama sehingga peserta didik tidak menjadi pasif dan terbatas oleh doktrinasi ceramah yang dilakukan oleh seorang pendidik.
Ruang belajar alternative inilah yang akan menopang upaya transformasi dari gagasan-gagasan yang tidak sempat diakomodasi oleh kampus, tidak hanya sebatas rajin kuliah untuk back to campus. Khasanah diskursus intelektualkita terkadang dibenturkan oleh kebijakan yangdikeluarkan oleh kampus. Maka dari itu aktifitas politik yang dilakukan dalam kontestasipemilwa juga harus menopang sekiang banyak kepentingan dari berbagai elemen. Manifestasi dari itulah yang kita sebut sebagai demokrasi. Konfigurasinya adalah penguatan ilmu pengetahuan melalui kegiatan yang bersifat ke-ilmuan. Sebab jikalu tidak maka siapapun yang menang dalam kontestasi pemilwa, maka dia akan menjadi “penguasa” namun tidak memiliki “kekuasaan”.
Perlu di sadari bahwa harus ada media yang berkonsentrasi untuk membangun etos paradigmatic dari perjuangan politik mahasiswa. Maka dari itu medan akselerasi limited group sebagai wahana belajar bersama adalah sebuah rekayasa yang penting untuk dilestarikan sehingga tawaran atas pola demokrasi semakin beragam di tengah masyarakat kampus yang memang plural. Sangat disayangkan jikalau kekuatan intelektual di politisir hanya untuk merebut sebuah kekuasaan yang meniscayakan berbagai hal untuk menang, begitu tidak simpatiknya sehingga wajar jikalau setelah terpilih tambuk kepemimpinan tidak memiliki kekuasaan dan begitu sulit menggerakan mahasiswa yang tergantung mapan oleh arus arus budaya deterministic. Sebuah upaya yang sejalan antara polapikir dan pola tindak akan melahirkan sebuah perubahan yang sangat signifikan bagi semua golongan. Wallahu a’lam.
YAKIN USAHA SAMPAI !!!
Sabtu, 23 Mei 2009
Langganan:
Postingan (Atom)